"Bibi!" seru Ameera sebelum pelayan pribadinya tersebut keluar dari kamar mewahnya. "Tolong kemari terlebih dahulu, saya ingin bicara."
Surti—pelayan pribadi milik Ameera—lantas mendekati Ameera yang juga sudah berjalan menghampirinya. Tidak ada yang bisa Surti katakan, selain kata 'iya' alias menyatakan bahwa dirinya sudah menyetujui permintaan tuannya itu.
Gelisah, Ameera mengusap-usapkan kedua telapak tangannya satu sama lain. Mengenai Bertran yang dibahas oleh Axton dan Justin masih menjadi tujuan atas rencananya saat ini. Ia membutuhkan sebuah ponsel, meskipun nomor yang dimiliki oleh Bertran belum ia ketahui, tetapi mungkin saja ada cara lain ketika sudah mendapatkan akses internet dari ponsel tersebut.
"Bibi memiliki ponsel, bukan?" tanya ameera sesaat setelah membulatkan tekatnya.
Surti menganggukkan kepala, lalu berkata, "Tentu saja, saya memilikinya, Nona."
"Kalau begitu, boleh saya pinjam sebentar?"
"Tentu saja."
Permintaan Ameera langsung dikabulkan oleh Surti yang kemudian merogoh saku dari seragam pelayan yang diberikan oleh Axton untuknya tersebut. Lantas, sebuah ponsel touchscreen keluaran lama terlihat berada di genggaman Surti, setelah akhirnya benda tersebut berpindah tangan pada Ameera.
Lega. Itulah rasa yang langsung Ameera dapatkan, pasca mendapati ponsel Surti jauh dari bayangannya. Ia pikir ponsel yang dimiliki oleh pelayan pribadinya tersebut hanyalah ponsel jadul dan bertombol, atau bahkan memiliki layar hitam putih. Ternyata, meskipun masih keluaran lama dan tidak memiliki fitur canggih, ponsel tersebut cukup membantu rencana Ameera untuk mengetahui siapa sosok Bertran Purnama yang disebut oleh Axton dan Justin.
"Bibi rajin mengisi data internet ya?" tanya Ameera ketika cukup tertegun saat laman internet yang ia buka langsung terhubung.
Surti tersenyum malu-malu, lalu berangsur menganggukkan kepala. "Keponakan saya yang mengajari, Nona, awalnya saya hanya memiliki ponsel jadul, tapi, karena terlalu boros untuk membeli pulsa, saya dibelikan ponsel bagus itu. Biar hemat katanya."
"Keponakan Bibi baik sekali."
"Benar, Non. Apalagi saya hanya bersama anak saya yang mengalami lumpuh kaki, bahkan keponakan saya bersedia membantu mengurusnya," ungkap Surti. Wanita paruh baya yang begitu polos itu lantas menghela napas. "Suami saya sudah tiada karena sebuah kecelakaan."
Mata Ameera mengerjap seiring dengan kesiap yang datang pasca Surti menceritakan sedikit latar belakang. Pelayan pribadi tersebut tampaknya cukup mudah untuk diajak bicara, pikir Ameera yang sejak kedatangan Surti justru bersikap dingin. Ia mencemaskan hidupnya sendiri, begitu frustrasi karena harus terjebak di dalam pernikahan dan lantas menjadi istri dari seorang pimpinan mafia yang kejam. Padahal, di sisinya ada wanita lebih rapuh yang begitu baik dalam mengurus keperluannya dalam beberapa waktu terakhir, ialah Surti yang ternyata memiliki nasib jauh lebih tragis.
Merasa turut bersimpati, Ameera mengurungkan niatnya untuk membaca artikel-artikel yang mencantumkan nama Bertran Purnama sebagai seorang pengusaha tambang cukup terkemuka. Detik berikutnya, ia meraih lengan Surti dan membawa pelayan pribadinya itu untuk duduk bersama di sofa panjang di kamar tersebut.
