Rayno kebakaran jenggot saat Daniel menyapa lelaki cungkring itu ringan di bibir pintu rumahnya.
Dua gagang pintu sedikit terbuka saat itu, karena kerjaan Daniel yang kegerahan. Sengaja ia buka pintu rumah itu agar angin malam masuk menyegarkannya.
Waktu menunjukan jam 00.00
Seperti biasa Daniel bertelanjang dada di depan layar canggih dengan berukuran 14 inc lengkap dengan keyboardnya. Ia asyik sendiri memainkan game kesukaannya.
Ketika itu, Rayno masuk tanpa salam. Cukup mengagetkan Daniel, hingga ia terperanjat terkejut mengira malinglah yang masuk.
Rayno berjalan seperti ayam melewatinya tanpa ada sapaan. Jelas Daniel semakin geram.
Untungnya mood Rayno saat itu sedang senang. Tak biasanya, ia datang sambil selengean tipis, bahagia. Sesekali bola basket yang selalu ada menemaninya, menari di ujung telunjuknya. Berputar dengan putaran yang tak terhitung, memberikan Rayno kenikmatan saat memainkannya.
"Dari mana saja kamu? Jam segini baru pulang?" tanya Daniel bangkit dari kursi putarnya.
Sempat Rayno terdiam di belakang tubuh Daniel yang tinggi besar memakan bayangan tubuhnya. Tapi beberapa detik selanjutnya dia menggeleng kepala santai lalu melanjutkan langkahnya melewati badan Daniel yang kekar.
"Rayno! Aku bicara sama kamu!" sentak Daniel.
Sentakan itulah yang kini menyulut emosi Rayno. Rayno menoleh kearahnya dengan tegang.
"Darimanapun Ray, bukan urusan kakak! ngerti!" balik sentakan Rayno membidik tatapan kakaknya tepat di bola mata.
"Owh, gitu? Ray! kakak ingetin ya! Jauhi Juita, dia bukan wanita baik-baik. Kakak tahu belangnya wanita itu."
Lelaki dengan body yang tipis berpenampilan seperti rocker itu kini berlenggak sinis mendekati wajah kakaknya marah.
Ujung hidungnya berjinjit kesal. "Jangan so' care sama Rayno. Ray bukan anak kecil lagi! faham?" Telunjuk Rayno mengelu-elukan Daniel dengan penuh tantangan.
Kini Daniel mulai angkat badan, berwajah merah membara, ingin segera memukulnya. Tapi netranya kini terkondisikan lagi.
"Kakak lakuin ini karena kakak respect sama kamu! Bagaimanapun juga, kamu adik kakak."
"Heh, respect? Haha, gak salah denger? Jangan harap dengan kakak respect, Ray mau berbagi Pipi dengan kakak ya! gak sudi!" nista Rayno pada kakaknya.
"Rayno! Jaga mulut kamu!"
Di sudut pintu kamar, Gathan mendengar percakapan kedua anaknya. Berjalan cepat melerai Rayno dan Daniel. Memang jelas Gathan tak terima dengan tingkah Rayno yang tidak senonoh karena lelaki cungkring itu lain benih dengan Daniel. Mantan There-lah yang meninggalkannya selagi hamil besar. Lalu There terbantu oleh Gathan karena perjodohan antar keduanya. Intinya Rayno bukan anak kental dari darahnya.
Malam itu, Gathan tak terima perlakuan Rayno yang terus menyulut.
Gathan berjalan menyambangi Ray, terus menghapit pipinya dengan telapak tangan dan melirik ke kanan ke kiri.
"Kenapa dengan wajahmu? Berantem lagi?" sergah Gathan mencari kesalahan Rayno.
Rayno mengelakkan wajahnya hingga tangan Gathan terhempas kebawah.
"Papi sudah duga, kamu memang urakan. Kapan kamu sadar?" kecam Gathan sinis. Membuat Rayno sebagai anak muda mendapat tekanan berat dari orang tuanya hingga ia selalu membantah dan membatin dalam benaknya.
Rayno tidak bisa membela diri. Karena bagaimanapun ia membela diri, tidak ada celah untuknya untuk bicara.
"Lihatlah kakakmu! Semalam ini dia masih bekerja. Apa kamu gak malu? semalam ini kamu baru pulang?" Padahal saat itu Daniel bukan kerja melainkan main game di laptop kesayangannya.
