"Iya, aku ya–"
Huek!
Lagi-lagi perutnya Kallista terasa mual, tetapi ia tidak dapat memuntahnya isinya.
"Kallista kamu sakit, sebaiknya kita pergi ke dokter saja" ujar Gavin, menatap wanita itu dengan khawatir.
"Tidak usah, aku baik-baik saja kok" ucap Kallista menggeleng pelan dan bangkit dari posisinya. Lalu ia mengambil selembar tisue toilet dan mengusap sekitar mulutnya.
"Benar kalau kamu baik-baik saja?" tanya Gavin yang terlihat tidak percaya dan menatap punggungnya Kallista.
"Benar" Kallista menggangguk dan membalikkan tubuh. "Aku hanya merasa mual saja, tapi sekarang sudah tidak lagi" katanya, berjalan menghampiri Gavin dengan senyum yang terukir di wajahnya.
"Baiklah, aku tidak akan memaksa" ucap Gavin mengganggukkan kepala dan bergeser dari depan pintu.
Kallista hanya tersenyum dan melangkah keluar dari dalam kamar mandi. Tapi kini ia merasa kepalanya yang terasa sakit dan dunia di sekitarnya seolah berputar. Segera ia terdiam dan terpaku di tempat dengan kepala yang tertunduk.
Melihat hal tersebut membuat Gavin merasa bingung, dan menatap teman dekatnya itu dengan dahi yang mengerut. "Kallista, kamu kenapa?" tanyanya.
"Ah, t-tidak. Aku tidak apa-apa" jawab Kallista yang terperanjat dan menggeleng dengan cepat. "Aku baik-baik saja kok" ia melanjutkan dan mengukirkan senyuman.
"Terus kenapa kamu malah diam?" tanya Gavin kembali tanpa melepaskan pandangannya dari Kallista.
"Aku–"
***
Perlahan Kallista membuka mata dan mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Dan ia mendapati dirinya yang sedang berada di dalam kamar apartementnya.
"Kallista, akhirnya kamu sadar juga"
Segera ia menoleh dan melihat Gavin yang sedang berdiri di dekat tempat tidur bersama dengan seorang pria paruh baya yang memakai jas berwarna putih.
"Sadar?" tanya Kallista yang terlihat bingung dengan dahi yang mengerut. "Memangnya aku kenapa?
"Tadi kamu tiba-tiba saja tidak sadarkan diri" jawab Gavin. "Segera aku menghubungi dokter dan menyuruhnya untuk datang ke sini. Tapi dokter ini mengatakan..." Tiba-tiba Gavin menghentikan ucapannya dan raut wajahnya mendadak berubah menjadi sedih. Sehingga membuat Kallista yang melihatnya merasa bingung.
"Mengatakan apa?" tanya Kallista menatap Gavin dengan diselimuti oleh rasa penasaran.
Namun Gavin hanya terdiam, seolah mendadak bisu dengan kepala yang tertunduk.
"Gavin cepat katakan padaku! Dokter itu mengatakan apa?!" ucap Kallista dengan nada suara yang sengaja ia tinggikan.
"Bahwa saat ini kamu sedang hamil" jawab Gavin.
"APA?" ucap Kallista yang terlihat terkejut dengan mata yang membulat sempurna. Segera ia menggelengkan kepala dan menatap Gavin tidak percaya. "Tidak! Kamu pasti bohong. Tidak mungkin kalau saat ini aku sedang hamil."
"Tapi itu memang benar, Nyonya. Sebab saat ini Anda sedang mengandung, dan usia kandungan Anda sudah memasuki usia 2 Minggu" ujar pria paruh baya itu yang merupakan seorang dokter.
Kallista langsung terdiam dan mendadak jadi patung. Ia benar-benar tidak menyangka jika kini dirinya sedang mengandung anak dari seorang pria. Tapi ia tahu benar siapa Ayah dari anak yang sedang dikandungnya itu.
"Kalau begitu saya ucapkan selamat padamu Nyonya Kallista, karena sebentar lagi Anda akan menjadi seorang Ibu" ujar sang dokter membuat Kallista tersadar dari lamunan dan menoleh ke arahnya. Lalu ia beralih menatap Gavin yang berdiri di dekatnya. "Dan apakah Anda suaminya?"
Gavin langsung terperanjat setelah mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh dokter itu. Namun Gavin hanya terdiam dan tidak tahu harus menjawab apa.
"Jika Anda suaminya, maka saya menyarankan untuk menjaga istri Anda dengan sangat baik. Jangan sampai ia kelelahan, pola makannya harus teratur dan memakan makanan yang bergizi. Agar bayi yang berada di dalam kandungannya tumbuh dengan sehat" tambah dokter itu, menatap Gavin dengan senyum yang terukir di wajahnya.
