Selesai pernikahan, Bobby dan Lisa pulang ke rumah orang tua Lisa. Ayah dan Ibu Bobby masih tinggal menemani Amara bersama Widyo.
Bobby menghubungi Manfred. Dia menceritakan semua apa yang dia alami. Manfred bolak balik kaget dan menarik nafas tak percaya. Hatinya ikut pilu mendengar cerita Bobby. Dia tahu Bobby sangat menderita dengan semua ini.
Tok tok tok!!
Pintu kamar diketuk.
"Masuk saja, Lis," kata Bobby. Dia menaruh ponselnya di meja.
Lisa membuka pintu. "Maaf, makan siang dulu, Bob. Uda lewat jam makan juga," ucap Lisa.
"Sebentar aku ke sana," sahut Bobby. Lisa kembali menutup pintu.
Bobby melanjutkan mengirim pesan pada Manfred. Dia minta doa Manfred agar dia tetap kuat. Lalu dia ke ruang makan. Ternyata Berto dan Dewita sudah datang dari rumah sakit. Mereka makan siang bersama.
Ternyata Lisa pandai memasak. Dia membuat beberapa menu dan menata dengan baik sekali. Bobby tersenyum. Masakannya juga lumayan lezat.
"Kamu pintar memasak, Lis. Ibu ga kuatir tinggalin Bobby di sini. Dia suka makan. Masak apa saja dia akan makan lahap," kata Dewita.
Lisa tersenyum di ujung bibirnya. Setidaknya inromasi masih itu membuat Lisa sedikit lega. Bobby bukan anak manja.
"Ya, masakan kamu lezat. Betah pasti aku di sini," ujar Bobby.
Berto dan Dewita berpesan ini dan itu pada Bobby. Mereka akan segera kembali ke Malang. Keperluan Bobby untuk kuliah dan kehidupannya dengan Lisa, akan tetap disupport selama dia studi. Dewita juga berpesan agar Lisa lebih memperhatikan ayahnya. Pria itu masih saja belum lega menerima kenyataan istrinya sakit berat dan di ujung maut.
Lisa mengangguk mendengar semua nasihat ayah dan ibu Bobby.
*****
Setelah Berto dan Dewita pulang, tak lama papa Lisa datang. Dia kelihatan lesu dan tak bersemangat.
"Papa istirahat dulu. Aku akan jaga mama malam ini. Papa balik ke rumah sakit besok saja," kata Lisa.
"Oke," jawab Widyo pendek. Lisa meninggalkan papanya di kamarnya. Hatinya gundah, papanya masih juga tak bersemangat.
Lisa pun membereskan rumah dan menyiapkan makan malam. Bobby membantunya. Bobby cukup senang karena Lisa gadis yang rajin. Dia tahu bagaimana mengurus rumah. Pasti karena kondisi keluarga yang sulit, tidak ada pembantu, jadi Lisa bisa mandiri.
Setelah itu baru Bobby bersiap akan mengantar Lisa ke rumah sakit untuk menjaga mamanya.
"Lisa ..." Bobby memanggil Lisa.
"Di kamar papa, Bob!" Terdengar sahutan Lisa. Bobby menuju kamar mertuanya itu. Waktu dia masuk dia terkejut melihat Widyo meringkuk di ranjang, sedang Lisa berjongkok memunguti obat yang berserakan di lantai dan kasur.
"Apa yang terjadi, Lisa?" Bobby mendekati Lisa.
"Hampir saja papa minum semua isi obat ini." Lisa menunjukkan botol obat di tangannya. Itu obat penenang. Bobby terperangah melihat itu.
"Aku panggil papa untuk makan malam. Pas dia sedang mengeluarkan obat ini. Sempat terminum dua butir. Untung aku lihat, kalau tidak ..." Lisa mengusap matanya.
Di ranjang, papa Lisa masih di posisi yang sama, meringkuk, dengan pandangan kosong.
"Ambilkan papa makan dan minum. Biar dia makan di kamar saja," kata Bobby.
"Iya." Lisa membawa obat dan menyimpannya. Dia mengambil makanan dan minuman untuk papanya.
Lisa mendekati papanya. Bobby membantu Widyo duduk, lalu Lisa menyuapi papanya.
"Lis, kenapa mama tidak juga baik? Papa ga bisa lihat dia seperti itu ..." ujar Widyo sedih.
