Chereads / My Pregnant / Chapter 14 - Juita matre

Chapter 14 - Juita matre

Tangan kiri Rayno memeluk bola basket, dan satu tangannya lagi merangkul pundak pacarnya, Juita.

Setelah sampai di rumah Rayno, untuk pertama kalinya wanita ber-body sexi itu di persilahkan masuk. Merasakan sejuknya rumah ber- AC.

Parfum ruangan yang wangi kombinasi dari fresh, apricot dan tea. Karena wanginya fresh dan menyejukan menjadikan kaum hawa terpedaya.

"Ini rumahmu? Wah... bagus sekali?" Mata Juita berkeling liar. Melihat nanar seluruh ruangan.

"Iyalah, ini rumah gue. Masuk!"

Rayno menggelindingkan bolanya kerongga meja. Lalu melempar sembarang tas ranselnya di ruangan tengah.

"Duduk! Sebentar ya, gue buatin lemon segar buat kamu!"

Bola mata Juita masih berkeliaran ke sudut ruang. Sampai-sampai ia lupa caranya fokus.

Saat ia melihat-lihat isi di dalam rumah itu, potret besar yang memenuhi dinding itu jadi tempat bersarangnya bola mata Juita.

"Ray, rumah sepi? semua sodara kamu pada kemana?" teriak lantang Juita sambil berdiri menilik seisi bingkai itu. Satu-satunya harapan Juita saat itu adalah tidak bertemu dengan Daniel. Karena ceritanya bakalan runyam kalau dia harus berpapasan dengan orang itu.

Rayno lelaki dingin itu pantang berteriak. Bahkan kalimat untuk bicara dengan Juita, biasanya hanya sepatah dua patah kata saja.

Nampan di tangannya sudah penuh terisi minuman segar dan beberapa makanan ringan.

Karena hatinya sedang sejuk. Tumbennya Rayno menjawab semua pertanyaan dari Juita dengan lancar.

"Pembantu gue lagi balik kampung, Mami shopping, dan Tasya si kutu buku itu paling lagi di toko buku, atau perpustakaan umum."

"Trus?" Jawaban yang Juita harapkan belum juga muncul. Matanya semakin berbinar mengharap kepanjangan dari jawaban Rayno.

"Terus?" Rayno bingung. "oh ya, Papi kerja." lanjutnya santai menyalakan penghuni dinding dengan lebar 130 inch.

"Bukan Papi. Daniel?"

"Owh," Bibir Rayno bundar utuh tak memperdulikan Daniel dimana pun ia berada.

Melihat mimik Rayno berbeda, Juita langsung merapatkan bibirnya dengan rasa tak lega. Ketakutannya semakin bergelimangan takut suatu waktu berpapasan dengan Daniel dan mengakibatkan situasi sejuk jadi panas.

Rayno duduk terlebih dahulu menyalahan playstation 5 miliknya.

"Sini main!" ajak Ray saat melirik Juita hanya memperhatikan foto besar di dinding itu.

Juita perlahan mendekat dengan ragu.

"Aku gak bisa main!"

Rayno melirik Juita dalam, lalu merogoh dalam saku celananya. Buntalan kertas merah ia simpan di meja depan televisi raksasa itu.

'Duit ...!' seru hati Juita sontak bermata biru.

Juita langsung merangkul stik playstation. Tangannya segera menari lincah memainkan game yang memang ia sukai.

"Hebat juga permainanmu?" selok Rayno duduk bersampingan dengan Juita. Mereka bukan duduk di atas kursi atau sofa. Kedua tempat duduk itu di abaikannya dan

selonjoran di atas permadani merah dengan cangkang kacang yang berserakkan.

"Mami pulang ...!" Suara khas tipis itu datang menggetarkan hati Juita.

Duduk santainya berubah kaku. Cepatnya posisi duduk Juita berubah setelah mendengar teriakan dari balik pintu.

Sebaliknya dengan Rayno, ia semakin mengada-ada dengan menggeser bokongnya tambah santai hingga tubuhnya tertutup sofa.

Thera terbelalak kaget melihat ada wanita sexi di dalam rumahnya, karena dasarnya di rumah itu yang sexi hanya dirinya sendiri. Pemilik rumah dengan brand terkini.

"Eitsss, siapa kamu ya? berani-beraninya membuat rumah aku berantakan. Aduhhhhhh, mana si mbok pulang kampung, siapa yang bakalan beresin ini semuanya hah?" cerocos There.

