Chereads / My Pregnant / Chapter 21 - Welcome Birmingham

Chapter 21 - Welcome Birmingham

Citra lelah, turun dari pesawat yang ia tumpangi setelah burung besi itu kembali ke daratan untuk landing.

Kakinya melangkah bergegas keluar terminal bandara international itu. Dengan menyeret troly bag dan ransel berwarna merah muda di punggungnya, ia mencari-cari siapa yang akan menjemputnya di tempat asing itu.

Setelah matanya melirik liar sekitar Citra telah disampakan seorang wanita berambut pirang, bertubuh gempal. Tanpa basa-basi ia memeluk erat wanita itu walau sedikit terhalang lemak di bagian perut mereka. Kini mulai detik itu Margaret-lah pengganti orang tuanya di Birmingham inggris.

"How are you Citra? Welcome to Inggris!" Sanjungnya dengan tangan melebar.

"Aunty!"

Ada rasa haru di benak Citra saat langkah pertamanya di Birmingham cukup baik dengan sambutan hangat dari tantenya, ia cukup bersyukur sambil mengelus dada masih merasa mual sisa-sisa di dalam pesawat tadi.

Setelah Citra memeluknya, barulah Margaret adik dari Katon melipat kedua tangannya di punggung Citra, dan menepuk pelan bagian pundaknya.

"I'm fine, thanks Aunty!" sambar Citra sebelum berlanjut dengan pertanyaan-pertanyaan yang akan menyulitkannya untuk menjawab.

Margaret membuka pelukannya, lalu melihat raut wajah Citra yang kusam. Bibirnya yang tak berbingkai itu nampak pucat. Dan tubuhnya semakin melemah.

"Are you okai?"

Citra mengangguk pelan diiringi senyum pasrah. Keduanya berjalan saling merangkul tangan. Rindu yang membelenggu sontak hilang. Jelas rindu, karena terakhir Citra bertemu bibinya itu bisa terbilang saat ia masih belajar di tingkat taman kanak-kanak.

Citra belum mengerti artinya perpisahan di tinggal jauh oleh kerabat saat itu. Hanya media sosial penyambung silaturahmi keluarga besarnya. Karena kesibukan masing-masinglah yang menjadi jurang pemisah antara Katon dan Margaret saat itu.

"Apa kabar ayahmu Cit?"

Citra sangat tak menyangka, walau tantenya lama tinggal di luar negri, tapi dia tidak pernah melupakan bahasa kebangsaannya 'Bahasa Indonesia'.

"Tante? Masih bisa berbahasa indonesia?" Citra bertanya untuk kembali meyakinkan hatinya. "Tentu sayang! Tapi, maaf kalau ada sedikit-sedikit yang lupa! Don't think too much!"

Citra terkekeh geli mendengar ocehan tantenya yang lucu. Suasana ini cukup menghiburnya, walau tak bisa melupakan seisi kepalanya yang masih kacau.

Hingga masuk kedalam mobil pun, tante Margaret masih melontarkan beberapa lelucon penghibur untuk pembuka perkenalan mereka kembali.

Citra tahu tak perlu perkenalan lagi untuknya, tapi waktu yang lama tak bertemu masih membuat dirinya ragu untuk menebak-nebak jati diri seseorang. Apakah harus jadi periang atau jadi pendiam? Kali ini Citra lupa akan jati diri yang sebenarnya.

Semenjak kejadian malam itu, sedikit banyak ia harus belajar berbohong walau berbohong sama sekali tidak ada dalam kamus kehidupannya.

Di depan Margaret bibirnya tersenyum lebar, tapi tangannya mengelus-elus pelan ulu hatinya yang mual.

"Tan, bisa perlambat laju mobilnya?"

"Oh, emang kenapa? Segini, cukup?" Margaret sedikit mengendurkan laju mobil.

Sepanjang perjalanan pulang, Citra hanya menyender di kursi depan sedan mewah milik Margaret. Sambil mendengarkan musik di handphonenya, Citra sama sekali tidak berminat untuk melirik keindahan sekitar. Pemandangan gedung pencakar langit, dengan jalanan yang bersih dan tumbuhan hijau di relakannya pergi tanpa di nikmati terlebih dahulu oleh matanya.

Citra hanya memikirkan rasa lelah di tubuhnya, hingga ia pun tidak terlalu mendengar seksama ocehan tante Margaret di pinggir joknya. Hanya senyuman palsu ia lontarkan untuk membuat tantenya tak berkecil hati.

"Paman ada, Tan?" tanya Citra pada margaret, meskipun Citra sudah bisa menebak jawabannya bahwa Paman jarang di rumah.

Sebelum pergi, Ayah Katon sudah lebih dahulu menjajakan banyak cerita pada Citra. Bahwa Pamannya bukan lelaki baik, tak pernah memberi nafkah cukup untuk tantenya, bahkan kerjaannya di luar hanya bermain perempuan dan bermabuk-mabuk ria.

