Manfred masuk kamar. Dia baru selesai mandi. Dia melihat HP di meja bergetar. Nama Bobby muncul. Manfred melihat chat dari sahabatnya itu.
Bobby
- Hai Fred.
Aku sudah menikah. Aku jadi suami sekarang. Kamu tahu yang kurasa. Seperti mimpi menyeramkan.
Aku dan Lisa menikah di rumah sakit. Bayangkan, rasanya aku jadi gila. Aku seorang suami, Fred.
Dan Lisa. Baru beberapa hari kukenal, dia sangat malang. Ibunya sakit kanker hati stadium akut. Ayahnya stress karena istrinya sakit berat.
Lisa jadi sering menangis. Kadang itu membuatku ingat Yuana. Aku kangen sekali padanya.
Mungkin kami bisa disebut tidak menikah. Kami tidur di kamar masing-masing. Aku serasa anak kos di rumah Lisa. Bisa jadi pernikahan kami adalah pernikahan paling menyedihkan.
Bagaimana Yuan? Apa dia sudah baik sekarang?
Membaca chat Bobby membuat hati Manfred pilu. "Kamu malang sekali, Bob. Di sini kamu berjuang untuk Yuana. Di sana kamu harus membantu Lisa. Gadis yang juga menderita. Tapi kamu kuat, kamu sangat hebat," bisik Manfred.
Manfred mengirim pesan balasan pada Bobby.
Manfred
- Hai, Bob.
Sorry lama respon. Tadi masih mandi.
Aku cuma bisa bilang woww!!! Kamu pria luar biasa. Yuana biar aku yang urus. Masih marah sih, tapi dia masih bisa normal kok, he he he.
Bobby
- thank you, Fred. Aku harus ke rumah sakit sekarang.
Manfred
- take care
Manfred bersiap, dia akan ke kampus. Minggu depan kuliah mulai. Keluar kamar ada Marvin di ruang depan. Dia tampak sibuk dengan laptop yang ada di depannya.
"Mau berangkat?" tanya Marvin.
"Iya, Kak. Kakak ga ke kampus?" Bobby membetulkan resleting ranselnya.
"Masih libur, kan?" ujar Marvin. "Bobby apa kabar?"
"Sama sih, persiapan kuliah." Bobby merapatkan jaketnya.
"Jadi jauhan kalian. Padahal soulmate banget tuh, dari SMP," tukas Bobby.
"Hee ... iya. Mau gimana?" Manfred senyum lebar. "Aku jalan dulu."
"Oke." Marvin memandangi adiknya, adik bulenya. Makin keren saja.
Manfred berangkat. Hari ini hanya info mengenai persiapan minggu orientasi. Jadi tidak lama juga di kampus. Selesai urusan kampus, Manfred bersiap pulang. Dia bertemu Yuana yang juga mau pulang.
"Yu, bareng yuk?" kata Manfred.
"Hai!" Yuana tersenyum. "Ayo ..."
"Ada kabar dari Bobby, Yuan. Dia baru chat aku." Manfred memandang Yuana.
"Peduli amat. Dia ternyata pengecut. Harusnya dia datang dan menjelaskan padaku. Mau sampai kapan menghindari aku? Aku malas mikir dia." Suara Yuana berubah ketus. Tapi hati gadis itu seketika perih. Dia sangat rindu Bobby.
"Kamu tahu Bobby bukan orang yang seperti itu, Yu. Dia masih menunggu waktu yang tepat. Hidupnya sekarang sangat sulit. Dia tidak punya pilihan selain menjalaninya." Manfred melunakkan hati Yuana, sedikit memberikan clue tentang Bobby.
"Kamu mengatakan semua itu untuk apa? Aku tak tahu apa-apa soal dia, kan?" Yuana makin tajam bicara. "Apa dia mikir aku setiap malam menangis ingat dia, rindu padanya? Tanpa tahu ada apa sebenarnya."
"Bobby pasti sama merindukan kamu. Hanya dia tidak mungkin kembali." Nada suara Manfred merendah, sendu. Seakan-akan dia yang sedang mengalami situasi Bobby.
Yuana terdiam. Dia tak mau berandai-andai apa yang terjadi. Yang jelas dia bingung dengan semua yang terjadi. DIa merasa ditolak dan ditinggalkan tanpa sebab.
"Yu ..." Manfred berhenti dan duduk di kursi panjang dekat taman kampus.
Yuana ikut duduk. Dia melihat ke Manfred.
Manfred membesarkan hati. Melihat Yuana terus galau, Manfred memberanikan diri membuka dirinya. "Aku ingin kamu tahu, aku sayang sama kamu."
