Setelah siap dengan penyamarannya Claretta pun turun kembali dari bangunan laundry itu dengan menggunakan tali. Tak lupa ia menggunakan topi yang cukup lebar ala tentara, agar tidak mudah terlihat dan dikenali wajahnya.
Sesampainya di bawah, ia berjalan santai sambil sedikit menunduk. Melewati jalan-jalan di Geneva yang kini sepi. Jarang sekali ada orang di jalanan itu sekarang.
Sesekali ada orang yang berjalan pun seperti tergesa-gesa untuk ke suatu tempat atau pulang ke rumahnya. Kemudian, menutup pintu dengan rapat. Kendaraan umum pun sudah tak terlihat di desa itu, benar-benar seperti desa yang mati dan tak berpenghuni.
Claretta berjalan cukup jauh, bahkan sampai ke sungai Rhone. Rumah Brixton sudah tak jauh dari sana. Ia tersenyum tipis dan terus berjalan cepat melewati sungai tersebut. Sekitar lima belas menit lagi ia akan sampai di tujuannya.
Tiba-tiba ada seorang tentara lelaki yang mencegatnya. Pakaian mereka sama. Wajahnya terlihat seperti orang Eropa kebanyakan dan berkulit putih.
"Hei, kau bertugas di desa mana? Sepertinya aku baru pertama melihatmu," tanya Tentara lelaki itu yang nampaknya terpesona dengan kecantikan Claretta.
Claretta mendengkus kesal, ia menganggap lelaki itu sebagai penghalang dan memperlama perjalanannya ke rumah Brixton.
"Tak jauh dari sini. Sudahlah, aku ada perlu pada seseorang," jawab Claretta sambil ngeloyor pergi.
Ia tak memperdulikan lelaki itu lagi.
Tentara lelaki itu mencekal pergelangan tangan Claretta. Gadis itu menghempaskan cekalan tangan lelaki itu dengan kasar, tapi ia terlalu kuat.
"Aku tahu, kau bukan tentara," ucap lelaki tersebut dengan santai.
"Bukan urusanmu," ujar Claretta sinis. Ia tak ingin banyak berbasa-basi, tujuannya belum sampai.
"Aku tertarik dengan dirimu," ujar Tentara lelaki tersebut dengan entengnya dan tersenyum miring.
"Lepaskan!" pekik Claretta setengah berteriak. Untuk saja daerah itu sedang sepi. Hanya mereka berdua dan deru air sungai yang tidak terlalu keras.
Lelaki malah semakin tersenyum lebar ia seakan senang bisa mempermainkan Claretta dan membuatnya marah. Tangannya masih betah memegang pergelangan tangan gadis di hadapannya.
Sementara itu Claretta berusaha berontak dan melepaskan cekalan tangan tentara lelaki tersebut. Dengan tawa terbahak akhirnya lelaki itu melepaskan cekalan tangannya dari pergelangan tangan Claretta. Ia nampak puas bisa mengerjai gadis cantik itu.
Claretta segera berjalan cepat meninggalkan tempat tersebut. Sementara tentara lelaki itu tersenyum miring, karena tahu pasti Claretta akan melewati jalan itu lagi dan ia akan menunggunya. Sebelum panggilan dari atasan berdering.
Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya Claretta sampai di rumah Brixton yang dulu. Keadaan rumah itu sungguh menyeramkan. Nampak Tak terawat dan seperti telah lama ditinggalkan penghuninya.
Claretta hanya termangu menatap rumah kosong di hadapannya. Ia bingung hendak melakukan apa dan mencari tahu ke mana lagi soal keberadaan Brixton.
Tiba-tiba ada seorang tetangga yang baru keluar rumah. Ia berjalan tergesa, sepertinya akan ke suatu tempat.
"Ma—maaf, Kak. Apa kau tahu di mana penghuni rumah ini?" tanya Claretta cepat, sebelum orang itu pergi.
"Rumah itu telah lama kosong. Aku tak tahu ke mana penghuninya," jawab Orang tersebut. Kemudian, langsung pergi meninggalkan Claretta tanpa bertanya lagi.
Claretta masih termangu di depan rumah tersebut. Tak ada orang yang dapat ditanyainya saat ini. Tempat itu begitu sepi.
Tiba-tiba ia ingat ibu Brixton sangat dekat dengan penghuni rumah di belakang rumah itu.
