Ketika pesawat yang di tumpangi oleh Citra lepas landas, pemandangan seluruh Jakarta semakin mempesona. Manusia terlihat bagai semut yang menggelitik, dan gedung pencakar langit seperti cerobong asap yang meraih angkasa.
Citra cukup menikmati penerbangannya. Burung baja itu melayang bebas mengepakkan sayap semakin termakan oleh mentari yang meneyorot.
Suasana kabin bertambah panas siang itu, tapi aroma wewangian di area tempat duduk Citra cukup membuatnya nyaman.
Setelah menarik nafas panjang, ia pasrah dengan langkahnya. Yakin ini adalah langkah yang terbaik untuknya.
Hingga pesawat telah setara dengan awan-awan cantik di udara, Ibu kota semakin hilang.
Menit kemudian, Citra menatap jelas awan berada di sampingnya. Sederajat dengan tubuhnya yang duduk santai di pinggir jendela.
"Maafkan Citra Yah! Ini cara Citra agar tidak terus dihantui rasa bersalah. Citra janji akan menggapai apapun yang di cita-citakan ayah untuk Citra. Tapi, nanti!" gemuruh hatinya lantang berbicara. Ia hanya bisa memendam semua perasaan itu, dan mulai lembaran baru di kota baru juga.
Saat hatinya sedikit ringan, ia mulai menyenderkan tubuhnya di daun kursi berbahan leather.
Nyaman, memang nyaman. Tapi ketika kenyamanan itu akan segera larut, tiba-tiba ulu hati Citra terasa di remas hebat. Panas dan mual bercampur rata. Sempat ia menahannya, tapi semakin di tahan Citra semakin sulit bernafas.
Melihat sekitar, penumpang lainnya terlihat aman-aman saja. Ada yang sibuk membaca media cetak, ada yang menikmati pemandangan, dan ada juga yang tak ingat dunia alam, tidur pulas hingga air liur hampir menetes ke kursi ternyaman itu.
Citra meringis melihat tetangga di sampingnya duduk sambil tidur dengan posisi yang sangat jorok. Jelas itu semakin membuatnya tersiksa dan ia terpaksa membekam mulutnya sendiri menunda rasa mual itu agar tidak semakin meraja.
Namun pada puncaknya, ia tetap tidak bisa menahannya lagi. Citra terbirit-birit lari sampai ekor pesawat, masuk ke toilet yang berlabel perempuan mengenakan rok pendek, artinya
itu adalah toilet khusus wanita.
Tanpa lama lagi, ia memuntahkan seisi perutnya. dengan keran air terbuka, tekanan dalam ulu hati memompa seluruh cairan dalam tubuhnya untuk keluar melewati kerongkongannya.
"Uoook! Uoookkk! Uoook!" Citra muntah hebat diiringi gemiricik air dalam keran.
'Aku muntah?' Pikirnya heran.
Jelas heran, ini pertama kalinya Citra mabuk perjalanan.
Mata Citra memerah, pandangannya nanar melihat keseluruhan wajah di depan cermin lebar yang cukup untuk lima sampai enam perempuan untuk bercermin secara bersamaan. Tapi untungnya, di toilet saat itu terlihat sepi. Cermin besar serasa milik sendiri.
Cermin itu seperti ingin menelannya. Rasa pusing itu semakin menjalar. Benar-benar dia dibuat aneh oleh tingkahnya sendiri. Jelas saja aneh, bukan untuk sekali atau dua kali saja dirinya berkendara jauh seperti itu.
Sebelumnya Citra tak pernah sampai merasakan mabuk perjalanan, apapun itu kendaraannya.
Untuk pertama kalinya, Citra merasakan hal yang selangka ini.
Perlahan ia berjalan sambil meremas perutnya yang kecil, bingkai pink di bibirnya mulai pudar terbasuh bilasan air saat muntah.
Semakin nampak di wajahnya, pucat pasi dan melangkah tanpa tenaga.
"Ada yang bisa saya bantu, Nona?" Tanya seorang wanita cantik berseragam biru berkombinasi batik.
Penampilan cempol rambut yang khas, membuat wanita itu beda dari yang lainnya. Dan semua orang tahu bahwa wanita itu adalah staf karyawan perusahaan penerbangan yang bertugas melayani kenyamanan penumpangnya.
Citra mundur satu langkah sedikit kaget merasakan sedikit goncangan di dalam pesawat itu.
Belum sempat menjawab pertanyaan pramugari itu, Citra buru-buru masuk dan muntah untuk kedua kalinya.
Namun kali ini, Citra tak sendiri. Pramugari itu menemani citra karena rasa kemanusiaannya terpanggil untuk menolong.
