Chereads / My Pregnant / Chapter 16 - Persiapan untuk Pergi

Chapter 16 - Persiapan untuk Pergi

Jeep Wrangler milik Rayno jadi kendaraan terakhir malam itu untuk mengantar Juita pulang.

Setelah seharian menghabiskan main game di rumahnya, Rayno mulai bosan. Ia memberi beberapa lembar uang pengganti waktu Juita yang tersita. Lalu segera mungkin mengambil jubah hitam favoritnya. Terpaksa ia harus jadi supir Juita karena bagaimana pun juga Rayno harus bertanggung jawab. Menjemput, berarti mengantarnya juga pulang. Padahal sebenarnya tubuhnya ingin segera berleha-leha di atas ranjang emas. p

Sepanjang jalan keduanya diam membungkam seperti kulkas ketemu kulkas.

"Ekhem, Ray!" Juita mencairkan suasana.

"Hemmh!" Ray berpura-pura fokus kejalanan, menjawab seadanya dengan nada malas.

"Kenapa dari tadi kamu tidak membelaku? padahal kakakmu, adikmu, dan ayahmu terlihat tidak suka sama aku?"

"Dahlah ... jangan di bahas. Gue capek. Lagian mereka sudah setuju kamu jadi model Medina Cloth 'kan? Suka?" Rayno banting stir.

Ketika itu, Juita merasa di banting juga. Tubuhnya terpelanting, namun tetap bertahan dengan cengkraman yang kuat.

"Hati-hati!" Juita gemetar.

Selang beberapa menit, jarak yang di tempuh jauh akhirnya sampai dengan waktu yang singkat. Bisa di bayangkan kecepatan Rayno seperti apa? Dia memacu mobilnya seperti kuda yang sedang berada di pacuannya.

Berharap semua keluhan Juita berhenti dan tidak membuat isi telinga Rayno menari lagi.

"Terimakasih! aku balik ya Ray!" Wajah Juita pucat pasi.

"Hmmm!" Tanpa turun mobil, Rayno tidak menghiraukan Juita yang kesulitan membuka mobil gunungnya.

Brak!

'Akhirnya!'

Rayno lega Juita tak nampak di pelupuk matanya lagi. Lalu membesarkan volume kotak musik. Alunan musik Rock menggelegar menggetarkan seantero mobil dan tubuhnya siap berjoged liar sambil mengemudi.

Ketika ia menghabiskan beberapa judul lagu, tenggorokannya terasa kesat, berteriak dan beradu jingkrakan dengan jok yang ruangannya hanya seuprit saja.

Ia berinisiatif mencari air mineral di supermarket terdekat. Melihat hari sudah tengah malam, dan hanya bulan penerang alam saat itu, ia turun sempoyongan. Lelah telah berjingkrak-jingkrakan.

"Drink soda satu!" pintanya pada kasir.

Hanya itu satu-satunya supermarket yang buka 24 jam.

Ia keluar dan mengguyur tenggorokannya lebat. Hingga minumnya meleleh ke bagian dadanya yang kini mulai basah.

Satu botol plastik ia lempar sembarang. Saat botol itu mendarat kencang, suara permintaan tolong terdengar lantang menggugah rasa kemanusiaannya.

"Tolong ...! Tolong ...!" teriak dari kejauhan.

Rayno segera mungkin dan melihat punggung wanita yang meminta tolong mulai mendekat.

"Jambret!" Kembali teriakannya menggelegar.

"Mana Jambretnya?" Tanpa menengok siapa orang yang meminta tolong, Rayno lari menghampiri si jambret, dan menendang kuat punggungnya hingga lelaki berkedok hitam terpelanting mencium aspal.

Adu jotos pun tan terelakan lagi. Rayno mendapat beberapa tinjuan di bagian perut, pipi dan hidung.

Hidung pipih itu meneteskan setitik darah segar, tapi kekuatan Rayno jangan di ragukan lagi. Satu pukulan terakhir, penjambret pun terkapar lemah dan membuka genggamannya atas tas yang ia rampok.

"Beraninya sama cewek? sini lawan gue kalau berani!" sergah Rayno menggertak hingga pelaku jambret itu lari tunggang langgang ketakutan.

Ia mengeritingkan pegangan tas hitam, lalu berjalan arah balik sambil menyeka darah segar di hidung dan di ujung bibirnya.

Sakit memang, tapi membantu membuatnya jadi seorang super hero, walau di depan keluarganya ia nampak seperti anak arogan.

Ketika sampai di ujung jalan, ia berdiri tegak saling bertatap dengan wanita yang jadi korban penjambretan itu.

Matanya bergeming tak menyangka. Sedang wanita itu tunduk tak mau membalas tatapannya.

"Sedang apa malam-malam gini berkeliaran, Cit?"

Kini ia bisa memanggil namanya langsung karena ia menyimpan baik nama Citra Larisya Bagaskara di memory-nya.

"A-aku ... habis dari supermarket itu." Tunjuk Citra.

Jadi, sebelum Rayno masuk supermarket 24 jam itu, Citra sudah terlebih dahulu belanja di sana.

Belanjaan yang cukup banyak jadi pusat pandangan Rayno, heran.

"Terimakasih! Maaf aku harus pulang!"

Citra mengambil tasnya, mengangguk sebentar hormatnya, dan segera mengambil langkah cepat karena tak ingin berlama-lama berada dalam tatapan Rayno.

