"Kau tidak pulang, ras?" seseorang yang ditanyai itu hanya menggeleng sebagai jawaban. "Kenapa? sengaja ingin berlama-lama dengan ku, yah?" goda Verga, Laras melempar tatapan tajam bersiap melayangkan pukulan pada kepala Verga.
"Mau apa kau? kepalaku sedang diperban bodoh! sengaja yah ingin melihatku sakit lebih lama lagi agar kau punya alasan untuk tetap dekat denganku?"
Laras tidak habis fikir dengan makhluk yang satu itu, bagaimana bisa ia berfikir yang tidak-tidak tentangnya, padahal gadis itu memang benar-benar khawatir, bukan untuk mencari kesempatan dalam kesempitan.
"Kenapa tidak koma saja, sih? kau menyebalkan ketika sadar. Kenapa mulutmu tidak sekalian di perban?" cibir gadis itu kesal.
Verga terkekeh pelan. "Serius? melihatku seperti ini saja kau sudah khawatir setengah mati, bagaimana jika benar-benar koma? kau mungkin sudah masuk UGD karena jantungan."
Gadis itu sepertinya sudah tidak tahan lagi, ia mengelus dadanya pelan dan berusaha meredam emosinya. Berhadapan dengan lelaki ini selalu membuatnya naik darah.
"Aku keluar dulu sebentar. Kau tidur saja cepat, supaya ketika aku kembali, aku tidak mendengar lagi ocehan bodohku itu." Celetuk Laras. Verga menahan tangan gadis itu kemudian memberi isyarat seakan bertanya 'mau kemana?'
"Hanya ingin mencari kopi 'kok. Tunggu sebentar, aku akan kembali." Laras melepas pelan tangan Verga. Ia melangkah keluar meninggalkan Verga yang mencoba memejamkan matanya.
-
"Kenapa mengajakku bertemu disini? dirumah sakit. Kenapa tidak di bar saja seperti biasanya?" tanya seorang pria tinggi setelah mendaratkan bokongnya dikursi, lebih tepatnya di kedai kopi rumah sakit.
"Kau tau kesalahan yang baru kau lakukan? apa aku memintamu untuk bertindak secepat itu?" tanyanya dingin sembari melipat tangannya didada.
"Kenapa memangnya, bukankah ini yang kau mau? menyingkirkannya 'kan?"
Pria yang ada dihadapannya menghentakkan tangannya kasar k pada permukaan meja. "Apa aku sudah memerintahkan mu untuk bergerak? tidak 'kan? lalu kenapa kau jadi bergerak semau mu, Andi?!" Geramnya, pria dihadapannya justru membalasnya dengan terkekeh.
"Lalu? kau akan bertindak ketika pria itu sudah benar-benar merebut gadis yang kau cintai? ayolah Varo, aku tau kau tidak suka bertele-tele."
"Persetan dengan semua itu, Laras bahkan menyalahkan ku dalam hal ini. Lalu, bagaimana jika ia tau kalau kecelakaan itu sudah direncanakan lebih awal?"
"Jangan jadi idiot untuk masalah ini, gunakan akal mu! aku tau kau tidak sebodoh itu. Setelah melenyapkan beberapa orang yang berusaha menjatuhkan perusahan ayahmu, tidak mungkin kau menjadi setakut ini, kau seperti bukan Varo yang kukenal!" Varo mengusap wajahnya kasar mendengar penuturan Andi. Memang benar yang dikatakannya, tapi entah kenapa ia menjadi setakut ini sekarang.
"Varo? kau masih disini?"
Suara lembut itu menyapa telinga Varo, kedua pria tampan itu menoleh secara bersamaan ke asal suara. Bisa mereka lihat, sesosok perempuan cantik yang tengah berdiri dengan se cup kopi ditangannya, gadis itu tersenyum menatap menatap kedua pria itu yang menatap dirinya penuh intens.
"Kau bisa pergi sekarang." Bisik Varo pelan. Tanpa sepatah katapun, pria tinggi itu berlalu secepat mungkin dari sana.
"Laras kemarilah, duduk dulu sebentar." Ajak Varo. Laras mengangguk kemudian duduk memposisikan dirinya didepan Varo yang menatapnya dengan tersenyum.
"Kau belum pulang juga yah, Ras?" tanya Varo lalu meneguk kopi dihadapannya.
"Belum, sepertinya aku akan menginap malam ini menemani Verga," balas Laras seadanya. "Pria yang baru saja bersamamu itu siapa?"
