Sampai di Surabaya, Berto dan Dewita mengajak Bobby langsung ke rumah sakit. Di perjalanan, Dewita mengatakan bahwa awalnya mereka ingin mengenalkan Lisa lebih cepat. Lisa akan kuliah di Malang, tinggal di rumah Bobby agar mereka saling kenal.
Semua rencana itu pun mendadak harus berubah. Sejak beberapa bulan Amara, ibu Lisa diserang kanker hati. Cepat sekali kondisinya drop. Mendengar semua itu, hati Bobby makin tidak karuan. Situasi yang dia akan hadapi tampaknya lebih buruk dari yang sudah dia ketahui.
Mereka masuk ruang ICU. Seorang wanita terbaring lemah di ranjang. Kurus dan pucat. Perutnya bengkak karena sakitnya. Dia sedang tidur. Berbagai peralatan medis menempel di beberapa bagian tubuhnya. Di samping ranjang duduk seorang gadis cantik. Kulitnya putih dengan rambut lurus jatuh, hitam legam. Wajahnya sayu dan kelihatan sangat sedih.
"Lisa ..." Dewita menyapanya.
"Tante, Om ..." Gadis itu menoleh, menyapa Dewita dan Berto.
"Bagaimana ibumu?" Berto bertanya.
"Tidak ada perubahan, Om," jawab Lisa sedih.
"Ini Bobby, Lis." Dewita mengenalkan Bobby pada Lisa.
Bobby menyalaminya. Lisa melihat Bobby sekilas lalu menunduk.
"Pergilah ke kantin. Kamu pasti belum makan. Biar Tante dan Om yang menemani ibu kamu," kata Dewita. Dia sengaja agar Bobby dan Lisa punya waktu berkenalan.
"Iya." Lisa menjawab pendek.
Bobby dan Lisa meninggalkan ruangan, berjalan menuju kantin rumah sakit. Menyusuri lorong mereka tidak berbicara. Bobby melirik Lisa, gadis itu berjalan sambil menunduk. Bobby bisa mengerti kesedihan yang Lisa alami melihat ibunya terbaring tak berdaya.
"Aku turut sedih soal ibumu." Akhirnya Bobby memulai pembicaraan.
"Terima kasih sudah mau datang menjenguk," kata Lisa.
"Kita seusia, kan? Lulus SMA tahun ini?" tanya Bobby.
"Iya." Lia menjawab pendek.
"Aku ... juga tidak tahu harus bicara apa ..." Bobby merasa canggung. "Tapi ... setelah ini kamu akan ... jadi istriku."
Lisa langsung menangis mendengar kalimat Bobby. Bobby tentu saja bingung melihatnya.
"Eh, ayo, kita duduk di situ." Bobby mengajak Lisa duduk di kursi di taman yang mereka lalui. Suasana sepi, jadi cukup aman mereka bicara di sana.
"Maafkan aku, tapi hatiku sangat sedih, Lis. Aku tak pernah membayangkan akan mengalami hal ini," kata Bobby. Dia ingin jujur dan terus terang apapun yang terjadi.
Lisa hanya menunduk. Sesekali dia usap pipinya yang basah. Bobby jadi ingat Yuana. Yuana juga mudah sekali menangis.
"Maafkan aku, karena aku kamu harus berkorban. Cita-cita kamu, rencana kamu, dan juga kekasih kamu. Aku menyakiti kalian berdua." Lisa berkata pilu. Memandang Bobby sebentar lalu menunduk lagi.
"Kurasa kamu juga sama. Tapi, kita harus menjalaninya. Yang terjadi kita pasti bisa hadapi," ujar Bobby. DIa sendiri heran sebagus itu kalimat yang dia katakan, padahal hatinya remuk.
"Aku merasa jadi orang jahat. Kenapa aku tidak lahir laki-laki saja. Jadi orang tua kita tidak bisa menjodohkan kita berdua. Aku tidak tega lihat mama seperti ini. Andai mama sehat, aku mungkin milih minggat. Belum lagi papa. Sejak mama sakit dia seperti hilang kendali. Dia sangat sedih dan rapuh. Malah sepertinya dia yang akan kehilangan nyawa." Lisa tidak bisa menahan pedih yang dia rasa. Bibirnya seakan tidak bisa lagi terkatup dan mengucapkan semua yang ada di pikirannya.