"Nona, Nona, tidak usah. Saya di bawah sa—" Surti hendak menolak permintaan Ameera yang memintanya duduk di atas tempat duduk empuk.
"Tidak apa-apa. Saya mau Bibi di sini, bersama saya. Umm ... saya ingin mendengarkan kisah hidup Bibi, lalu saat sudah siap saya sendiri akan menceritakan kisah hidup saya. Umm ... sebelum itu, saya minta maaf karena selama Bibi bekerja untuk mengurus saya, sikap saya selalu ketus," potong Ameera sebelum ucapan pelayan pribadinya tersebut terselesaikan.
Surti mengusap tengkuk, sungguh serba salah. Ia terkesan oleh tindakan Ameera yang begitu baik dan bahkan rela meminta maaf padanya. Namun, di sisi lain, ia harus tetap menjaga batasan. Ia hanya seorang pelayan alias pembantu yang dipekerjakan khusus untuk melayani Ameera. Ia tidak boleh duduk sejajar dengan wanita cantik itu, atau ia akan menghadapi kemarahan dari Axton, Justin, atau bahkan Herman.
"Saya di bawah saja, Nona," ucap Surti lagi masih berusaha untuk memberikan penolakan.
"Kalau begitu," ucap Ameera. "Mari kita duduk di bawah."
"Eh?! Ja-jangan, Non—"
"Bi, saya dulu juga seorang pelayan. Bukan hanya pembantu rumah tangga, tetapi juga pelayan klub malam. Dengan kata lain, derajat saya jauh lebih rendah. Bibi pasti tahu, 'kan, sekotor apa dunia malam itu?"
"Oh ... i-itu."
"Jelaskan apa yang terjadi pada hidup Bibi sampai Bibi harus kehilangan suami dan anak Bibi sampai mengalami kelumpuhan."
Surti melemah, lalu menghela napas. Lantas, ia mengambil posisi duduk di atas karpet yang menjadi alas sofa tersebut. Kemudian, Ameera mengikuti sikapnya. Meskipun agak canggung dan takut, kini Surti tetap tidak bisa menolak. Setidaknya, ketika siang hari, Axton tidak ada di mansion itu, yang artinya tindakannya tidak mungkin diketahui oleh pria tampan pemilik netra hitam legam tersebut.
"Sebenarnya hanya kecelakaan tunggal, Nona. Suami saya akan selamat jika segera dibantu. Tapi, sebelum bantuan datang, mobil pick up yang dikendarainya meledak. Pada saat itu, saya dan anak saya pun ada, saya kebetulan terlempar keluar, tidak terlalu jauh. Pun pada anak saya, tapi sangat jauh sampai kepalanya terbentur jalan beraspal. Dia mengalami lumpuh karena syarafnya terganggu. Dalam keadaan yang masih sadar, saya melihat suami terbakar," ungkap Surti.
Rahang Ameera menganga, benaknya membayangkan tragedi yang menimpa keluarga Surti tersebut. Rasanya mengerikan sekali. Pasti Surti menderita traumatik hingga saat ini, apalagi dengan anak yang sudah tidak lagi berfisik normal. Wanita paruh baya itu sangat kuat, sampai bisa menjalani hidup setelah semua yang terjadi.
Tak seperti Ameera yang justru banyak mengeluhkan keadaannya, padahal Axton telah memberikan segalanya. Hanya saja ... berusaha untuk menerima kenyataan yang mengatakan bahwa dirinya adalah istri dari seorang mafia, memang sangat sulit untuk dilakukan.
"Ngomong-ngomong Nona Ameera benar-benar istri Tuan Axton, bukan?" selidik Surti.
Ameera menatap Surti sekilas, lalu menelan saliva. "Entah," jawabnya. "Umm ... lalu, Bibi bisa ada di sini sebagai pelayan saya mendapat informasi pekerjaan dari siapa?"