Matanya hendak keluar. Bulatan hitam di kelopaknya seolah ingin menelan Juita hidup-hidup.

Tapi ketika There semakin mendekat, ujung kaki Rayno terlihat kecil. Kakinya putih mulus kecil, karena setiap hari terbungkus sepatu sport.

There menghentikan kalimat pedasnya, matanya menyidik seksama.

"Aih ... anak Mimi! Kapan pulang Nak? Mimi rindu sekali," serogoh There menghampiri Rayno tak henti mencium keningnya, dan kedua tangan menghapit tengkorak Rayno.

"Ish! Jangan gini dong Mim, malu sama Juita noh!"

"Ini siapa kamu?" sergah There melirik Juita dari ujung kepala hingga kakinya.

"Biasa Mim, kaya gak kenal Rayno aja?"

Rayno bangkit dari kesantaiannya. Ia berjalan menarik gelas kosong berjalan ke arah dapur dengan meninggalkan Maminya dan Juita berdua saja.

Suasana ekstrem mencekam Juita. Berasa sedang di dalam lubang buaya.

Matanya kaku pura-pura tidak melihat There, kepala di tekuk, sesekali jempolnya menari melanjutkan permainan di atas stik playstation.

"Sssttt! kamu kerja apa? beraninya deketin keturunan Gathan?" bisik There dengan mata terus berkeling sinis.

"A-anu tan, aku-- model indi di Jakarta, yang masih belajar-belajar saja."

"Apa? Model?" Mata There melirik Juita sekali lagi.

"Coba berdiri!"

Sesuai titah Maminya Ray, Juita mau saja melakukan apa yang di suruh There.

Kedua telunjuk dan jempol There beradu membuat sebuah kolase persegi. Memperagakan bingkai dengan jari jemarinya. Lalu menutup mata kiri dan hanya mengintip dengan mata kanan.

Situasi itu di jadikan ajang pendekatan oleh Juita pada Mami There yang sejalan dengannya di bidang fashion.

***

Di rumah sakit, Citra kelimpungan, kaget ketika melihat ruangan yang di tempati ayahnya cukup ganjil.

Rombongan orang berduyun di depan kamar ayahnya.

Detak jantung Citra pun ikut terpompa semakin kencang saat mendengar raungan tangis perempuan di kamar itu.

High hells Citra tak jadi penghalang saat ia harus berjalan setengah berlari demi ayah tercinta.

'Ayah?' gumam hatinya terus ketakutan.

Dokter keluar dari ruangan itu dengan wajah pucat.

"Lagi-lagi kita harus kehilangan satu pasien, setelah perjuangan yang kita lakukan," bisik salah satu suster pada temannya yang jelas terdengar di daun telinga Citra.

"Sttt! ini bukan kesalahan kita, tapi ini namanya takdir!" jawab teman suster lainnya semakin meyakinkan ketakutannya.

"Aku paling tidak tega melihat bapak tua, harus mengakhiri hidup mereka di tengah perjuangannya di rumah sakit. Ih, ngeri." sahut suster lainnya.

"Sudahlah! semoga semua keluarga yang di tinggalkan bisa menerima kenyataan ini dengan lapang dada ya!" samar-samar perbincangan kedua suster itu membuat Citra histeris.

"Ayah?" Citra mulai tak bisa kontrol emosi.

Tubuhnya menyelinap di tengah kerumunan orang, masuk dengan penuh rasa khawatir tak memperdulikan keadaan sekitarnya.

Yang ia lihat hanya satu tubuh orang dewasa yang terkujur kaku di tutup kain hijau daun selimut bawaan rumah sakit itu.

"Ayah? ayah? ayah?"

Teriakan banyak orang semakin memanaskan suasana.

Tubuh Citra seketika lemas. tubuhnya terlempar di atas tehel di samping blankar mayat itu.

Ketika tangannya bergetar dingin ingin membuka tutup wajah mayat itu, salah satu orang asing mendorong Citra kuat.

Lalu mengambil alih Citra untuk membuka tutup wajah mayat di depannya.

Saat wajah mayat itu nampak jelas. Ketakutan Citra hilang, ia menyeka air katanya dan menguatkan lutut kakinya.

"Bukan ayah? Lalu Ayah kemana?" gumamnya bingung di tengah kerumunan orang asing itu.