"Teruslah! terus bela anak emas Papi! aku muak, Pi! MUAK!" teriak Rayno melempar salah satu pas bunga di sampingnya.
Prang!
Puncaknya Gathan semakin membuncah. Ia menarik satu lengan kanan Rayno kencang. Gerak refleks yang tak terelakkan saat telapak tangan Gathan sampai mendamprat pipi anak tirinya dengan tenaga kuat.
Plak!
Pipi Rayno yang sudah mendapat pukulan saat menolong Citra itu, di tambah lagi gamparan sayang dari Pipi-nya Gathan. Padahal di belakang semuanya Rayno tidak seburuk yang di bayangkan. Pelupuk matanya kini merah muda. Lengan Rayno lekat terus mengelus nempel di pipi tirusnya, menahan rasa sakit di bagian wajah, dan tentunya di hati juga.
"PAPI?" Tak di sangka tak di duga, There melihat kejadian itu di sudut kamar. Ia terbangun ketika pecahan pot terdengar bising di telinganya.
"Mami?" Rasa bersalah pun kini kian merasuk di perasaan Gathan.
Sakit hati yang bersarang di benak Rayno sudah tak bisa di obati lagi. Tubuh Rayno sudah kuat kembali atas cibiran keluarganya, lalu lari sekilat mungkin masuk kedalam kamarnya. Dan membantingkan tubuh kecilnya di atas ranjang, sambil memeluk erat bola basket yang masih ia genggam.
"AAAARRRRGGGGHHHH!" Teriaknya lumayan menggema di dalam sepetak kamarnya yang sangat berantakan.
Di luar kamar, ketiganya mendengar gelegar suara Rayno yang sangat tak biasa. Gathan celingukan bimbang. Sedang Daniel ikut tak enak hati karena ia yang memulainya.
"Pi, sampai kapan duel ini akan terus berlangsung? dan Rayno yang jadi pesaingnya? Aku juga lelah Pi." sambar Daniel ikut meninggalkan situasi yang kejam itu.
There yang masih mematung pun tak bisa menahan derasnya air mata di pelupuk pipinya. hatinya sangat sakit, tapi ia tak bisa angkat bicara, bagaimanapun juga There sangat menjaga kedekatannya dengan sang suami. Kalau saja nasib pernikahan keduanya renggang, There tak akan habis fikir bagaimana melanjutkan kehidupannya yang serba glamour.
Pelan sekali, dengan tubuh lesu, There meninggalkan suaminya sendiri.
Gemuruh hati Gathan mulai berseliweran saat melihat semuanya bubar dan meninggalkannya sendiri.
'Duel ini akan berakhir, sampai suatu saat aku bercerai dengan There ibumu, dan menikah lagi dengan Bundamu, Nak!' teriak hati Gathan yang tertahan.
Keesokan harinya.
Meja makan keluarga besar Gathan sangat beku. Keheningan seolah membuat suasana canggung di antara semua peserta makan. Hanya Natasya adik bontotnya yang celingukan tak mengerti apa-apa karena semalaman suntuk ia tidur dengan lelap seperti di hipnotis alam.
Derap kaki Rayno masuk keruangan makan, membuat isi hati mereka berdetak kencang.
Tatapan Rayno memanah ke semua arah saudaranya termasuk Mimi dan Pipinya. Setelah satu tatapan terselesaikan, ia mengunci rapat mulutnya masam, lalu menyambar satu gelas air mineral, dan menenggaknya tanpa duduk di kursi makan.
Glek, glek, glek! plak!
Meja makan bergetar saat Rayno menyimpan kuat gelas miliknya. Setelah itu Rayno meninggalkan tempat itu tanpa satu patah kata pun.
"Ray? kamu gak makan dulu, Nak?" teriak There sedikit membujuk. Tapi ia tetap tunduk di kursi mejanya tak bisa mengikuti derap langkah Rayno yang semakin menjauh.
Tasya semakin tidak mengerti saja. Ia menyuapkan makanannya dengan mata melirik kearah luar meja. Melengok tak habis pikir dengan tingkah Ray yang sangat dingin dan urakan mengenakan celana jeans yang robek-robek di bagian lututnya.
"Aku juga gak lapar!" Daniel mengikuti jejak Rayno mengail tas kerjanya, dan menenteng laptop alat tempurnya di kantor.
"Nah lo? apaan sih ini? ada drama apa lagi sih Pi? Mi?" tanya Tasya polos.