"Temanku, aku sudah menganggapnya sebagai kerabat. Kami sudah kenal lama," jawab Varo, Laras tampak mengangguk. "Apa keluarganya sudah tahu mengenai kejadian ini?"
"Tidak, dia melarangku memberitahunya. Aku menyetujui saja, karena aku tau betul orang tuanya seperti apa."
"Kau serius tidak ingin pulang saja? aku bisa mengantarmu pulang jika kau mau." Tawar Varo. Laras menggeleng tanda menolak. Ia memang sudah berjanji pada Verga untuk menemaninya malam ini.
"Yasudah, aku tidak bisa memaksamu. Sepertinya aku akan segera pulang, ayahku sudah beberapa kali menelfonku, jika berubah fikiran kabari saja aku. Aku akan mengantarmu." Varo memberi usapan lembut di pucuk kepala gadis itu. Setelahnya, ia meninggalkan Laras yang menatap kepergiannya dengan tatapn sendu. Sejujurnya, gadis itu merindukan perlakuan manis dari Varo.
-
Laras membuka pintu ruangan Verga, ia melihat pria itu sibuk memainkan ponsel cerdas ditangannya. Pria itu bahkan tak menyadari kedatangan gadis itu, Laras mencoba berdehem namun tak kunjung digubris oleh pria itu.
"Sibuk sekali, yah? sampai tidak menyadari kedatanganku." Laras melipat tangannya didada saat pria itu menoleh dengan cengirannya.
"Maaf, aku tidak tau kau sudah datang, hehe." Sesalnya, ia menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal.
"Memangnya sedang bertukar pesan dengan siapa, sih?" Laras meletakkan bubur ayam yang sempat ia beli di luar untuk Verga. Mengingat pria itu tidak suka makanan rumah sakit, jadi sekalian saja.
"Dari ayah, kau bawa makanan? untukku, yah?" Verga mengubah posisinya menjadi duduk, menatap bubur yang Laras bawa dengan tatapan berbinar.
"Iya, aku tau kau pasti tidak menyukai makanan rumah sakit." Jelas Laras, pria itu lagi lagi tersenyum. Laras memang sangat pengertian.
"Perhatian sekali, sih. Lebih baik jadi istriku saja, kau pasti sudah lelah menjadi sahabatku, 'kan?" goda Verga.
Ingin sekali Laras melayangkan pukulan dimulut pria itu, tapi ia urungkan dan menganggap yang diucapkan Verga hanyalah angin lalu, ia berusaha tersenyum sebisa mungkin.
"Apa ayahmu memberitahumu sesuatu?" tanya Laras ketika berhasil meleset kan satu suapan pada mulut Verga.
"Katanya aku harus menghadiri acara pelelangan barang yang akan diadakan lusa nanti." Jelas Verga.
"Kau akan kesana?" Verga mengangguk mengiyakan. "Denganmu." Laras mengangkat alisnya bingung menatap Verga yang sedang mengunyah.
"Kenapa denganku?"
"Aku bosan setiap menghadiri acara itu, aku selalu sendirian, sedangkan yang lainnya membawa pasangan. Tenang saja, semua orang yang datang, wajib memakai topeng, karena ini pelelangan barang ilegal." Ucap Verga setengah berbisik.
"Kenapa tidak dengan kekasihmu saja, atau dengan gadis yang kau sukai? kenapa harus aku?"
Verga beralih menatap wajah Laras dengan tatapan seriusnya, Laras sampai menelan kuat salivanya, tatapan Verga membuat jantungnya tidak aman. Pria itu malah memajukan wajahnya hingga ketelinga Laras kemudian membisikkan sesuatu disana.
"Ini bukan acara sembarangan, aku tidak mungkin mengajak orang lain keacara itu, terlebih acara itu diawasi oleh beberapa ketua mafia. Aku mengajakmu karena mempercayakanmu, dan tidak ada yang lain selain kau, Laras." Verga mengakhiri perkataannya dengan ciuman lembut di pipi Laras. Lagi-lagi ia membuat jantung Laras tidak aman.
Laras hanya mengangguk patuh layaknya anak kecil yang diberi perintah oleh ayahnya, ia berusaha menelan kuat salivanya. Sial!! deep voice milik Verga masih terekam jelas diotaknya, dan pria itu malah melanjutkan acara makannya dengan santai, tak memperdulikan Laras yang masih diam membeku disampingnya.