Usai menurunkan semua barang di bagasi, Citra mendorong troly-nya masuk rumah. Bangunan tua bertingkat itu tak terurus terlihat menyeramkan. Rumput liar di samping rumah pun sudah hampir satu mata kakinya.
Langkah Citra terhambat karena masuk ke kubangan becek yang jelas bersembunyi di sela timbunan rerumputan tinggi.
Cek! cek! cek!
Citra meringis sedikit tak nyaman.
"So'Sorry, keadaannya memang begini. Tante jarang di rumah karena harus bekerja," Margaret merangkul Citra yang hendak melangkah maju sembari tersenyum kecil.
"No problem, Tan!"
Citra pikir di luar negri sudah tak ada bangunan kumuh seperti itu, ternyata di balik gedung-gedung pencakar langit, dan banyak lagi bangunan mewah di sana, masih ada kehidupan terpuruk seperti itu. Tak habis pikirnya Citra, karena keadaan yang sangat mengkhawatirkan jatuh pada kehidupan tantenya sendiri.
"Lama Tante tinggal di sini?"
"Lumayan. Saat suami tante tak kerja lagi, maka tantelah yang harus kuat banting tulang untuk bertahan hidup. But, I'm fine and so happy!"
Keringat Margaret bercucur membasahi tubuhnya, ia membuka kunci pintu berukuran tinggi itu. Bangunannya penuh debu, tapi lumayan masih kokoh untuk di tempati.
Setelah Citra masuk, pandangannya langsung termakan suasana. Beberapa lukisan antik membuat suasana rumah cukup mencekam. Dan terakhir di pojokan samping pintu kamar terpampang potret wanita gempal berambut curly itu. Di samping tantenya, terlihat lelaki gagah berkumis tipis.
"Who's he, Tan?"
Margaret tersenyum lebar, tubuhnya berjalan mendekati Citra yang sedang menilik potret di dinding itu.
"How? Handsome? Itu pamanmu."
Mata margaret mulai liar tak ingin terlarut pada lelaki di balik potret itu. Sedang Citra semakin menyidik lebih seksama, wajah itu terasa sejuk jika di lihat semakin matang. Ada sesuatu kebaikan tersimpan dari tatapannya.
"Kamu tunggu di sini sebentar! Tante cari makan di toko sebrang jalan. Simpan barangmu di kamar tamu ya!" Titah Margaret dengan bahasa yang sedikit tergagap. Demi ponakannya dia harus terbiasa dengan bahasa indonesia, walau Citra sangat lancar berbahasa asing, tapi Margaret tak mau menghilangkan kebudayaannya sendiri depan Citra.
Beberapa menit Margaret keluar dari rumah itu, suasana rumah cukup mencekam. Citra berusaha menepis rasa takutnya, dan menepuk-nepuk beberapa kursi dan meja untuk menghilangkan debu yang bersarang.
Ketika bau apek semakin menyengat karena abu yang berkeliaran, Citra mencari sebuah masker di tumpukan trolynya. Troly pun terpaksa di angkat ke atas meja kayu oleh Citra sambil terengah kesulitan.
Prak!
Sebuah dompet tipis bermotip monocrom jatuh tepat di atas lantai samping meja. Citra heran karena jelas itu bukan miliknya. Perlahan kedua tangannya meraih dompet bersamaan dengan kening mengernyit keheranan.
"Pasti ini punya tante Margaret? Gimana mau belanja kalau dompetnya saja ketinggalan?"
Peluang besar untuknya pergi dari ketakutannya sendirian di rumah besar berdebu kental itu. Citra berlari kecil dengan mata berhati-hati melirik kesekitar. Saat hendak ia membuka pintu depan, sesuatu sangat mengejutkannya hingga tubuh kecil Citra terpental mundur dan jatuh setara dengan lantai.
"Siapa kamu?" Teriak Citra ketakutan.
Bagaimana ia tidak takut, kalau orang di hadapannya datang tiba-tiba dengan mata yang merah menyala. Kumis dan janggut yang brewok hampir menutupi seluruh bibirnya. Hingga ia tertawa kencang pun hanya suara yang terdengar di telinga. Sungguh Citra tidak bisa mengenali manusia asing di depannya.