"Soal itu, sebenarnya saya mendaftar di salah satu yayasan penyalur pembantu rumah tangga. Keponakan saya juga yang mendaftarkan, lalu, suatu malam, tepatnya satu minggu setelah pendaftaran seorang pria mendatangi rumah saya. Tuan Justin, ya, beliau yang datang. Tuan Justin menawari pekerjaan ini dengan iming-iming uang begitu banyak, bahkan saya sampai syok melihatnya."
"Justin?" Dahi Ameera mengernyit. "Bukan Axton?"
Surti menggeleng. "Hanya Tuan Justin, Nona. Lalu saya mengambil beberapa tumpuk uang yang cukup untuk saya berikan pada keponakan saya, agar dia bisa mengurus putra saya tanpa kesulitan. Sisa uang itu saya kembalikan karena saya takut. Lebih baik, saya digaji setiap bulan daripada langsung diberi banyak uang."
"Hmm? Bukankah uang itu bisa membuat Bibi kaya raya? Bahkan Bibi tidak perlu bekerja di sini."
"Kan syaratnya saya harus bekerja untuk mendapatkan uang itu, Nona. Lagi pula, saya sudah mengambil uang dengan jumlah yang cukup. Saya tidak enak hati, belum bekerja malah sudah diberi banyak uang. Lebih baik dibawa saja oleh Tuan Justin dan saat waktu gajian saya bisa mengambilnya sedikit demi sedikit untuk kebutuhan putra dan keponakan saya, Nona."
Ameera menghela napas, lalu tersenyum tipis. Ternyata ada orang yang jauh lebih naif darinya. Entah Justin atau Axton sendiri benar-benar pandai dalam memilih calon pelayan. Kriteria Surti yang lugu memang tidak mungkin menyulitkan keberadaan Axton yang masih menyembunyikan identitas.
"Bi Surti, malam ini ponselnya boleh saya bawa, 'kan?" tanya Ameera. "Axton menyita semua barang-barang saya, termasuk ponsel saya. Saya tidak memiliki akses komunikasi untuk menghubungi siapa pun."
"Eh?! Ta-tapi, kalau saya yang dimarahi bagaimana, Nona?" tanya Surti cemas.
Ameera menggeleng. "Tidak, tidak akan. Sebelum dia tahu, saya pasti akan mengembalikan ponsel ini untuk Bibi. Bahkan jika sampai gagal, saya yang akan melindungi Bibi."
Surti ragu-ragu, tetapi di sisi lain ia tidak sanggup menolak permintaan Ameera. Entah apa yang membuat Axton begitu ketat dalam menjaga Ameera, sampai-sampai barang-barang Ameera disita, Surti sangat penasaran, tetapi ia tidak bisa mempertanyakan. Menduganya saja ia tidak mampu.
"Ba-baiklah, kalau begitu, Nona." Akhirnya Surti memberikan izin.
Akhirnya, setelah mendapatkan persetujuan dari Surti, Ameera mendapatkan akses untuk mencari informasi. Sebelum itu, ia sudah meminta Surti untuk bergegas keluar dan memasakkan makanan untuknya, supaya nantinya ketika Axton datang, pria itu tidak menaruh kecurigaan.
Nama Bertran Purnama kembali Ameera ketik di papan pencarian di laman internet. Artikel-artikel yang sempat ia abaikan pun bermunculan satu per satu. Ternyata Bertran Purnama bukan pria biasa, melainkan seorang pengusaha yang sangat kaya. Sepertinya rencana untuk dapat terhubung dengan pria itu akan menjadi kesulitan tersendiri bagi Ameera.
"Tidak! Aku tidak boleh menyerah. Sekarang, aku sudah tidak memiliki siapa pun, dan aku jamin Ibu juga semakin tidak peduli denganku. Aku tidak boleh terlalu naif lagi, aku harus bisa kabur dari gedung sialan ini!" ucap Ameera yang sudah mendapatkan keyakinannya lagi.
***