"Kubilang lepaskan, Laras!" tekan Verga. Namun, Laras menggeleng dan semakin mengeratkan cengkramannya.
"Jelaskan dulu apa kesalahan ku sehingga kau menghindari ku, aku tak akan melepaskan mu kali ini." Balas Laras tak kalah tegas.
Verga berusaha mengontrol emosinya sebisa mungkin agar tak berujung fatal nantinya. Ia menghela nafas berusaha untuk berbicara setenang mungkin agar tidak melukai perasaan Laras dengan perkataannya, meski pada awalnya ia sudah membuat hati gadis itu terluka karena mengabaikannya.
"Ras, kumohon. Aku benar benar sedang sibuk, tolong lepaskan aku selagi aku masih berbicara dengan baik." tutur Verga dengan wajah memelas.
"Kubilang tidak, Vee! kenapa mendiamiku sejak 3 hari? memangnya aku salah apa? seharusnya kau katakan agar aku bisa memperbaiki sifatku yang mungkin mengganggu atau mengusikmu, jangan mendiamiku!" pekik Laras yang dibalas oleh helaan nafas dari Verga.
"Kau tidak bersalah, jadi sekarang tolong lepaskan sebelum aku berbuat kasar kepada mu!" sergah Verga.
"Memang kau berani berbuat kasar kepada ku? kepada gadis kecil kesayanganmu?" bisik Laras mendekati Verga memutuskan jarak diantara mereka.
"Lepaskan Laras!"
"Jawab aku!" racaunya.
"Lepaskan!"
"Tidak!"
"KUBILANG LEPASKAN, LARAS!!" teriak Verga menghempaskan kuat tangannya dari Laras.
"Awwhhss." ringis gadis itu ketika kuku Verga tak sengaja menggores bibir bawahnya hingga sedikit robek dan mengeluarkan darah.
Verga panik setengah mati dan buru buru menghampiri Laras kemudian menangkup wajah gadis itu yang ternyata sudah basah karena buliran asin dari kelopak matanya yang baru saja tumpah.
"Maafkan aku, maafkan aku, maafkan aku." sesal pria itu menatap bibir dan mata Laras secara bergantian.
Laras mengeluarkan air matanya dengan deras, sakit sekali rasanya melihat gadis kesayangannya menangis seperti itu karena ulahnya, apalagi tangannya sendiri yang sudah melukai bibir gadis itu. Dada Verga mendadak sesak menatap wajah gadis yang sedang ditangkupnya, bisa ia lihat mata sendu milik Laras yang tengah menatapnya. Tanpa sadar mata Verga ikut memanas melihat hal itu.
Verga menyentuh pelan bibir bawah gadis itu yang mengeluarkan darah. "Pasti sakit, yah? maafkan aku, maafkan aku yang bodoh ini, harusnya aku yang melindungi mu, tapi justru malah aku yang menyakitimu, maafkan aku." Verga mendaratkan kecupan singkat di kening Laras, ia menarik gadis itu kedalam pelukannya, terdengar suara isakan Laras dibawah sana.
"Hatiku seperti teriris Vee." Sahut Laras pelan.
"Maafkan aku, tolong." Sesal Verga, ia kembali mendaratkan kecupan di pucuk kepala Laras.
"Kau tau tidak? belakangan ini hariku terasa berat karenamu. Pikiranku selalu tak lepas dari beberapa pertanyaan dikepalaku, seperti," Laras berhenti sejenak berusaha menetralkan nafasnya yang terasa tercekat bersamaan dengan isakannya. "Seperti, apa aku sebegitu mengganggunya dikehidupan mu sehingga kau menjauhiku, atau aku memang menyebalkan sejak awal hingga membuatmu menyesal berteman denganku. Atau, aku memang sudah tidak cantik lagi, yah? sewaktu kecil kau pernah memberitahuku bahwa alasanmu berteman denganku karena aku cantik." jelas Laras panjang. Ia mengangkat wajahnya menatap Verga diakhir kalimat, ia sedikit memiringkan kepalanya menunggu jawaban dari Verga.
Verga tersenyum gemas bersamaan dengan air matanya yang menetes, gadisnya ini menggemaskan sekali ketika menangis, hidungnya bahkan sudah memerah, dan darah yang terus keluar sedikit demi sedikit dari bibirnya, tapi tetap saja ia berbicara yang tidak tidak.