Claretta berjalan menuju rumah yang berada di belakang rumah Brixton. Ternyata rumah itu masih ada dan masih sama. Sderhana dan nyaman. Dulu penghuninya adalah seorang nenek berusia lima puluh tahun, ia menganggap ibu Brixton sebagai anaknya. Mereka sangat dekat saat itu.
Dengan sedikit ragu Claretta mengetuk pintu rumah tersebut. Lalu, keluarlah seorang wanita paruh baya seumuran ibunya. Tetapi ia tahu itu bukan nenek yang dulu dekat dengan ibu Brixton. Jika pun masih ada nenek itu pasti sudah sangat tua sekarang.
"Ma—maaf, saya hanya ingin bertanya. Nenek yang dulu menempati rumah ini di mana?" tanya Claretta sopan.
"Oh, itu ibuku. Ia telah meninggal ketika pertentangan ras hitam dan ras putih belasan tahun yang lalu," jawab Wanita tersebut dengan tenang.
"Kamu tentara dari mana? Sepertinya masih muda sekali," tanya Wanita itu. Tak ada sedikitpun ketakutan dari matanya melihat seragam tentara yang dikenakan Claretta.
"Saya dari tak jauh dari sini. Apa kau tahu di mana keberadaan Brixton?" tanya Claretta lagi.
Ia sangat berharap mendapatkan jawaban dari wanita tersebut.
"Brixton, sepertinya aku pernah mendengarnya. Ia telah lama pergi dari daerah Geneva," jawab Wanita itu lagi.
"Ayo masuk," aja Wanita itu sambil melangkah masuk.
"Kau tak takut dengan seorang tentara?" tanya Claretta dengan heran karena diajak masuk.
"Aku tahu kau bukan tentara. Kau hanya seorang gadis yang sedang jatuh cinta," jawab Wanita itu dengan santai. "Perkenalkan namaku Lusi."
"Aku Claretta. Aku kesini mencari keberadaan Brixton. Dari mana kau tahu aku bukan tentara?" jawab dan tanya Claretta.
Ia akan lebih berhati-hati agar tak ketahuan kalau dirinya bukan tentara sungguhan.
"Sepertinya aku pernah dengar. Tapi, entahlah itu telah belasan tahun yang lalu, sejak ibuku meninggal. Akhirnya, aku memutuskan untuk tinggal di sini dan merawat rumah ini. Begitu banyak kenangan tentang masa kecilku di sini." Lusi bercerita sambil duduk di kursi ruang tamu yang terbuat dari rotan.
Clarettapun tertarik dengan obrolan Lusi. Ia pun ikut duduk di sofa tersebut dan menanti mendengarkan apa yang hendak diobrolkan Lusi berikutnya.
"Oh ya. Tadi, bagaimana kau tahu kalau aku bukan tentara?" tanya Claretta penasaran.
"Aku mantan anggota FBI sebelum ibuku meninggal. Hal mudah untuk mengetahui itu dari caramu bicara," jawab Lusi dengan senyum tipis.
Claretta tak menyangka dirinya bisa bersama anggota FBI. Meskipun hanya sebatas mantan.
"Tolong aku. Aku mencari keberadaan Brixton. Kau pasti bisa dengan mudah menemukannya," pinta Claretta dengan sangat.
Lusi menatap Claretta dengan senyum geli. Ia menganggap gadis itu memang sedang benar-benar jatuh cinta.
"Tolong jangan tatap aku seperti itu. Aku ingin tahu keberadaan Brixton karena banyak kejanggalan yang terjadi di dunia sekarang." Claretta menjelaskan dengan sungguh-sungguh.
"Kejanggalan apa maksudmu?" tanya Lusi yang mulai tertarik dengan obrolan gadis di depannya.
"Kau tahu, hewan-hewan di dunia menurun drastis. Bahkan bukan tak mungkin sebentar lagi punah. Itu bukan isu tapi nyata!" ujar Claretta dengan berapi-api.
"Lalu, apa yang kau pikirkan tentang itu?" tanya Lusi penasaran.
"Di Indonesia, tempatku tinggal ada sebuah gunung yang telah ditutup selama lima tahun. Tapi anehnya setiap yang pergi mendaki ke sana tidak pernah kembali sedangkan Tim SAR dapat kembali," tutur Claretta.