"Tidak, tidak mungkin! Kenapa seperti ini? Kenapa tidak bisa?!" Ameera panik sekaligus sangat kecewa. Usahanya untuk menghubungi Bertran Purnama tidak membuahkan hasil. Entah dari nomor ponsel yang tercantum di sebuah website dengan mengatasnamakan perusahaan Bertran, lalu sampai semua sosial media, tak ada satu pun yang bisa Ameera hubungi, lebih tepatnya Ameera tidak mendapatkan respons dari Bertran sama sekali. Lagi pula, pengusaha mana yang akan mudah dihubungi, apalagi oleh Ameera yang hanya orang biasa? Tentu saja tidak akan ada.
Sementara malam ini sudah semakin larut. Yang artinya, tidak lama lagi Axton dan Justin akan kembali ke mansion tersebut. Ameera sudah tidak punya banyak waktu. Ingin memanggil aparat kepolisian pun bukan pilihan terbaik. Pasalnya ia dan Axton adalah pasangan suami-istri, dan selama ini tidak ada kekerasan fisik yang Ameera terima dari pria itu. Bukti mengenai sikap kejam Axton padanya juga tidak ada. Ia yakin laporannya hanya akan dianggap sebagai laporan iseng alias palsu. Selain itu, Axton bisa mengatasi para aparat dengan mudah, bukan?
"Uh! Apa aku benar-benar akan terjebak di dalam mansion sialan ini dan terutama pria brengsek itu?" ucap Ameera mempertanyakan mengenai masa depannya. Tak mau, ia benar-benar tidak mau. Ia akan mengatakan penolakannya sampai ribuan kali jika perlu.
"Daisy, ... seandainya kau masih berada di pihakku, mungkin aku bisa meminta bantuanmu untuk menghubungi pengusaha yang kemungkinan besar adalah musuh Axton." Ameera menelan saliva dan menatap ke arah depan dengan mata yang tetap sendu. "Tapi, mengapa kau pun ikut membuatku menderita? Apakah persahabatan kita yang sudah terjalin selama bertahun-tahun sama sekali tidak ada artinya untukmu?"
Tidak ada air mata, mungkin sudah kering setelah sekian hari menghabiskan waktu hanya dengan menangis dan merintih sendirian. Namun, kendati begitu, luka di hati Ameera tidak kunjung sembuh. Lebih baik memang jarinya teriris pisau tajam ketika sedang memasak makanan, daripada hatinya yang teriris kejamnya kehidupan.
Tepat ketika Ameera menelungkupkan badan di atas lantai kamarnya tersebut, pintu kamarnya terdengar sedang berusaha dibuka oleh seseorang. Ameera langsung tercengang. Dalam sesaat, ia linglung, tetapi tak berselang lama ia tersadar bahwa yang datang adalah Axton. Cepat, Ameera bertindak. Ia mencari tempat teraman untuk menyembunyikan ponsel yang ia pinjam dari Surti. Sebab, Axton tidak boleh tahu bahwa ia masih berusaha untuk mencari cara untuk melarikan diri, apalagi saat ini ia berharap pada seseorang yang kemungkinan besar adalah musuh suami laknatnya tersebut.
"Ameera! Apa kau sudah tidur?" Suara Axton terdengar keras, parau, dan menakutkan. "Ameera!"
Glup! Ameera menelan saliva. Sesaat setelah menaruh ponsel itu di sela-sela nakas dan ranjang, tubuhnya langsung berdiri tegap dan terpaku. Ia bisa diibaratkan sebagai sebuah patung yang memiliki netra bulat tanpa kerjapan.
"Apa aku pura-pura tidur saja?" Setelah berusaha mengumpulkan energi untuk bicara, akhirnya Ameera mampu menggumamkan sebuah kalimat tanya.
"Ameera! Kau dengar aku, bukan?" Axton berkata lagi. "Aku tahu kau belum tidur. Tak mungkin kau tidur di saat aku terus membuat suara di pintumu. Buka sekarang atau aku dorong paksa?!"
