Chereads / Mr. Mafia and His Lady / Chapter 19 - Tindakan yang Tak Salah, Tapi Disalahkan

Chapter 19 - Tindakan yang Tak Salah, Tapi Disalahkan

Nyatanya semalam suntuk, Ameera tidak bisa tidur. Keberadaan Axton benar-benar membuatnya gelisah dan sangat ketakutan. Berulang kali ia mencoba memejamkan mata, tetapi selalu gagal karena teringat akan kejadian beberapa saat lalu ketika Axton nyaris merenggut kesuciannya.

Wajah lelap milik Axton sebenarnya terlihat sangat tampan. Wajah yang biasanya garang, mendadak lemah dan damai. Seperti bukan sosok penjahat kelas kakap saja. Namun, entah mengapa Ameera tidak bisa mencintai pria itu sama sekali, menerima kenyataan bahwa pria itu adalah suaminya saja sangat sulit untuk Ameera lakukan.

"Andai aku bisa membunuhnya detik ini juga," gumam Ameera.

Jika membunuh Axton adalah hal yang mudah, Ameera benar-benar akan melakukannya. Satu sentuhan yang ia berikan saja, tampaknya akan membuat Axton langsung terjaga. Apalagi sebilah pisau yang ia tusukkan di dada Axton, belum sempat menancap di jantung, mungkin Axton sudah terbangun. Pria itu bisa kembali menguasai diri Ameera dan membuat Ameera semakin menderita.

"Apakah aku benar-benar tidak bisa terlepas dari sosok itu, Tuhan?" Ameera kembali bergumam. Sementara tubuhnya sudah berangsur bangkit dari posisi tidur sebelumnya. Ia duduk dengan balutan selimut yang masih menutupi tubuh indahnya. Matanya tidak sembab, tetapi memerah, karena mungkin ia belum tidur sama sekali.

Jengah hanya duduk di atas ranjang dalam balutan ketegangan, Ameera memutuskan untuk beranjak. Sesaat setelah turun dari tempat tidur tersebut, ia berjalan ke arah tengah ruang kamar. Matanya menatap ke segala arah, memperhatikan setiap detail barang-barang yang belum disingkirkan dari dekat pintu kamar.

Sebuah patung kuda yang terbuat dari kayu menjadi perhatian mata Ameera. Benda itu memiliki sisi yang tajam rupanya. Dan ketika Ameera meraihnya, berat benda itu cukup besar. Kalau dijadikan sebagai senjata lumayan pantas. Benar juga, Ameera ingat, ia sempat menyimpan sebuah vas bunga demi berjaga-jaga jika Axton kembali mengganggunya. Kalau kedua benda itu digabung, sepertinya akan menjadi senjata yang cukup bagus untuk dijadikan sebagai aksi pembunuhan.

"Ah ...." Hati Ameera terenyak. Matanya terpejam dalam beberapa saat. Menyadari pemikirannya sudah sangat gila dan keterlaluan. Ia tidak mungkin bisa membunuh seseorang. Dan lagi, apa bedanya dirinya dengan sang mafia jika pada akhirnya tetap mengambil langkah untuk meregang nyawa seseorang?

"Tidak, aku adalah Ameera. Aku bukan geng mafia yang bisa membunuh belasan manusia dengan mudah layaknya membalikkan telapak tangan. Pasti ada cara, ya, aku yakin aku bisa segera terbebas dari kerangkeng emas penuh penderitaan ini," lanjut Ameera yang mulai mendapatkan akal sehatnya kembali.

Wanita cantik itu lantas menghela napas. Karena sudah menghalau pergi semua pemikiran buruk dan kembali merasa yakin bahwa dirinya tidak mungkin bisa melakukan pembunuhan, Ameera lantas meletakkan patung kuda tersebut, sekaligus mengabaikan keberadaan vas bunga di atas ranjangnya.

Sepasang kaki cantik Ameera kembali melangkah. Pelan dan penuh kehati-hatian, ia berjalan menuju keberadaan pintu keluar dari kamar itu. Keadaan pintu tersebut masih terkunci rapat, membuat Ameera lagi-lagi harus menghela napas panjang sekaligus menelan salivanya.

Kamar yang memiliki ukuran cukup luas itu nyatanya seperti penjara beralgojo mafia. Ingin sekadar mencari udara segar, jika sang mafia tidak mengizinkan, Ameera hanya bisa sebatas menahan keinginannya. Sulit. Semuanya terasa sulit. Seandainya ia bisa menghilang seperti tokoh di dunia fantasi yang memiliki kemampuan teleportasi. Ah, Ameera sudah tidak waras rupanya, sampai imajinasinya terlalu berkeliaran dan sangat jauh dari suatu kewajaran.