"Pa, kalau Papa begini bagaimana mama mau sehat. Mama sedih lihat Papa begini. Papa harus kuat. Sekarang sudah ada Bobby sama kita. Masa dia ikut sedih karena Papa." Lisa membujuk papanya. Dia bahkan menyuapi papanya dengan sabar.
"Maafkan Papa," kata Widyo dengan suara parau dan sedih.
Selesai membantu papanya makan, Lisa membiarkan papanya tidur. Dia meninggalkan kamar dan menuju ke ruang makan.
Bobby di sana menunggu untuk makan malam bersama.
"Aku tidak tahu harus berbuat apa untuk papa," kata Lisa. "Papa memang tergantung dengan mama. Mama adalah pahlawan hidupnya. Waktu muda papa anak jalanan yang ga perduli hidup. Waktu bertemu mama, jatuh cinta, dia mau berubah. Mama yang menolong papa jadi pria yang baik. Ternyata dia kembali rapuh melihat mama sakit."
Bobby memegang tangan Lisa. Dia ingin menguatkan gadis itu. Perlahan Bobby mulai bisa membuka hati menerima Lisa dalam hidupnya. Ayah dan ibunya benar, Lisa membutuhkannya.
"Maafkan aku, Bob. Mungkin aku tidak bisa menjadi istri yang baik untukmu. Aku belum tahu harus bagaimana juga. Membayangkan punya pacar saja bahkan aku takut, tapi sekarang aku, aku adalah seorang istri. Aku ... aku takut ..." Lisa mengusap matanya yang membuat basah.
"Aku juga takut, Lisa. Aku juga tidak pernah berpikir di usia belum genap delapan belas tahun, menikah. Menjadi suami. Kita akan belajar bersama menjalani ini," tutur Bobby. "Bagaimana juga kita berjanji akan saling mengasihi dan setia satu sama lain, bukan? Walaupun pernikahan kita seperti bukan pernikahan. Semuanya tetap serius. Bukan main-main. Kita juga menjalani harus dengan serius."
"Apa kata pacar kamu?" Lisa memandang Bobby dengan rasa bersalah.
"Yuana?" Ada luka rasanya ketika menyebut nama itu. Dia rindu Yuana. Rindu senyumnya, manjanya, dan wajahnya yang lucu saat dia marah. "Aku belum mengatakan apapun tentang kita. Ini sangat berat buat dia jika dia tahu. Yuana sedikit banyak seperti kamu. Mudah sekali menangis. Hanya dia lebih keras kepala. Yang sulit meninggalkannya karena dia juga rapuh."
"Jadi kalian masih pacaran?" Mengatakan ini entah apa yang ada di benak Lisa.
"Tentu saja tidak. Aku memutuskan hubungan melalui surat. Aku minta sahabat kami untuk menenangkan hatinya. Jika aku sudah siap, dan dia juga, aku akan ceritakan semuanya." Bobby menerangkan situasi dia dan Yuana.
Lisa terus bertanya tentang Yuana pada Bobby, justru itu membuat Bobby merasa perih di hatinya. Bobby berusaha mengelak saat Lisa kembali bertanya dengan berbalik bertanya untuk apa Lisa ingin tahu tentang Yuana.
"Aku tahu kamu masih sayang dia dan ..."
"Lisa, sebesar apapun sayangku untuknya, aku harus melupakannya. Aku hidup denganmu sekarang. Kamu istriku, kamu masa depanku." Bobby tidak suka mengatakan ini, tapi itu kenyataannya.
Lisa cukup terkejut dengan nada suara Bobby yang sedikit meninggi. Lisa mulai paham, Bobby tidak nyaman dia menanyakan itu.
"Maaf, Bob," ucap Lisa lirih.
"Tidak apa-apa." Bobby kembali melanjutkan menyuap makanan di depannya yang sudah hampir habis.
Mengakhiri makan malam itu Bobby mengatakan pada Lisa sebaiknya mereka berteman, dalam arti tidak menganggap mereka adalah suami istri. Mungkin dengan begitu mereka tidak akan canggung satu sama lain. Lisa mengangguk. Dia menurut saja yang Bobby katakan. Mungkin itu lebih baik untuk mereka.
Entah akan bagaimana ke depan, Bobby dan Lisa belum bisa membayangkan. Yang pasti, apa yang mereka jalani karena permintaan orang tua, demi kebahagiaan Amara. Sekalipun Bobby mulai sadar, Lisa memang perlu teman di situasi berat ini, tetap saja, jika mungkin semua ini hanya mimpi dan dia segera bangun kembali pada hidupnya yang semula.