"Aku tahu itu, Fred." Yuana memandang lurus pada Manfred. Selama ini sudah jelas Manfred sayang padanya. Dia sangat, sangat baik pada Yuana. Bahkan satu dua sisi, Manfred lebih mengenal Yuana ketimbang Bobby. Atau dia tahu yang Yuana alami lebih dulu dari Bobby. Ada bagian yang Yuana leih merasa aman bicara dengan Manfred.
"Tapi bukan sebagai sahabat." Manfred makin serius menatap dua manik bening indah Yuana.
"Maksudmu?" Yuana juga makin dalam menatap mata biru Manfred.
Ini waktunya. Ini saat Manfred sebaiknya mengungkapkan perasaannya pada Yuana.
"Sejak kita SMP, aku jatuh cinta padamu. Tapi aku tidak berani mengatakannya. Dan begitu aku tahu Bobby juga suka padamu, lalu aku merasa kamu juga suka dia, aku pendam rasa di hatiku. Aku bahagia melihat kalian bersama. Aku ingin terus begitu. Siapa yang tahu semua berbeda sekarang." Manfred merasa debaran mulai menguat di jantungnya membicarakan ini.
Yuana meluruskan punggungnya. "Kamu ..."
"Ya ... dan hatiku masih sama, sampai hari ini." Mata biru Manfred masih lekat memandang mata Yuana.
"Kenapa kamu baru bilang sekarang? Setelah aku sakit karena Bobby? Seandainya dulu, mungkin aku akan menerimamu dan aku tidak perlu kecewa lalu patah hati seperti ini," kata Yuana dengan nada perih dan sedikit marah.
Yuana sangat terkejut mengetahui kenyataan ini. Manfred ternyata juga cinta padanya? Jadi dua sahabatnya itu punya hati yang sama buatnya? Bagaimana bisa dia tidak menyadari cinta Manfred.
"Seandainya waktu itu aku katakan, belum tentu kamu menerimaku. Karena hatimu buat Bobby. Justru bisa jadi hubungan persahabatan kita tidak sebaik yang sudah kita lewati, karena kamu bingung antara hatiku atau Bobby. Kamu cinta Bobby tapi tidak ingin aku terluka." Itu yang Manfred pikirkan, itu juga yang dia lakukan ketika beradadi antara Yuana dan Bobby.
Yuana terdiam. Manfred benar.
"Bagaimanapun Bobby sangat baik padaku. Darinya juga aku belajar banyak agar kuat menjalani hidupku." Pilu rasanya ketika Yuana mengucapkan kalimat itu.
"Sampai sekarang seperti itulah Bobby." Manfred mengarahkan pandangan pada halaman sekolah mereka.
"Suruh dia menemuiku, baru aku pertimbangkan aku maafkan dia atau tidak," kata Yuana dengan nada tegas.
"Hmmm ..." gumam Manfred. Dia mengangguk. Dia akan sampaikan itu pada Bobby.
*****
Bobby sudah mulai kuliah. Lisa tidak mungkin bisa kuliah. Dia harus menjaga mama dan papanya. Kehidupan sehari-hari mereka ditopang ayah Bobby. Biaya rumah sakit dari tabungan Amara dan uang pensiun Widyo. Karena keadaannya yang tidak stabil, perusahaan Widyo memberikan pensiun dini padanya. Dia hampir tidak bisa bekerja.
"Lisa, kita jalani semua dengan lapang saja. Tuhan pasti punya maksud makanya kita diijinkan bersama meski sama sekali bukan kemauan kita," kata Bobby.
Hari itu sejak bangun Bobby melihat Lisa begitu sedih dan galau. Tidak ada perkembangan apapun pada kondisi Amara dan juga papanya masih saja seperti itu.
"Apa kamu benar-benar rela, mau menerima aku, Bob?" tanya Lisa. Sering muncul dalam Piki ran Lisa, Bobby memang tidak menolak pernikahan paksa mereka. Dia juga baik dengan Lisa. Tapi dalam hati apakah dia lega dengan semua ini?
"Tentu saja." Bobby menyahut cepat. "Aku akui awalnya sangat sulit menerima ini. Tapi aku membuka hati dan melihat bahwa kamu tidak mungkin sendirian menghadapi semuanya."
Ada rasa sejuk mengalir di hati Lisa mendengar perkataan Bobby.
"Terima kasih, Bob," ucap Lisa. Ingin sekali dia menangis karena sangat bersyukur Bobby mau mengerti keadaannya.
Mereka mulai sarapan bersama. Hanya berdua, Widyo ada di kamarnya.
"Papa bagaimana?" Bobby menanyakan ayah mertuanya.