"Kau sedang apa, Ameera? Ingin mencoba melarikan diri lagi?" Tiba-tiba suara Axton terdengar sedang mempertanyakan niat Ameera saat ini. Suaranya parau, membuktikan bahwa dirinya memang sempat benar-benar lelap dalam tidurnya.

Jemari Ameera menggantung dan niat hendak menyentuh handel pintu pun menjadi urung. Matanya mengerjap, tenggorokannya tercekat, bahkan dalam beberapa saat tengkuknya terasa kaku, membuatnya sulit menoleh dan menatap Axton dengan benar.

"Tidak, aku hanya ... merasa bosan, dan memamgnya kau akan membiarkanku kabur?" ucap Ameera sesaat setelah mampu menguasai dirinya yang tegang.

Axton menghela napas. Perlahan berpikir bahwa mengunci Ameera di dalam kamar tanpa udara segar sepertinya sudah keterlaluan. Kesadaran itu membuat Axton lantas membuat keputusan baru. Tidak peduli akan waktu yang masih dini hari, ia tetap membangunkan diri. Sepertinya Ameera juga tidak bisa tidur karena keberadaan dirinya, tetapi entah mengapa ia justru terlelap sangat nyenyak untuk pertama kalinya di samping wanita itu.

"Ikut aku," ucap Axton setibanya di hadapan Ameera, sementara salah satu telapak tangannya sudah menggenggam handel pintu. Tak lama berselang, telapak tangan yang lain, mengeluarkan sebuah kunci, lantas ia membuka pintu tersebut.

"Aku tidak mau," ucap Ameera yang justru memberikan sebuah penolakan. "Kau pasti tahu, Axton, aku tidak percaya padamu. Kau nyaris merenggut kesucianku, dan dengan entengnya memintaku mengikuti dirimu? Ke mana? Ke gudang yang sepi? Atau ke loteng yang tidak ada satu pun orang? Supaya nanti kalau aku berteriak, tidak ada yang mampu mendengar?" Meski gemetar, Ameera tetap berniat untuk memberikan sindiran.

"Mencari udara segar, Ameera. Di balkon lantai ketiga. Aku tidak akan menyentuhmu lagi jika dirimu memang tidak berkenan," jelas Axton.

"Kau menikahiku di saat aku tidak berkenan. Tidak mungkin kau berpikir seperti itu, aku tahu selama ini kau hanya menginginkan tubuhku saja. Kau menikahiku hanya sebatas untuk mendapatkan tubuhku sampai puas, lalu membuangku bagai sampah tidak berharga. Tapi, jangan pernah berharap lebih, Axton, aku tidak akan pernah menyerahkan tubuhku padamu!"

"Kau ini ...! Kau benar-benar banyak bicara, merengeng, dan cengeng. Padahal kau hanya wanita lemah dan membutuhkan perlindungan dariku, Ameera. Aku benar-benar akan mendapatkan tubuhmu saja, jika kau terus mencurigaiku seperti itu."

Axton yang sudah muak pada rengekan serta kecurigaan Ameera lantas menarik lengan wanita itu. Tidak peduli seberapa banyak Ameera mengeluh dan memberikan umpatan yang kasar, Axton tidak pernah melepaskan cengkeramannya di sepanjang perjalanan menuju balkon lantai ketiga dari mansion tersebut.

Memangnya tindakan untuk mengajak Ameera mencari udara segar termasuk sebuah kejahatan? Hanya satu kekhilafan saat Axton merasa kelelahan dan nyaris merampas kehormatan Ameera, membuat wanita itu terus-terusan ketakutan? Bagi Axton pemikiran semacam itu tidak wajar. Apalagi dirinya bukanlah seseorang yang memiliki rasa empati. Ia sudah terlalu lama menjalani hidup sangat keras, banyak nyawa yang meregang karenanya juga. Oleh karenanya, ia sering melupakan aksi jahatnya sendiri.

Namun, bagi Ameera, tindakan Axton sudah termasuk kejahatan yang tak termaafkan. Wanita lain pasti akan merasakan hal yang sama dengannya, bahkan mungkin mereka bisa mengalami traumatik sepanjang hidup! Ameera saja sampai memuntahkan isi perutnya di saat Axton begitu liat dalam memainkan lidah di punggungnya. Sayangnya, pria itu enggan untuk mengerti.

Tak berselang lama, keduanya sampai di balkon yang dituju. Hawa dingin dari alam langsung memberikan sambutan. Namun, para bintang masih tampak berpendar. Sesaat, Ameera tertegun. Dan lambat-laun kembali pada dirinya yang sangat membenci suaminya sendiri. Ia benci kebersamaan ini. Alam sangat indah, tetapi ia justru menyaksikannya bersama seorang mafia berbahaya.

***