Alma keluar dari kamarnya dengan perasaan yang bergetar. Selama ini, dia tak pernah berkenalan dengan seorang lelaki. Ia adalah gadis yang polos dan sama sekali tak pernah mengenal cinta. Abi dan Ummi selalu melarangnya untuk mengenal cinta, karena kedua orang tuanya senantiasa berpesan cinta adalah hal yang menjerumuskan. Untuk itulah, Alma tidak pernah siap untuk menikah. Secepat ini.
"Adik Alma, ayo keluar... Tunggu apa lagi di sini?"
Dengan perasaan gentar yang masih tersisa, Alma mengucap basmallah. Ia meyakinkan hatinya terlebih dahulu. Kalau pilihan yang ada di depan matanya ini adalah sebuah keputusan yang memang diberikan oleh Allah kepada dirinya.
Dengan nada perlahan, Alma mengakui. "Aku takut, Kak."
"Tidak perlu takut. Ayo keluar. Kakak akan ada di sampingmu."
Alma pun menganggukkan kepalanya. Dia pun keluar dari kamar mengenakan dress panjang berwarna ungu pastel yang cerah nan memikat. Tak lupa, kerudungnya pun terhelai panjang. Sungguh perempuan yang idaman.
Alma keluar dari kamar, menunduk. Ia menjaga pandangan matanya dari sosok Lauzardi. Meski dalam hatinya, juga tak dapat dipungkiri kalau penasaran dengan lelaki tersebut. Tetapi, ia tak berani untuk mendongakkan kepalanya ke atas. Alma sengaja melakukannya, supaya dia tak akan menyesal bagaimana pun fisik Mas Lazuardi nantinya.
Berikutnya, Abi memulai pembicaraan. "Lazuardi, sesuai dengan janji Abi kemarin, Abi akan mengenalkan salah satu anak Abi. Dia bernama Alma."
Alma masih merunduk. Menggigit bibir sendiri, tak berani melihat, memainkan jemarinya sendiri.
"Iya, Abi. Terima kasih sudah mengenalkan Alma kepadaku, sungguh suatu kebaikan yang tiada terkira, sehingga Abi mengenalkan salah satu piteri Abi kepadaku."
"Tidak juga, Lazuardi. Abi sebagai salah satu anggota yayasan, tahu bagaimana tindak tandukmu kalau di sekolah. Semua orang juga mengatakan kamu adalah murid yang paling pintar dan juga murid yang paling baik di sekolah dulu."
"Itu bukanlah apa-apa, Abi. Bagaimana pun, pelajaran di sekolah tidak bisa dibandingkan dengan kehidupan nyata ini."
"Meskipun kamu benar, Lazuardi. Tetapi, Abi sudah berniatan sejak lama untuk menjodohkanmu dengan Alma."
Deg. Jantung Alma seakan hendak jatuh. Sejak dulu Ayahnya memang berniatan untuk menjodohkan dirinya dengan Mas Lazuardi? Kenapa Ayahnya itu tidak pernah memberitahu sedikit pun? Malah, dia tiba-tiba saja mengatakan hal seperti ini?
Rasanya sangat sakit. Namun, Alma hanya bisa menghela napas perlahan, meredam emosinya dalam dada.
Di sisi lain, Lazuardi menganggukkan kepalanya mengerti. Dia berasal dari keluarga terpandang yang kaya raya. Belum lagi, kedua orang tuanya memanglah sudah memiliki hubungan yang baik dengan keluarga Alma. Pernikahan seperti ini bukanlah hal yang tidak biasa bagi lingkungan keluarganya. Justru kalau dia tidak memiliki istri, barulah akan menimbulkan sebuah fitnah. "Abi, bagaimana pun Ayah dan Ibu juga sudah sepakat dengan pernikahan ini. Kalau Ayah dan Ibu sudah sepakat, maka saya juga menyetujuinya. Bagaimana pun ridha Allah juga terletak di bawah ridha kedua orang tua."
Abi tersenyum mantap. Memang inilah yang dikehendaki olehnya. "Kalau begitu, marilah kita tentukan tanggal saja sesegera mungkin."
"Bagaimana kalau tanggal...."
Pembicaraan itu berlanjut. Sedikit pun Alma tidak diajak untuk bekerja sama dalam penentuan tanggal. Gadis itu seakan menjadi patung dan saksi bisu di sana. Antara ada dan tiada.
Dan Alma... Hanya mendengarkan suara Lazuardi yang maskulin. Dia juga menunduk sembari menerka-nerka. Apakah memang... calon suaminya ini setampan suaranya?
Entah mengapa... Suara sosok Mas Lazuardi ini sangat menawan, serasa mengetuk-ngetuk relung hati Alma yang memang kering kerontang akan sebuah kasih sayang lelaki.
* * *
Perdebatan penentuan tanggal pernikahan itu cukup lama terjalin. Ayah dan Ibu Lazuardi belum bisa datang ke rumah Alma, mereka masih berada di Malaysia untuk mengurus bisnis. Dan kabarnya, dia baru bisa pulang mendekati hari H pernikahan. Selama kepengurusan pernikahan, pihak mempelai pria mempercayakan kepada Lazuardi dan juga kedua orang tua Alma.
Alma sendiri bukan orang yang mempermasalahkan berbagai urusan pernikahan, dia malah hanya mengikuti arah dan alur. Dia sangat awam perkara pernikahan, dan tidak tahu menahu soal ini semua. Apalagi baginya semua ini memusingkan.
Apalagi, memanglah sejak awal dia tidak berminat untuk menikah dalam jangka waktu dekat. Ia hanya ingin menjadi wanita karier saja. Tetapi, dia tak bisa menolak keinginan kedua orang tuanya. Bisa kualat dan durhaka nantinya. Dan Alma, tidak ingin kalau dia sampai dikutuk jadi Malin Kundang hanya karena tidak menikah dengan Lazuardi. Toh, menikah juga bukan perkara yang menyebalkan. Malah beberapa orang mengatakan kalau menikah itu menyenangkan.
Mendapatkan kasih sayang dari orang terkasih, lantas saling bersandar menceritakan masalah..
menyenangkan sekali bukan?
Alhasil, Alma yang tengah merawat badannya, memakai lulur pengantin (dibantu oleh Si Mbok), dan duduk di hadapan cermin kamarnya pun bertanya kepada Zulfa. "Kak, apakah memang menikah itu menyenangkan?"
"Pertanyaan ini punya banyak jawaban. Kakak nggak bisa jawab dari salah satu sisi saja."
"Menurut pendapat kakak pribadi saja deh."
"Menyenangkan dan nggak menyenangkan sih. Ada kalanya menyenangkan, ada kalanya juga tidak menyenangkan. Pernikahan itu ibarat kehidupan sebenarnya. Kamu akan menjalani kehidupanmu bersama dengan orang itu. Selamanya."
Alma menelan ludahnya. Ada ketakutan yang merajam hatinya. "Kenapa kakak mau untuk menikah dengan suami kakak sekarang? Bukankah... dia juga lelaki pilihan ayah? Kakak tidak takut?"
* * *