Margaret menggelengkan kepala malu.

"Owh iya, Maaf tan!" sambung Citra mengerti.

"Anak Tante?"

Kembali Margaret terdiam dengan mata sedikit berkaca.

"Sampai saat ini, tante belum pernah merasakan hamil, apalagi punya anak." Satu tetes air matanya menerobos pertahanan Margaret.

Citra sedikit empati mendengar hal itu, terlihat jelas tantenya Margaret sangat merindukan sesosok bayi kecil dalam kehidupannya.

'Pantas saja paman selalu bermain perempuan di luar sana, ternyata ini sebabnya,' bisik lirih Citra dengan mata masih menyorot Margaret yang terus mengemudi.

"Oh, ya Tan! Ada titip salam dari Kirana. Masih ingat Kirana 'Kan?" Citra mencairkan suasana dengan membelokan percakapan mereka.

"Tentu. Mana mungkin tante lupa ponakan-ponakan Tante, dulu kalian kecil-kecil. Lihatlah sekarang? Kurcaci kecil dulu sudah menjelma jadi Bidadari." Margaret menyeka air matanya berusaha tetap Happy menyambut kehadiran Citra kali ini.

Dari bandara menuju tempat Margaret yang terbilang cukup jauh, membuat Citra terlelap menyender di atas jok mobil. Hanya background hitam yang ada di pelupuk matanya hingga sampai rumah pun langit sudah terlihat sangat gelap.

"Citra! Wake up! Kita sudah sampai di rumah." Margaret sibuk mengemas barang bawaannya di bagasi belakang, sedang Citra yang baru sadar terus meremas matanya agar tidak terlalu kabur.

"Hoamz, kita sampai tan?"

"Iya! Sini bantu Tante!" ajak Margaret di balik ekor mobilnya.

***

Sedang Ibu kota Jakarta terpaut lebih cepat 7 jam dari Birmingham, Britania raya. Kalau Citra sekarang sedang merasakan indahnya malam di Birmingham, Ray malah sedang pusing-pusingnya.

Ia berhasil keluar dari hukuman yang menjeratnya. Gathan berani menundukkan harga dirinya depan semua orang yang di sebut sebagai korban. Ketika itu uang sama sekali tidak berarti. Tatakrama lebih berharga, meski berat Gathan meredam emosi di luar Zona amannya.

Sampai penjemputan Ray di kantor polisi, Daniel merasa lebih baik dari pada adiknya itu.

"Sudah aku bilang! Jangan terlalu dekat dengan Juita, dia bukan anak yang baik." Cetusnya di tengah suasana yang kaku dalam mobil.

"Jangan so'tahu ya kak! Ini bukan gara-gara Juita!" bela Rayno.

"Buktinya? Pipi minta maaf juga pada Juita 'kan? Mau di kemanakan wajah Pipi di kantor nanti?" Celetukan Daniel cukup mengocek suasana.

"KAKAK!" Ray naik darah.

"Ray, diam!" Gathan angkat bicara.

Sedang Natasya asyik mengangguk-anggukkan kepala menikmati lagu di balik handsfree yang menyumpal telinganya.

Suasana seisi mobil pun mulai hening. Hanya deru mesin yang lembut membuat suasana sedikit mengalir sejuk.

"Sya, jadi kamu kapan mau berangkat ke Inggris?" Daniel mencairkan kekakuan suasana di dalam mobilnya.

Tasya tetap mengangguk tak perduli.

"Sya?" ulang Daniel memanggil semakin menekan.

Jelas tak terdengar, volume musiknya hampir terdengar keluar handsfree.

Ray geram dengan tingkah Tasya yang sangat kekanak-kanakan. Ia menyenggol adiknya dengan sikut tangan.

Kini giliran Tasya yang merasa tertantang. "Apaan sih? Senggol- senggol? Kakak pikir ini di diskotik? Saling senggol?" Tasya mencabut handsfree di telinga yang terkail pada hijabnya.

"Diskotik? Telinga lo' tuh, yang kaya diskotik!" sergah Ray dongkol.

Kenapa ia merasa tak di hargai, berbuat baik pun selalu di tuduh salah. Kedua sodaranya pun sangat menyebalkan merasa tak pernah ada di pihaknya.

"Ray! Sudahlah, Pipi masih penat. Jangan kamu nambah-nambahin lagi!"

"Ta--tapi Pi?"

Terlebih setiap kali Pipi Gathan menyerangnya dengan ketus, matilah karakter Ray walau dia berusaha berlaku baik. Ray merasa tak ada satu celah saja untuknya membela diri.

Matanya menyala melihat tajam ke arah Daniel setiap Gathan menyentaknya.

'Shhh, ini semua gara-gara anak beda darah itu. Coba kalau dia gak pernah ada, pasti ceritanya gak gini.' Gerutu Ray dalam hati.