"Apa nona baik-baik saja? apa yang bisa saya lakukan untuk anda?" tanya wanita di belakang punggung Citra.
Satu persatu penumpang masuk kedalam toilet bergantian. Citra hanya bisa menggelengkan kepala tanpa berucap lalu meninggalkan pramugari itu terpaku di tempat itu.
***
Pada waktu yang bersamaan, Rayno mendapat tamparan keras di pipinya.
Kumparan kemarahan Gathan tak terelakkan lagi.
Ruangan itu terasa sangat mencekam bagi Ray. Untuk pertama kalinya dia masuk ke area jeruji besi sebagai terdakwa.
Kini ray harus satu ruangan dengan sekelompok orang besar berotot besi. Ia harus menanggung akibat dari semua kelakuannya yang kekanak-kanakan.
Di sebuah ruangan kecil, Gathan harus berhadapan dengan Sosok tinggi bertubuh gempal, lelaki itu duduk santai di salah satu kursi ruangan Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda. Kaos 'Turn Back Crime' warna biru jadi lebih mencolok karena kulitnya yang relatif legam, akibat bekerja di luar ruangan nyaris saban hari.
Sorot matanya tajam sedikit membuat gentar bagi orang yang pertama kali bertemu.
"Saya sudah mendapat kabar berita tentang anak anda, silahkan duduk! Saya menunggu anda dari tadi."
Gathan tak mau sedikit saja meluluhkan hatinya. Ia mengangkat pandangan, dengan jidat menegak.
"Jadi, bagaimana baiknya? Apa anakku bisa keluar dengan cepat?"
Karena polisi ini sangat lihai dalam menyelidik, dia tahu sekali harus menanggapi orang sombong seperti Gathan. Bibirnya tersumbing sinis. Lalu ia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ke arah jendela.
"Terserah anda, apakah kasusnya ingin panjang? Atau pendek?" pancing lelaki tanpa seragam itu.
"Oh ... Jadi, berapa yang anda pinta?" Gathan langsung menyambar dengan sinis.
Aipda Zaidan, sudah tak terhitung lagi pengalamannya menjadi ketua tim olah TKP. Mulai dari kasus pidana ringan sampai kejahatan besar menyita perhatian publik. Di Polda itu, dia sebagai unit paling sibuk di Tanah Air, hampir 44.304 kasus di tanganinya.
"Tugas saya mencari sidik jari laten. Jadi saya mencari sidik jari yang nantinya dijadikan alat atau barang bukti untuk membikin terang suatu peristiwa, bukan menerima uang tanpa kerja," ujarnya ketika di sodorkan selembar check di atas meja.
"Jadi, apa maksud anda panjang atau pendek?" Gathan mulai bingung.
"Hal yang pertama harus anda lakukan adalah minta maaf! Maka urusan akan berjalan mudah!" Tegas Aipda Zaidan.
'Hah? Minta maaf?' Gathan mulai gelisah.
Seumur hidupnya pantang baginya merunduk dan memohon ampun. Gayanya memang selalu selangit, terlebih saat kekayaan telah di genggamnya. Walau Ray tak sedarah dengan Gathan, tapi sifatnya hampir seimbang.
Tak pernah mau mengalah.
"Bagaimana? Sebenernya, permohonan maaf itu bukan untuk saya, melainkan untuk orang-orang yang di rugikan. Ada beberapa korban luka kecil di luar sana, karena anak anda menyetir dengan ugal-ugalan. Gak ada salahnya andalah sebagai ayah yang mewakili anak anda untuk meminta maaf pada mereka, Siap?"
Seketika wajahnya Gathan memerah. Mulutnya terkunci rapat. Matanya berkeling sinis pada Aipda Zaidan.
Tanpa lama-lama lagi, Aipda Zaidan membuka salah satu handphone yang di bungkus plastik slip sebagai bukti.
Lalu membuka beberapa bukti lainnya, yang menandakan sebuah sidik jari, lalu video yang viral dalam sekejap atas kerusuhan yang diciptakan oleh Rayno di bandara pagi tadi.
"Ini beberapa bukti yang akan menjerat anak bapak. Bagaimana? masih mau diam?"
Benar-benar Gathan terpojokkan. Apalagi uangnya yang banyak itu sama sekali tidak berguna. Hanya polisi yang jujur yang tetap melakukan pekerjaannya tanpa melihat materi untuk sebuah suapan saja.
***
(Kira-kira apa yang akan di lakukan Gathan untuk Ray? Jangan lupa masukkan cerita ini kedalam rak, komentar sebanyaknya ya!)