Lengan kiri dan kanan Katon biru-biru. Bengkak karena tajamnya jarum suntik harus beberapakali menggigit urat tangannya.
Ada dua bekas tusukan di masing-masing lengannya, setelah beberapa kali tindakan, akhirnya paramedis berhasil melancarkan suntikannya di tangan kanan.
Semua itu membuat Kirana ngeri.
"Citra kemana ya? semalam ini gak ada kabarnya?"
Udara siang hari tidak berpihak pada Katon dan Kirana di ruangan sana. Suhu memanas ekstrem. Kirana yang bertugas menunggui Katon semakin bimbang. Tidak ada satupun kabar dari Citra. Bahkan sedari malam, inbox di handphone Kirana terdengar sepi dan mulai low battery.
"Citra ... Citra ...!" Redup-redup suara Katon terdengar serak di balik blankar.
"Om? Om sudah sadar?"
Perlahan ia membuka matanya remang-remang. Lalu ia melihat sekeliling.
"Mana Citra?" bisiknya lemah pada Kirana.
"Citra sedang pulang, sebentar lagi dia kembali, Om."
Katon menggeleng kepalanya lesu. Ia seperti sedang memutar otak menyawang jauh ke arah pintu.
"Om? ada yang bisa Kirana bantu?"
Katon diam sejenak, menahan nafas. Dan menghempaskannya kembali setelah beberapa detik kemudian.
"Kirana, Om mau pulang saja!"
"Pulang? Tapi om masih sakit. Mana mungkin bisa pulang?"
Sementara paramedis sibuk dengan pekerjaan masing-masing, Kirana kebingunan dengan apa yang harus dilakukannya saat itu.
Katon mempreteli pembalut di tangannya. Ia menjambret salurat infus dilengannya.
Lalu meraih infus yang terkatung-katung di atas kepalanya.
"Om, jangan gini dong om! nanti sakit. Biar aku panggilkan suster ya om, ya? Sabar sebentar om!" Kirana semakin gelisah melihat apa yang di lakukan Katon melampaui batas.
Kakinya refleks berlari keluar ruangan.
Di bibir pintu, Kirana berteriak-teriak membuat gaduh satu koridor ruangan itu.
"Suster! Dokter! tolong ...!" seru Kirana dengan nada lantang.
Mendengar kerusuhan itu, para pekerja rumah sakit datang menghampiri Kirana. Ada juga beberapa pengunjung datang ikut penasaran dengan apa yang terjadi di balik kamar itu.
Semua berbondong-bondong menilik di balik jendela.
Setelah beberapa waktu dokter datang, situasi mulai aman. Kerusuhan itu di nilai abstrak oleh Dokter, karena ketika orang berseragam putih itu masuk, Katon sudah duduk mengenakan jas coklat, terlihat segar.
"Owh, hebat. Ternyata Pak Katon sudah mendingan ya? Apa yang di rasa saat ini?" bujuk Dokter menggiring Katon agar duduk di blankarnya lagi. Sengaja ia lakukan hanya untuk mengecek ulang kesehatan Katon secara berkala.
Detak jantung Kirana hampir copot dengan tingkah pamannya yang seperti anak ingusan.
Setelah Dokter mengeluarkan beberapa alatnya, barulah Katon luluh. Dia berbaring pasrah di samping Dokter.
Hal pertama yang menentukan Katon baik, adalah detak jantung yang normal, dan aliran darah stabil.
"Baik, sepertinya Pak Katon hari ini sudah bisa pulang, rawat jalan saja di rumah ya! kalau ada keluhan apapun bisa di konsultasikan ke sini lagi!" papar Dokter sambil mengemas semua alat yang canggih kedalam tas kantornya.
"Baik Dok. Terimakasih untuk semuanya."
"Tuh, apa Om bilang. Om cuma kelelahan saja."
"Tapi, bagaimana dengan Citra Om?"
"Siapkan saja mobilmu! nanti kita pasti bertemu di rumah!"
Dengan santai Katon membuka lintingan dari lengan bajunya. Ia balut kembali kemeja putih itu dengan blazer yang baru saja ia buka untuk pemeriksaan.
Sesekali ekor mata Katon mengintip ke arah pintu. Berharap Citra datang menjemputnya.
Dalam waktu singkat, Kirana membantu Katon untuk pulang. Memapah tubuh pamannya yang masih lemah. Memang Kirana sudah menganggap Katon sebagai ayah sendiri setelah kedua orang tuanya meninggal.
