Bingung dengan keadaannya sendiri, Citra hampir tak yakin dengan sebuah masa depan.Ia merasa ada yang aneh dengan hidupnya.
Setiap kali akan melangkah mencari solusi, ada saja hambatannya.
Dari mulai mobil tersendat kucing, terus ketika mau ke ruang guru tertahan Juita, dan dia merasa akan ada banyak lagi hambatan-hambatan lainnya.
Citra merasa ragu dalam kesendiriannya.
Di perjalanan pulang ketika mengemudi, Citra menyorot jalan dengan mata kosong.
Halusinasinya meninggi. Salah satu jembatan terbesar di kota tua itu seolah melambai-lambai kepadanya.
'Ayah?' gumamnya dalam hati seolah melihat bayangan Katon di balik jembatan itu.
Jalanan yang lenglang membuat Citra leluasa berhenti di sudut jalan.
Ia membuka pintu mobil tanpa memalingkan pandangan. Tubuhnya hampir membeku karena gerimis mulai menangis.
Mata Citra seperti terhipnotis alam, pandangannya menerawang suram pada kedalaman air di bawah jembatan yang tenang.
Ia membayangkan bagaimana kalau tubuhnya melayang bebas di udara, lalu hanyut ke tengah gelombang air yang gelap itu.
Pikiran pendeknya sesaat ingin menghentikan semua penderitaannya sampai di sini saja.
Sedikit demi sedikit Citra menyusun langkahnya naik semakin meninggikan tubuhnya. Kedua tangannya merentang dengan wajah menengadah di atas tetesan anak hujan itu.
"TUHAN! Kenapa ini sangat menyakitkan? Aku tak sanggup lagi tuhan!" serunya kencang dengan suara yang lantang. "Aaaaaarrrrrggghhhh!" Akhir ucapannya sebuah teriakan panjang tanpa spasi.
Mendengar suara itu, seorang lelaki dengan cepat memarkirkan mobilnya di belakang kendaraan Citra.
Melihat adegan yang dramatis itu menggugah rasa kemanusiaannya untuk segera menolong.
Gerak cepat lelaki bertubuh kecil itu meraih tangan Citra yang terlentang, lalu ditariknya tubuh citra dengan pelukan yang sangat erat.
Seketika tubuh Citra jatuh di atas tumpukan lelaki cungkring itu, yang tidak lain dia adalah Rayno adik dari Daniel.
"Apa-apaan kamu, hah?" Khayalan Citra pecah seketika.
Tangisan yang akan berderai berubah jadi sinis. Ia menepis tangan Rayno kuat.
Dan mendorong dada Rayno menjauh dari sampingnya.
"Aku? Ya, aku mau nolongin kamulah!" balas Rayno belagu.
"Nolong? Siapa yang mau di tolong sama kamu?"
"Hidup ini masih panjang, apapun masalahnya di bawa enjoy ajalah! Jangan pake bunuh diri segala. Payah!"
"Kamu gila? Siapa yang mau bunuh diri? aku tidak sedangkal itu!"
"Terus?" Rayno celingukan sambil menggigit ujung bibirnya malu.
Kaki Citra lemas, ia duduk tanpa alas dengan kaki selonjoran di atas trotoar. Gerimis dan Rayno jadi temannya saat itu.
Setelah Ia menarik nafas dalam, Citra baru angkat bicara. " Sebenarnya, aku sempat berencana bunuh diri, tapi- bagaimana dengan ayahku? Bi'Nah? Dan apa kata semua teman-teman ayah nantinya? Aku memutuskan teriak sekencangnya untuk melepas rasa sesak di dada ini. Terus, kamu malah datang menyambar?" papar Citra panjang.
"Owh, gitu? Maaf, gua salah!"
"Emang kamu salah!" pekik Citra bangkit dari duduknya sambil menepuk bagian-bagian yang kotor di tubuhnya.
Badan yang sedikit lantis terkena gerimis, membuat Rayno sedikit tertarik dengan kesejukan senyum Citra.
Tak ada tangisan lagi di pipi Citra, melainkan senyum kecil karena kekonyolan Rayno yang sempat menghiburnya.
Sebaliknya dengan tubuh Rayno yang kumal setelah dua hari tak mandi, dan sisa keringan menempel membuat tubuhnya bau apek.
Tangan Citra menutup hidungnya, saat Rayno mendekat.
"Oh, maaf! aku bau ya?"
"Enggak bau kok, cuman asem udah hampir mirip dengan asem cuka." canda Citra menutupi kebingungannya.
"Ya udah, pulang yuk! Kamu pulang kemana? mau aku antar? Namamu siapa?" Pertanyaan Rayno yang panjang hanya jadi acsesories saja.