"Lis, percayalah, semua akan baik kembali nanti. Kita harus kuat apapun yang kita akan lewati nanti." Bobby merasa jadi orang munafik. Dia mengatakan hal yang menenangkan Lisa, sementara dia sendiri merasa sangat kacau.
"Terima kasih," ujar Lisa. "Kamu tahu, aku takut sekali bertemu denganmu. Aku membayangkan kamu pasti sangat membenciku. Kamu marah dan bersikap kasar padaku."
"Sama sekali aku tidak berpikir begitu." Bobby memperhatikan Lisa. Yuana masih lebih ceria dibanding Lisa. Lisa tampak lebih pemalu dan tertutup.
"Ayo, ke kantin. Kamu pasti kelaparan," ajak Bobby.
Berdua mereka pergi ke kantin dan beli makanan. Tidak sampai setengah jam kemudian mereka sudah kembali ke ruangan ibu Lisa. Di ruangan Amara sudah bangun.
"Ini Bobby ..." katanya lemah.
"Iya, Bu. Saya Bobby." Bobby mendekati Amara.
"Kamu anak yang tampan." Lemah Amara bicara. "Bob, tolong jaga Lisa, ya ... Ibu tidak akan lama ... Ibu sangat letih ... Sayangi Lisa ... Ibu lega sebelum Ibu pergi, dia ada pendamping ..." Amara menggenggam tangan Bobby.
Bobby merasakan kulitnya yang tipis dan hangat. Matanya memandang Bobby penuh harap.
"Iya, Bu ..." ucap Bobby pelan dengan rasa campur aduk di hatinya. Situasi ini benar-benar makin menekan Bobby. Kenyataanya, Bobby memang tak punya pilihan selain setuju dengan keputusan orang tuanya.
Lisa yang berdiri di ujung ranjang mencoba menahan air mata yang berkumpul di pelupuk matanya.
"Terima kasih ..." Amara memaksa membentuk senyum di bibirnya.
"Lis ..." Amara memanggil putrinya.
"Iya, Ma ..." Lisa memandang Amara.
"Sini, dekat Bobby." Amara minta Lisa berdiri di sebelah Bobby.
Lisa maju dan berdiri di dekat Bobby.
"Kau harus layani Bobby dengan baik. Dia akan jadi pemimpin kamu. Setialah ... patuh padanya. Rawat dia … dengan baik," kata Amara, berpesan pada Lisa.
Lisa mengangguk dan air mata menetes di pipinya. Butiran beniung itu tak bisa lagi dia bendung.
"Ada satu lagi yang mama inginkan. Ini mungkin tidak akan menyenangkan. Tapi ..." Amara memperhatikan Bobby dan Lisa. Keduanya juga memandang pada Amara.
"Menikahlah di sini. Mama tidak mungkin keluar dari kamar ini. Mama ingin melihat kalian menikah," kata Amara.
"Tentu. Kami akan siapkan pernikahan di sini," sahut Berto. Hatinya juga pedih sebenarnya. Putra tunggalnya harus menikah secepat ini, dengan keadaan seperti ini.
Betul, dia memang ingin Lisa jadi menantunya. Tapi tentu bukan begini situasinya. Dewita sudah bolak balik mengusap matanya yang basah. Tidak tega juga dia menyaksikan semua ini.
Bobby menelan ludahnya. Menikah dengan orang tak dikenal, di rumah sakit, di depan ibunya yang menderita sakit parah. Lengkap sudah ...
"Terserah, apa jadinya," batin Bobby.
*****
Berto mengurus izin ke pihak rumah sakit untuk mengadakan pernikahan di ruangan pasien. Dia juga menghubungi pendeta yang akan membantu melakukan pernikahan. Hanya dalam waktu dua hari semua siap.
Pagi itu, Bobby dan Lisa resmi menikah. Bobby mengenakan kemeja putih dengan jas dan celana hitam. Lisa hanya mengenakan gaun putih sederhana selututnya. Wajahnya di-make up sangat simpel. Dewita yang menandaninya. Satu-satunya yang tampak bahagia hari itu adalah Amara. Dia merasa tenang. Kapanpun Tuhan memanggil, dia tidak kuatir tentang Lisa.
Yang perlu Amara lakukan, dia harus menguatkan suaminya. Widyo harus tegar, demi Lisa. Amara tahu Widyo sangat kacau sejak dia sakit. Dan ini sebabnya Amara memaksa agar Lisa menikah. Karena Widyo tidak bisa diandalkan untuk menjaga Lisa.