Ibu jari Verga mengusap pelan air mata Laras dan cairan bening yang sedikit keluar dari hidung gadis itu. "Kau ini sedang sedih masih bisa mengaur, yah?" geram Verga, ingin sekali rasanya ia menggigit pipi gadis itu.
"Kuantar pulang saja, yah? sekalian kuobati luka dibibirmu," Bujuk Verga. Laras menggeleng membuatku Verga heran. "Kenapa?" lanjut Verga.
"Yang perih hatiku, bukan bibir ku."
"Akan kuobati keduanya."
-
Seorang pria tengah duduk disebuah kursi kebesaran milik ayahnya. Jemarinya sibuk menari nari diatas beberapa keyboard, ia tengah mengerjakan sesuatu yang diperintahkan oleh ayahnya. Tampak dari wajahnya yang sedang ia tekuk, sepertinya ia tidak berniat melakukan itu, tapi mau bagaimana lagi, ayahnya yang memaksa tentu harus ia turuti.
"Kerjakan dengan benar, Varo. Jangan sampai ada satupun data yang tercecer." Ujar pria paruh baya yang sedang membaca majalah berita dengan secangkir kopi didepannya.
"Bukan urusanku, lagipula ini pekerjaanmu bukan pekerjaanku, jangan introveksi aku." Ketusnya.
Pria paruh baya itu terkekeh menatap putranya. "Suatu saat nanti akan menjadi pekerjaanmu juga."
"Jangan harap aku mau, aku sama sekali tidak memiliki minat dalam hal ini."
"Kau tidak ada alasan untuk menolak, kau itu anak tunggal." Sergah Tn. Syam.
Varo hanya diam tidak menghiraukan perkataan sang ayah, berdebat dengan ayahnya membuat isi kepalanya terasa ingin pecah saja, benar-benar tidak ada habisnya.
"Ayah liat kau sudah kembali dekat yah dengan gadis itu?"
Varo menghentikan sejenak aktivitas nya, ia menatap sekilas ke arah sang ayah. Pertanyaan macam apa ini, sepertinya ayahnya itu memang sengaja ingin memancing emosi anaknya yang akan berujung dengan perdebatan. Varo tak menjawab pertanyaan itu, ia lebih memilih mengabaikannya.
"Apa telingamu memang sudah tidak berfungsi?" sindir Tn. Syam.
"Aku hanya memilih bungkam saja, aku tau kemana arah pembicaraanmu saat ini." Jawab Varo. Ia memang sedang tidak ingin berdebat saat ini, terlebih jika itu membahas orang yang dicintainya.
"Sudah kutegaskan kepadamu untuk menjauhinya, bukan?"
"Ayah, stop! kau selalu saja memancing emosiku, kurasa pertanyaan mu menjelajar kemana-mana. Jika seperti ini, aku lebih baik tidak berada disini sejak tadi, sekarang kerjakan semuanya sendiri. Permisi." Varo meninggalkan ruangan itu tanpa peduli dengan teriakan sang ayah.
-
"Tunggu sebentar disini, yah? aku membeli beberapa bahan masakan dulu, hari ini aku akan memasak yang spesial untukmu." ucap Verga setelah menghentikan mobilnya disalah satu swalayan yang berjarak tidak jauh lagi dari rumah Laras.
"Verga?" panggil Laras sedikit ragu.
"Heum?" jawab Verga, ia menepikan sedikit anak rambut Laras yang menutupi wajah gadis itu.
"Jangan lupa, permen sama cokelat nya yah, hehe." Verga tersenyum kemudian mengangguk dan mulai melangkah turun dari mobilnya.
Sembari menunggu Verga yang sedang berbelanja didalam, pikiran Laras tiba tiba terpusat pada Varo, tepatnya pada perbincangan mereka dicafe tiga hari yang lalu.
'Aku memutuskan hubungan itu bukan karena keinginanku, melainkan keinginan ayahku. Dan untuk masalah rumor yang beredar bahwa aku memiliki kekasih itu tidak benar, lagi lagi ayahku lah yang membuat rumor palsu itu. Aku belum tau pasti apa maksud ayahku dibalik semuanya, aku akan mencoba mencari tahunya.'
Penjelasan Varo berputar diotak Laras saat ini, ia masih memikirkan apa alasan ayahnya untuk menginginkan kedua hubungan mereka harus berakhir. Jika dipikir, Laras bahkan belum pernah bertemu dengan ayahnya Varo, tapi kenapa ayahnya terdengar tak menyukainya?