Kirana hidup mandiri di usianya yang masih dini. Untung Katon masih perduli, dan sering menyambut kedatangan Kirana baik siang, sore, maupun malam. Pintu rumahnya terbuka lebar untuk ponakan yang satu itu.
***
Setelah menyelesaikan semua urusannya, Citra berniat untuk mengunjungi ayahnya di rumah sakit.
Namun matanya tetap tertarik dengan keberadaan ketiga temannya yang sadis itu. Hati kecilnya masih ingin mempertanyakan siapa dan dimana lelaki yang pernah tidur bersamanya itu.
Tapi rasa muak di benaknya sudah menenggelamkan keluguannya.
Citra sudah tidak perduli pada hari yang sudah ia lewati. Dengan bulatnya ia ingin fokus pada masa depan saja. Lepas keluar dari gedung Marta Foundation, Citra melihat nanar keseluruhan kelas yang sudah membesarkan ilmunya.
Matahari yang menyulut ubun-ubunnya, memberikan setitik kenangan manis di tempat itu.
Bercanda bersama teman-teman, jajan bareng di kantin pas jam pelajaran, terus bolos pas kelas olah raga beriringan bersembunyi di pojok sekola. Itu semua jadi titik keseruan di masa remajanya.
'Selamat tinggal!' bisik hatinya menyeka setetes airmata.
Ia menundukkan kepala, lalu berjalan tanpa melihat arah yang akan ia injak. Sampai di beberapa langkah, ada satu benturan kecil di bahu Citra saat ia hampir keluar gerbang Marta Foundation.
Brak!
Bola basket memantul ke dalam lari menjauh dari pelukan Rayno.
"Kamu lagi?"
"lo?"
Keduanya saling beradu telunjuk dari kejauhan.
"Eh," Citra menyeka dalam membersihkan mukanya yang kusam siang itu.
"Kenapa? ada masalah? terus kok ada di sini?"
Citra celingukan bingung mau menjawab pertanyaan Rayno yang berderet.
"Kenalin! nama gue Rayno, buktinya kita berjodo. Dan ini saatnya aku tahu nama kamu. Siapa nama kamu? Cantik." goda Rayno geli.
Kening Rayno melebar. Menunggu satu deret nama asli dari wanita yang pernah ia tolong.
Senyuman Citra, lagi-lagi menghanyutkan pandangan Rayno. "Citra. Citra Larisya Bagaskara."
"Wih, namanya bagus."
"Aku memang sekolah di sini. Baru lulus ajaran tahun ini."
"Owh, gitu? Kalau gue sih, mau jemput cewek gue. Juita, kenal 'Kan sama Juita?"
Mendengar kata 'Juita' mood Citra seketika hancur. Matanya berkeling hebat. Mimik ramah seketika pecah berubah jadi sinis tajam.
"Ada yang salah?"
"Gak! Gak ada yang salah ko' cuman aku lagi sibuk. Ayahku sedang menungguku. Maaf ya, duluan!"
Citra ambil langkah seribu. menghilang dari pandangan Ray cepat sekali. Sedang Ray sibuk mencari bola basketnya yang sudah jatuh ke parit samping taman Marta Foundation.
Dalam waktu yang pendek, Citra menyupir dengan kecepatan tinggi. Ia sadar, pikirannya yang sedang kacau membuatnya lupa akan ayahnya yang sedang di rawat inap.
Citra pontang-panting menancap pedal gas dengan ayunan yang lihai.
Ketika lampu merah tiba-tiba menyala, sontak ia menginjak pedal rem mendadak.
Matanya selalu melirik ke arah pergelangan tangan yang terbelit arloji.
"Owh, lampu ini lama sekali sih?" Pipi Citra mengerut cemas.
Memang lampu merah itu adalah lampu terlama menyala di area pusat kota.
Jejeran mobil berderet seperti mainan anak.
Pada detik yang sama, Kirana yang sedang mengendarai mobil di bagian lampu hijau melaju berpapasan dengan mobil Citra yang sedang kaku.
'Citra?' bisiknya lebar setelah menilik dengan seksama.
Memang mobil keduanya berpapasan di persimpangan, tapi waktu itu Kirana belum bisa mengabari Citra karena handphonenya yang sudah low semalaman tadi.
'Aku yakin di lampu merah itu Citra.' gemuruh Kirana namun tetap membungkam. Takut pamannya yang duduk istirahat di jok belakang gusar lagi minta putar balik ke rumah sakit. Kirana pikir itu akan semakin merepotkan.