Wajah Citra memucat. Terkejut, saat melihat orang di balik blankar itu bukan ayahnya.
Sisi lain dia perasaan bahagia karena masih tersisa harapan tentang hidup dari akar keluarganya itu. Sisi berikutnya perasaan gusar melanda, tidak mengetahui dimana keberadaan ayahnya sekarang.
Semua yang bergulung di depan matanya bubar mengiringi mayat bapak tua yang bukan ayahnya itu. Citra yang lemas sama sekali tidak bisa angkat kaki.
Tapi saat ia melihat dokter melintas di hadapannya, kekuatannya kembali terisi.
"Dok! Bagaimana keadaan Ayahku?"
Lelaki berjubah putih pun bertingkah ramah, tersenyum bijak dan meladeni pertanyaan dari Citra.
"Atas nama siapa?"
"Katon Bagaskara, Dok."
Lengan Dokter itu menari membuka lembaran kertas tebal yang ia genggam sedari tadi. Kebetulan baru saja Dokter itu telah mengecek ulang data pasien yang masuk dan keluar. Sebenarnya itu bukan pekerjaan bagiannya, tapi sengaja Dokter itu turun tangan sendiri setelah melihat kegaduhan atas nama pasien Katon Bagaskara, ketika mencabut infus obat yang di mengalir di tubuh Katon.
"Oh. Kalau boleh tahu anda siapanya?"
"Saya putrinya Dok!" serogoh Citra.
"Mari! kita bicara di dalam ya, Bu!"
Sopan santun Dokter itu melegakan perasaan Citra. Walau hati kecilnya belum tenang jika belum bertatap muka langsung dengan sang ayah.
Setelah beberapa menit di dalam ruangan itu, Citra mendapat informasi valid dari sang Dokter tentang kesehatan sang ayah.
Penyakit Katon yang cukup serius membuatnya berhati-hati dalam melangkah.
Jalannya pelan, masih terngiang penjelasan Dokter di ruangan tadi. Sembari memegang hasil diagnosa sang ayah, ia pasrah.
Tujuan utamanya siang itu sudah sampai. Rumah besar berbalut cat berwarna putih tulang beraksen abu muda membuatnya tak sabar ingin segera tenggelam di suasana dalam rumah itu.
Udara sejuk di ruangan, membuat langkah kaki Citra berlari kecil mencari sang ayah.
"Ayah? Yah? Citra pulang!" Membuka pintu ruangan demi ruangan di istana bersih dengan tata ruang yang funtastik.
Beberapa kamar berhasil ia cek, tapi tak mendapati ayahnya di dalam sana.
Satu pintu kamar yang belum ia buka, Kamarnya.
Pelan sekali Citra membuka sedikit demi sedikit.
Tiga pasang mata seketika bersarang kompak ke arah Citra di balik pintu. Sangat bahagia.
Rindunya sontak terobati setelah satu hari satu malam tidak bertemu. Katon melebarkan kedua rongga sayapnya, senyumnya melebar, dan berwajah segar.
Melihat pemulihan ayahnya begitu cepat, Citra segera merangkul tubuh ayahnya, memeluknya erat dan menyertarakan pipinya dengan pipi Katon.
"Citra rindu Ayah!"
Kirana dan Bi'Nah yang sedari tadi menunggu kedatangan Citra tersenyum haru. Bukan harta, tahta, dan kecantikan yang di irikan oleh Kirana. Kini ia hanya iri dengan kedekatan Citra dengan sang ayah.
'Ayah, andai tuhan mengijinkan aku untuk memeluk ayah sedetik saja, pasti aku bahagia. Sebahagia Citra hari ini,' gumamnya dalam hati.
"Kirana!" sambut Citra melebarkan tangan kirinya, mengajaknya saling berpeluk. Seolah Citra mendengar bisikan yang digumamkan oleh Kirana tadi.
Mata kirana berkaca, tak menyangka ini semua bakalan terwujud. Walau di pelukannya kali ini bukan ayah kandung, melainkan ayah Citra. Kakak dari ayahnya yang meninggal. Tapi bagaimanapun juga, Darah lebih kental dari pada air.
"Kirana, aku mau ayahku jadi ayahmu juga!"
"Maksudnya?"
"Aku mau berbagi ayah. Aku mohon, mulai besok titip ayahku baik-baik ya!"
Mendengar itu semua, senyuman Katon berubah kasar. Keningnya kusam dengan menelan air liur tajam.
"Kamu jadi pergi ke inggris, Nak?"
"Yah! maafkan Citra!" Seraya menunduk lemah.