"Citra! tunggu!"

Rayno tak mau malam itu berlalu begitu cepat, ia mengulur waktu dan memutar otak kencang agar bisa menghentikan langkah Citra.

Namun Citra yang tahu bahwa Rayno pacarnya Juita, sekarang sudah tidak ramah lagi.

Ia tahu ujungnya akan berakhir membelit kalau berurusan dengan orang yang bernama Juita.

Ia hampir menyeret barang belanjaannya karena berat, apa lagi malam itu Citra tidak membawa mobil pribadi, karena jarak antara tempat tinggalnya dengan Supermarket cukup dekat, jadi ia memilih ojeg online supaya singset.

"Biar aku bantu! ini sudah malam, ayo masuk!"

"Jangan! Aku sudah memesan ojeg online kok,"

"Tolak saja!"

Rayno menggiwing semua barang bawaan Citra terlebih dahulu hingga Citra tak punya alasan lain untuk menolak. Terpaksa ia harus naik mengikuti barang belanjaannya yang sudah di susun rapi di jok bagian belakang.

Tak ada alasan lain untuk Citra harus duduk di jok bagian belakang, ia terpaksa duduk di depan bersampingan dengan Rayno karena bagian belakang sudah sempit oleh barang bawaan. Maklum daya tampung Jeep hanya sedikit.

Tempat tinggal Citra sudah hampir terlihat. Tapi mobil yang di kendarai Rayno semakin melejit.

"Ray, mau kemana kita? rumahku sudah terlewatkan."

Rayno santai tak menggubris segala kebingungan Citra. Tapi, memang Citra sudah berfirasat tidak enak tentang itu.

Citra gelisah. Di malam yang buta ia dihantui ketakutan besar bersama orang yang baru saja ia kenal.

Akhirnya Citra memberanikan diri angkat bicara. Untuk mengancam.

"Kalau kamu tidak berhenti, aku akan loncat!" Ancam Citra memegang pegangan mobil Rayno.

Rayno terkekeh hebat. Lalu mengabulkan permintaan Citra.

Mobil pun berhenti setelah Rayno mengendalikan tunggangannya. Mobilnya terparkir di pinggiran jembatan.

Pemandangan indah dengan pernak pernik cahaya mengkilat ramai.

Jelas pusat kota terlihat gamang di dalam mobil.

Rayno menghentikan Citra, saat wanita itu hendak turun dari mobil.

"Kamu pikir, akan dengan mudah kamu keluar dari mobilku?"

Ketegangan pun kian mencekam. Pikirannya sudah melayang jorok. Citra benar-benar ketakutan.

"Kamu bisa keluar dari mobilku dengan satu syarat!"

Mata Citra membulat ketakutan. "Aku- aku mohon antar aku pulang! aku wanita baik-baik!"

Semakin kepolosan Citra terpampang, maka semakin nakal juga Rayno mempermainkan Citra dengan menakut-nakutinya. Tubuh kecil Rayno mendekat dan semakin dekat dengan wajah mulus Citra.

Citra memejamkan mata tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Rayno selengean geli. Hatinya benar-benar luluh dan kagum dengan kepolosan Citra. Rayno hanya membetulkan rambut depan yang menghalangi wajah cantiknya.

"Kenapa kamu merem gitu? kamu pikir aku mau ngapain?" Tumben sekali Rayno tidak berkata dengan bahasa 'Lo' dan 'Gue', jelas itu ia lakukan karena Rayno terjerat hipnotis kecantikan Citra hingga bicara pun ia kaku.

"A-aku ..., aku mau pulang!"

"Syaratnya, bersihin dulu luka di pipiku, dan hidungku! Baru aku antar kamu pulang!"

"Owh ... aku kira ...," Citra selalu berpikir jorok setelah ia merasakan malam lalu. Malam yang merenggut kewanitaannya.

"Kamu kira apa? Kamu kira gue bakal cium kamu? Gila aja heh." Kembali ke jati dirinya yang liar dengan suara 'Lo dan Gue'.

Rayno menetralkan suasana dengan meraih kotak P3K di jok belakang.

Bagaimanapun arogannya Rayno, ia sangat menjaga kejantanannya. Ia berteguh keras bahwa wanita pertama yang ia sentuh adalah istrinya. Lain sekali dengan Daniel.

Kotak P3K sudah siap di tunjukan pada Citra. Tapi wanita berkulit putih tetep ragu.

"Kalau gue jahat, lo gak bakalan gue tolong! Lagian, gue gak tahu yang gue tolong itu lo!" jelas Rayno keras.

Citra pun mulai berfikir jernih, meski tatapannya seperti melihat hantu malam saja.

"Baik, gimana kalau begini?"

Rayno menyimpan puluhan lembar uang merah di atas pangkuan rok Citra. Ia harap dengan uang Citra mau mengobatinya.

Salah. Citra bukan wanita seperti itu. Ia menyeret uang itu jauh dari pangkuannya. Lalu dengan tangan ikhkas ia mulai membersihkan darah yang kering di beberapa bagian wajah Rayno.

Rayno sungguh terharu, tak bisa berucap, dan belum percaya. Di dunia ini, pada jaman sangar seperti ini masih ada wanita tak berbau duit.

"Kamu memang wanita hebat!" papar Rayno memegang punggung tangan Citra dengan kedua tangannya membuat keduanya saling bertatapan di dalam mobil di bawah rembulan malam.