"Baik dok, terima kasih untuk sarannya" ucap Gavin mengganggukkan kepala dan mengukirkan senyuman yang terpaksa.
"Kalau begitu saya pamit undur diri dulu. Permisi" ujar dokter itu, sedikit membungkukkan tubuhnya dan tersenyum. Kemudian ia segera beranjak pergi dari apartementnya Kallista.
"Gavin" ucap Kallista membuat Gavin menoleh ke arahnya. "Jadi benar, jika saat ini aku sedang hamil?"
Segera Gavin mendudukkan tubuh di tepi tempat tidur dan menggangguk pelan. "Iya, saat ini kamu memang sedang hamil" jawabnya yang terdengar lesu.
Namun Kallista hanya terdiam dan mengalihkan pandangan ke depan tanpa mengatakan apa-apa lagi.
"Tapi apakah kamu tahu, anak siapa yang sedang kamu kandung?" tanya Gavin menatap Kallista dari samping.
"Iya, aku tahu" Kallista mengganggukkan kepala. Lalu ia menoleh ke arah Gavin. "Anak ini pasti anaknya Samuel. Sebab selama berpacaran dengannya, hampir setiap hari kami melakukan hubungan tersebut."
"Samuel?" tanya Gavin yang terlihat bingung dengan dahi yang mengerut, dan Kallista hanya menggangguk. "Kalau aku boleh tahu, siapa pria itu? Apakah ia adalah kekasihmu?"
"Lebih tepatnya adalah mantan kekasihku" jawab Kallista beralih menatap ke depan. "Karena hubunganku dengannya sudah berakhir."
"Tapi apakah kamu yakin?" tanya Gavin dengan dahi yang kembali mengerut
"Bahkan sangat yakin" jawab Kallista kembali menggangguk dan menoleh ke arah Gavin. "Karena aku tidak pernah melakukan hal itu dengan pria lain selain dirinya. Jadi sudah pasti kalau anak ini adalah anaknya."
"Dan itu berarti kamu akan meminta pertanggung-jawaban darinya?" tanya Gavin tanpa melepaskan pandangannya dari Kallista.
"Tidak" Kallista menggeleng cepat dan mengalihkan pandangan. "Karena aku tidak mau menikah dengan pria itu. Lagipula kini aku sangat membencinya, sebab ia yang telah mengkhianatiku."
"Lalu bagaimana?" tanya Gavin kembali.
"Aku akan menggugurkan bayi ini" jawab Kallista menoleh ke arah Gavin. "Agar aku tidak perlu menanggung rasa malu ataupun membesarkannya seorang diri. Ditambah, aku juga tidak mau memiliki anak dari pria seperti mantan kekasihku itu."
"Tidak Kallista! Kamu tidak boleh melakukan hal itu" ucap Gavin menggeleng dengan cepat. "Sebab itu sama saja dengan kamu membunuhnya, dan kamu akan mendapat dosa."
"Aku tidak peduli" ucap Kallista yang terlihat acuh dan menatap lurus ke depan. "Lagipula aku tidak pernah menginginkan anak yang berada di dalam kandunganku ini."
Dengan sedikit berat Gavin menghela nafas dan menundukkan kepala. "Kalau begitu aku yang akan bertanggung jawab" katanya, membuat Kallista menoleh ke arahnya. "Aku yang akan menikahimu, agar kamu tidak perlu menggugurkan bayi yang tidak berdosa itu. Bahkan kamu juga tidak harus menanggung malu" lanjutnya.
"Tapi anak ini bukan anak kamu, Vin!" ucap Kallista menatap teman dekatnya itu tidak percaya.
"Iya, aku tahu" Gavin menggangguk dan menoleh ke arah Kallista. "Tapi aku tidak akan mempermasalahkan hal tersebut. Dan aku akan menerimanya sebagai anakku sendiri."
Namun Kallista hanya menggeleng dan beralih menatap ke depan. Sungguh! Ia tidak percaya dengan yang baru saja dikatakan oleh teman dekatnya itu. Dan ia mulai bertanya-tanya pada dirinya, mengapa Gavin ingin bertanggung jawab dan menikahinya? Padahal selama ini pria itu tidak pernah menunjukkan tanda-tanda bahwa ia menyukai Kallista ataupun tertarik padanya. Bahkan pernah sekali, Kallista melakukan sebuah hal yang cukup gila, yaitu menggoda Gavin dan mengajaknya untuk tidur bersama dan melakukan hal itu. Tetapi pria itu malah menolaknya.