Kirana tidak bingung lagi, karena sebelum kedatangan Citra, pamannya Katon sudah menjelaskan terlebih dahulu tentang niat Citra yang akan meneruskan study-nya di luar sana.
Kirana sedikit bahagia, karena ia akan memiliki kasih sayang seorang ayah seutuhnya tanpa berbagi. Tapi keberatan di hati Katon sungguh mengikat Citra hingga sulit berbicara.
"Om, ingat! ini hanya sementara. Lagian, Citra melakukan ini semua untuk mimpi-mimpinya. Om akan bahagia, kalau mimpi orang yang om sayangi akan cepat tercapai. Benar 'kan?"
"Nah! Kirana betul sekali, Yah!"
Citra berlaga seolah ceria sepenuhnya. Tak ingin menyisakan tetesan air mata, kalau hari selanjutnya ia benar-benar harus meninggalkan indonesia kota kelahirannya sendiri.
Citra tak punya pilihan lain lagi. Itu semua sengaja jadi pilihannya, karena tak mau menampakan kesedihan dari setiap traumanya.
"Kamu yakin?"
"Yakin, Yah! Citra akan baik-baik saja. Lihat saja, Citra bahagia Yah!"
Untuk pertama kalinya Citra menorehkan kebohongan di wajahnya, untuk sang ayah.
***
Di kediaman Gathan. Seperti biasa di setiap malam, ritual makan malam di keluarga Gathan di jadikan sebagai ajang tatap muka antar keluarga besar.
Biasanya hanya separuh kursi yang terisi, tapi malam ini, kursi berukirkan kuda jantan di daunnya itu terisi penuh. Bukan hanya tiga orang anak andalan Gathan yang hadir. Bahkan ada satu warga lagi yang ikut gabung di tengah meja kebangsaan Gathan.
"Siapa ini?" tanya Gathan melirik dengan ekor matanya.
"Ini lo Pi! Dia pacarnya Rayno. Dari tadi pagi dia main di sini, ya untuk mengikat kekeluargaan kita, Mimi ajak dia makan malam saja," sambar Mami mendukung kehadiran Juita malam itu.
Ya, ada Daniel di sana. Mata Daniel berkeling sinis pada wanita yang sudah menjebaknya. Tapi ia mati gaya, setelah tahu bahwa wanita berbody gitar spanyol itu pacar adiknya sendiri. Terlebih lagi, Mami There ratu rumah itu mendukung kehadiran Juita.
Jelas membuat Daniel serba salah.
"Kakak ini cantik. Tapi, sepertinya rok kakak kurang bahan ya?" celetuk Natasya menyindirnya.
"TASYA!" Mami angkat bicara. Bola matanya hampir loncat ke dalam sayur.
"Ups, maaf!" pekik Tasya menutup mulutnya sambil mata mengarah ke Daniel nakal.
Daniel dan Tasya yang kompak menahan tawa geli.
Dan memainkan sendok dan garpunya di atas piring berisi spaghetti.
Rayno diam saja, sama sekali tidak membela, atau pun mencela. Karena pikirannya masih terpaut pada seorang wanita yang meninggalkannya tiba-tiba di bibir gerbang Marta Foundation tadi pagi. Ketika Ia hendak menjemput Juita tadi pagi, adalah moment terindah yang tidak akan pernah ia lupakan.
'Citra Larisya Bagaskara.' bisik hatinya terus mengingat-ingat nama itu dan mengukirkannya di dalam hati.
"Ray! Stt!" Juita menendang kaki Rayno yang menyawang kosong ke tengah piringnya
"Ya? Citra?" kecapnya tak sengaja mengucap nama itu refleks di tengah meja.
"Siapa Citra?"
"Oh, enggak! maksud aku Juita!"
Bibir Juita mengerucut tipis. Dan sesekali memperlihatkan taringnya sengit.
"Sudah, Lupakan saja! itu gak penting."
"Masih kecil udah pacaran. Gimana kuliahmu nanti Ray?" sanggah Gathon kurang Pro pada Juita.
"Pi, Rayno udah berusaha keras buat masuk universitas unggulan. Jadi Papi jangan khawatir!" Kembali There menyikat jawaban dari Rayno duluan. Kalau bibir There gak gerak cepat, alamat cekcok antara Rayno dan Papi mencuat lagi.
Gathan mulai fokus makan, dan ruangan canggung mulai hening merasa ada yang mengganjal.
Di keheningan ruangan itu, tektok piring dan sendok saling bergeser. Di selingi celetukan There yang mencubit suasana semakin panas.
"Pi, gimana kalau Juita jadi model di Medina Cloth? body-nya juga lumayan Pi?"
Sontak semua pasang mata keluarga bersarang kompak di depan pandangan There.