"Hahhahaa! hai cantik, sedang apa kamu di sini? pasti kamu sudah menunggu aku dari tadi ya?" Suaranya menggeram tebal sangat menakutkan.
Kaki Citra yang terasa lemas sama sekali tak mampu untuk mengangkat tubuh mungilnya. Ia hanya bisa menggeser tubuh sedikit demi sedikit untuk menjauhi lelaki menyeramkan itu.
"Jangan mendekat! aku akan teriak!" Ancam Citra terus menggeser tubuhnya kebelakang.
Kenakalan lelaki brewok itu semakin menjadi, sesekali ia menenggak minuman beralkohol yang membuat tubuhnya sangat bau sekali. Walau wajahnya nampak menakutkan, tapi penampilannya lekat dengan kemeja kantoran. Ia menggulung lengan kemejanya dan membuka dua kancing teratas hingga dadanya berlomba untuk terlihat keluar.
Belum habis trauma yang Citra alami di indonesia, kini ada lagi laki-laki cabul datang yang ingin segera menerkamnya.
Setelah ia menyimpan botol beralkohol itu di meja, ia semakin membuka kancing per kancing kemejanya. Dadanya terlihat lebih putih di banding wajahnya yang sangat tidak terawat.
"Ayo, bermain sedikit denganku, Cantik!" godanya.
Sekuat tenaga Citra bangkit dan cepat lari terbirit-birit hingga tidak tahu posisinya sekarang sedang ada di mana. yang jelas di tempat itu penuh dengan lukisan aneh dan menyeramkan.
"Kamu masuk ke tempat yang tepat sayang!" ujarnya semakin genit dan nakal.
Tubuh sempoyongan itu hampir saja berhasil memeluk Citra di arah depan, tapi pukulan kayu balok lebih cepat menghantamnya di banding pelukan itu.
Brak!
Tubuhnya seketika terkapar tak sadarkan diri menimbun beberapa lukisan yang belum sempat selesai.
"Tante!" Sergah Citra segera memeluk erat Margaret.
"Maafkan tingkah laku Petter ya sayang!"
"Petter?"
"Iya, dia pamanmu." Margaret malu.
Mendengar semua kenyataan itu, seketika tubuhnya terpaku, sekejap otaknya tak bisa berpikir kalut. Dan menit kemudian, Citra lemas lalu ikut terkapar menyusul Petter di lantai kamar lukis itu.
"Oh, no! Citra! Wake up! come on!" Margaret benar-benar khawatir dan sangat bimbang.
Jangankan untuk memboyong tubuh Citra ke kamar, membawa dirinya yang gempal itu pun Margaret memang sedikit kesulitan. Terpaksa ia menyeret Citra dengan menariknya perlahan ke area kamar. Sedang Petter di diamkannya menunggu pertolongan datang.
Hampir seperempat jam, sebuah mobil putih bersirine itu datang dengan antek-anteknya berseragam serba putih. Semua tetangga berguyun melihat ada beberapa korban di dalam rumah yang nampak tak berpenghuni itu.
Terakhir Margaret keluar dari rumah mengiringi blankar yang Citra tumpangi untuk segera naik kedalam ambulan berdampingan dengan Petter.
Margaret lebih mengkhawatirkan Citra di bandingkan Petter yang berlumur darah segar di bagian kepalanya. Sampai-sampai ia melupakan rasa lelahnya dan terus berdoa di samping blankar Citra dan menggenggam tangan Citra selalu.
Semua mobil di depannya sekejap meminggir ketika mendengar sirine ambulan terus menjerit. Laju mobil yang mereka tumpangi lari dengan kencang melesat tanpa hambatan.
"Ya Tuhan ... apa lagi ini? Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa pada Citra." Bisik hati Margaret.
***
Pada waktu yang sama, Daniel yang sedang bersantai di balkon kamarnya sore itu tiba-tiba cemas tak karuan. Ia segera bangkit dan mengambil cangkir berisi kopi panas di dalamnya. Bukan di tenggaknya kopi itu, tapi tatapannya hanyut ikut gelap masuk kedalam cangkir berisi kopi yang ia genggam.
Tak ada angin, tak ada hujan, perasaan Daniel semakin kalut. Otaknya berputar dan tiba-tiba mual.
Prang!
Mendadak cangkir itu terlepas dari tangan Daniel hingga terpecah belah menghantam lantai kramik.