Sekali lagi, Ameera menelan saliva. Memang khusus malam ini, ia mengunci pintu kamar menggunakan sebuah meja rias dan beberapa barang berat yang ada di dalam kamar itu, karena takut jika Axton selaku pemegang kunci kamar yang asli mendadak masuk dan memergokinya tengah mencari bantuan dari Bertran Purnama.
"Iya!" Akhirnya, karena takut Axton akan mengamuk lebih parah, Ameera memberikan jawaban.
Ameera berjalan menuju keberadaan pintu tersebut. Ia berusaha menekan segala ketakutan, rasa muak, serta kesedihannya. Ameera hanya tidak mau jika Axton melampiaskan kekecewaan pada salah satu anak buah seperti yang pernah Justin katakan.
"Uh!" Ameera menyingkirkan semua barang penghalang yang berada di balik pintu kamarnya itu. "Sebentar!"
"Kenapa kau menghalangi pintu kamar ini, Ameera? Apa kau ingin—"
"Aku tidak nyaman, Axton!" sahut Ameera cepat. "Dua orang anak buahmu berjaga di depan pintuku, apa kau pikir aku bisa merasa aman saat pintu kamar ini tidak bisa dikunci?! Karena kau membawa kuncinya!"
Semua barang sudah berhasil Ameera singkirkan ke tempat yang lebih lapang dan tentu saja Axton langsung melesak masuk tanpa pikir panjang. Pintu kembali ditutup dengan rapat oleh pria itu, sehingga siapa pun yang berada di luar tidak akan tahu apa yang akan Axton lakukan terhadap Ameera selanjutnya.
"Kau ... tidak membuatku nyaman dengan caramu mengirimkan dua anak buahmu untuk menjagaku. Hidupku di sini sudah seperti seorang narapidana. Kau tahu itu, 'kan?" ucap Ameera pada Axton dengan segala kebenciannya,
"Kau ... tidak menangis hari ini? Matamu jernih sekali, Nona." Alih-alih menjawab ucapan Ameera, Axton justru bertanya tentang hal lain.
Ameera menghela. "Apa kau lebih puas jika aku terus menderita?"
"Tentu saja tidak. Aku ingin kau bahagia."
"Dan kebahagiaanku adalah terbebas dari tempat dan—uh!"
Axton tidak memberikan kesempatan pada Ameera untuk menyelesaikan ucapannya. Dengan tidak sopan, ia merengut leher hingga bibir wanita itu. Tentu saja, Ameera meronta bahkan memukul-mukul tubuh Axton. Namun, Axton tidak peduli. Axton yang saat ini merasa sangat lelah gara-gara ulah Bertran yang nyaris menjebaknya di sebuah gedung tua, menginginkan pelampiasan yang manis. Ya, ia menginginkan Ameera, toh wanita itu sudah menjadi istrinya. Jadi, sah-sah saja, bukan?
Axton memojokkan Ameera secara terus-terusan, hingga akhirnya ia dan istrinya sampai di ranjang yang berada di kamar itu. Sementara Ameera yang terus meronta, Axton tetap tidak peduli. Kedua tangan kekar Axton mengunci pergerakan Ameera, dan bibirnya mengunci bibir Ameera sampai istrinya tidak bisa berbuat apa pun atau berbicara dengan jelas dalam beberapa saat.
"Uh ... mm, le-lepas ... lepaskan aku!" Ameera berusaha. Ia tidak ingin Axton bertindak lebih jauh lagi padanya. Ia tidak mau kesuciannya yang selalu terjaga dirampas oleh pria itu, bahkan meski pria itu adalah suaminya sendiri. "Le-lepas! Le ... pas!"
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Axton, tepat ketika Ameera mendapatkan sedikit ruang bebas. Berkat tamparan itu, Axton menghentikan aksinya. Ia mematung dan masih berada di atas tubuh Ameera. Wajahnya berpaling menatap dinding kosong dengan mata yang tajam.