Citra menggelengkan kepalanya, sambil tersenyum tipis. Satu pun pertanyaan Rayno tak ada yang terjawab.
"Kalau kita jodoh, kita akan bertemu lagi. Dan saat kita bertemu nanti, kamu pasti akan kenal siapa sebenarnya aku ini." jelas Citra menarik tas yang tergeletak di atas trotoar.
Dikeluarkannya kunci mobil berwarna hitam pekat. Remote itu membuka kunci pintu mobil dengan otomatis.
Kwik, kwik!
Citra menumpangi mesin baja beroda empat itu. "Terima kasih ya, sampai jumpa nanti!" lanjutnya dengan suara yang sangat ramah.
Mata Rayno tak habis sampai di sana. Pandangannya berputar liar mengikuti arah mobil melaju.
Sayang semakin ia fokus, penglihatannya semakin kabur. Mobil berisi wanita cantik itu hilang tak nampak lagi.
Rayno yang galau setelah pertengkaran dengan kakak tirinya, terobati dengan pertemuan kecil itu.
Ia memutuskan untuk pulang. Menaiki mobilnya santai, percis seperti wanita yang ia tolong. Rayno menunggangi mobil Jeep Wrangler merah maroon itu dengan bibir yang bermekaran.
***
Di kamar Natasya, Daniel menemukan sesuatu. Tak di sangka di balik wajah lugu Natasya dengan hijabnya yang anggun, ternyata menyimpan satu potret yang menyejutkan.
Daniel yang hendak iseng, lanjut meraih sebuah potret di balik tumpukan buku di meja belajarnya.
"Nah, ketahuan ya! kamu punya pacar 'kan?"
"Kak Daniel? masuk kok gak ngetuk pintu?" Tasya heran dengan tangan Daniel yang di sembunyikan di balik bokong. "Apaan sih kakak?"
"Taram ... ketahuan ya! ini potret cowok kamu 'kan?"
"Aiihhh, Kak Daniel! siniin fotonya!" Natasya berlari mengejar Daniel yang sedang iseng.
Sejauh apapun Daniel lari, ruangan sempit tetap mengurung tubuhnya yang tinggi besar. Sedang Natasya yang kecil mungil berlari sangat lincah meloncati tubuh Daniel berusaha meraih foto yang di gantung di jari jemari Daniel.
"Tangkap kalau bisa!"
"Kak Daniel nakal ya!"
Tasya menanggapi tantangan kakak pertamanya. Walau mereka berbeda ibu, tapi persaudaraannya sangat kental. Tasya merasa lebih dekat dengan Daniel di bandingkan Rayno yang satu kandung dengannya.
Detik itu juga, Tasya mendapatkan ide. Ia berlari ke atas ranjang, dan meloncat tinggi-tinggi dari ranjang ke tubuh Daniel yang gempal.
"Nah, kakak ketangkep nih!" serunya bahagia.
Potret yang jadi bahan rebutan itu memang sangat berharga buat Tasya. Itu juga salah satu sebab kenapa dia mau bersekolah di luar negri.
Tubuh ringannya rela meloncat tinggi hanya demi potret laki-laki di balik bingkai emas itu.
"Ketahuan ya! itu pacar kamu 'Kan?"
Pipi Tasya mulai berwarna merah jambu, dia tak tahan dengan keisengan kakaknya. Reflek Tasya menutupi sebagian wajahnya dengan hijab yang tergerai di depan dadanya.
"Dia bukan siapa-siapa ko' Kak!"
"Bohong!"
"Beneran! Tapi, nanti Tasya mau jadi siapa-siapanya dia. Hehehehe," Tasya selengean seperti bocah kecil yang baru menetas.
Mendengar pernyataan adik gadisnya, Daniel merasa merinding. Lagi-lagi dia mengingat wanita yang telah ia nodai malam itu.
'Bagaimana dengan masa depannya?' pikirnya panjang.
"Sya, sini duduk!" ajak Daniel merangkul adiknya kompak duduk di bibir ranjang.
Wajah serius Daniel datang tak di undang.
"Jaga dirimu baik-baik di Inggris ya dik! Kakak bakalan rindu kamu."
"Nah? kok jadi melow sih kak? tenang! Tasya tahu apa yang harus Tasya lakukan kalau ada orang jahat,"
"Apa?"
"Kalau ada yang berani nakal pada Tasya, tasya bakalan pites tangannya, terus tendang burungnya kuat-kuat biar gak bisa fungsi tuh burung! Hahahha." candanya tertawa lepas.
Bagi adiknya itu sangat lucu. Tapi bagi Daniel, itu adalah ancaman.