"Kenapa kau melakukan ini padaku?! Aku tidak mau, aku tidak sudi, Axton!" ucap Ameera marah besar dan terus berusaha keluar dari cengkeraman suaminya dalam keadaan tubuh gemetaran. Tidak ada air mata, tetapi kondisi seperti itu-lah yang justru sangat menyiksa. Menangis tidak bisa, mengeluh hanya sia-sia. Terluka sudah pasti, saat ia dipaksa melayani seorang pria kejam yang memiliki identitas sebagai ketua mafia.
Gemeletuk gigi terdengar dari rahang Axton. Ameera pikir pria itu hendak melanjutkan aksi biadab lagi atau mungkin mengamuk dan marah besar. Namun, tidak, kenyataannya tidak seperti itu. Axton melemah, seluruh otot hijau di wajahnya pun sirna. Lantas, ia turun dari ranjang dan juga menjauh dari tubuh Ameera.
"Apa kau sudah baik-baik saja?" tanya Axton merujuk pada kondisi Ameera, pasca istrinya itu pingsan di kamar mandi.
Ameera yang masih bergetar mencoba mendudukkan diri. Jemarinya meraih selimut tebal dan lantas menutupi dirinya dengan benda hangat tersebut. Matanya tetap awas, meskipun Axton sudah terlihat lebih tenang daripada sebelumnya.
"Apa kau tidak memiliki mulut untuk menjawab pertanyaanku, Ameera?" Cepat, Axton menatap Ameera dengan matanya yang selalu tajam.
Ameera menelan saliva. "Kau ... setelah nyaris membuatku hancur, tiba-tiba menanyakan kondisiku? Apa kau benar-benar sudah gila, tidak waras, psycho?"
"Aku hanya menginginkan hakku sebagai seorang suami, Ameera. Jadi, apa salahnya? Dan soal kondisimu, tentu saja aku tidak ingin kau jatuh sakit. Kalau pun aku sudah gila, semua kegilaan ini karena dirimu yang tak kunjung bersedia menerima kenyataan bahwa kau sudah menjadi istriku, Nona."
"Selamanya aku tidak akan meneri—"
"Tidurlah!" sahut Axton memotong ucapan Ameera. "Aku akan menjagamu di sini."
"Apa?" Ameera mengernyitkan dahinya. "Menjaga? Cih ... kau-lah yang akan menyakitiku, Axton, kau tidak akan menjagaku."
"Diamlah dan tidur! Atau aku benar-benar akan membuatmu menjadi istri yang seharusnya?" Axton memberikan ancaman.
Ameera terdiam, selebihnya menelan saliva. Kalau Axton sudah memberikan ancaman, maka usahanya untuk berkelit juga berakhir. Meski terus menunjukkan pertentangan, Ameera tidak pernah mampu meredam ketakutannya terhadap pria itu. Lantas, ia berbaring, tetapi tidak langsung memejamkan mata karena takut jika Axton akan kembali melakukan hal yang lebih gila padanya. Mata Ameera memperhatikan keadaan sekitar. Ada vas bunga baru di atas nakas, menurutnya benda itu cukup bagus jika digunakan sebagai senjata kalau-kalau Axton mengganggunya lagi.
Sementara Axton mulai mengambil tindakan. Ia memutar badan, lantas berjalan menuju keberadaan sofa panjang yang menghadap ke arah ranjang Ameera. Di benda besar nan empuk itulah, ia membaringkan tubuh. Hanya dengan bantal kecil, ia tidur. Matanya terpejam, salah satu tangannya berada di atas kening, napasnya berembus panjang sampai beberapa kali. Ameera agak heran ketika mendapati sikap pria itu. Sepertinya Axton sedang ada masalah, mungkin juga berkaitan dengan Bertran Purnama. Namun, Ameera tidak peduli, ia justru senang jika Axton akan hancur.
***