"Sebentar-sebentar." ujar Faradina dengan penuh keheranan. Ia pun mengulang cerita dari Alma. "Kamu mengatakan kalau Mas Lazuardi sama sekali tidak menyentuhmu?"
Alma pun menganggukkan kepalanya. "Begitulah keadaannya. Entah mengapa, selama kami menikah, tak pernah sedikit pun dia melakukan sentuhan kepadaku."
Fifka yang baru datang dari kamar mandi pun terkejut. Ia malah sangat heboh. "Apa? Dia sama sekali tidak menyentuhmu?!"
Dengan kehebohan Fifka, semua orang melirik ke arah Fifka sekilas. Faradina pun mendesis kesal kepada Fifka. Gadis ini memang super hiperbolis dan tidak bisa diatur. "Pelankan nada suaramu, Fifka! Kita sedang ada di cafe!"
"Maafkan aku." Gadis itu merasa bersalah.
Tetapi agaknya, dia tidak jera malah menambahkan. "Jadi, kenapa dia tidak menyentuhmu? Kamu tahu alasannya, atau setidaknya, pernah menanyakannya?"
Alma menggelengkan kepalanya. "Mana mungkin aku bisa bertanya kepada dia?"
"Maksudku, aku dan Mas Lazuardi belum sedekat itu. Kami adalah orang asing yang tiba-tiba dijodohkan, lalu menikah."
"Hm... Kalau begitu ... Bagaimana hubungan kalian? Apakah kalian baik-baik saja?"
Alma pun mengiyakan. Inilah yang memang sangat aneh bagi Alma. Dia dan Mas Lazuardi baik-baik saja. Lelaki itu memberikan setiap kelembutan, kehangatan, dan juga kasih sayang kepadanya. Bahkan beberapa kali memasak untuknya. Meski demikian, lelaki tersebut tak pernah memberikan sentuhan kepadanya.
Tidak mengelus kepalanya, menggandeng tangannya, atau bahkan memeluknya.
Faradina pun menggumam. "Atau jangan-jangan ... Dia ini gay?"
"Atau mempunyai penyakit menular seksual?" sambung Fifka.
"Atau malah impoten?"
Faradina menghela napas panjangnya. "Semua ini bisa terjadi."
"Sudah sebaiknya kamu bertanya kepada Mas Lazuardi, Alma. Tidak baik untuk dipendam terus," saran Faradina. Gadis cantik ini memang selalu seperti ibu peri, sosok yang paling baik di antara mereka semua.
"Terima kasih, Faradina. Kamu selalu baik. Mungkin setelah ini, aku akan bertanya kepada Mas Lazuardi."
"Coba tanyakan saja. Lebih baik bertanya, daripada kamu stress sendiri. Bisa saja, alasan yang kamu dengar tidak semenakutkan kenyataannya. Bukankah begitu?"
* * *
Pada malam hari itu juga, saat Mas Lazuardi menjemputnya, Alma terus kepikiran di dalam mobil.
Gadis itu melamun sepanjang perjalanan. Sementara Mas Lazuardi adalah sosok yang cukup peka. Ia pun bertanya kepada Alma. "Dik, apakah ada sesuatu yang terjadi kepadamu? Kenapa kamu diam saja?"
Alma langsung terkesiap tatkala Mas Lazuardi bertanya demikian. "Ah, tidak kok."
"Kalau begitu, kenapa kamu diam saja, Dik?"
Alma lagi-lagi menjawab tidak. Terlihat jelas Mas Lazuardi masih tidak percaya dengan jawaban Alma, tetapi lelaki tersebbut mencoba untuk menahannya.
Dan ketika di rumah, Alma berinisiatif untuk membicarakannya di tengah makan malam. Bagi Alma itu saat yang tepat, dibandingkan harus membicarakannya di dalam kamar, bisa saja Mas Lazuardi akan bekerja nanti.
Ketika makanan sudah siap di meja makan, setelah berdoa bersama, Alma pun terdiam.
Di tengah sikap hening Alma, Mas Lazuardi pun mengucapkan, "Kenapa, Dik? Kenapa kamu diam saja? Katakanlah kalau ada yang perlu untuk disampaikan."
Seketika itu, Alma pun menganggukkan kepalanya. "Mas," panggilnya.
"Iya?"
Mas Lazuardi pun menatap wajah cantik Alma. Lelaki itu menantikan kalimat Alma selanjutnya.
Sejujurnya, sangat sulit bagi Alma untuk mengungkapkan apa yang terjadi. Dadanya ini terasa sangat berat bagi Alma. Bagaimana mungkin dia bisa mengungkapkan semuanya dengan mudah?
Gadis itu pun diam cukup lama... sampai akhirnya, Mas Lazuardi sendiri mengucapkan. "Pasti ada banyak sekali pertanyaan yang muncul di otakmu, bukan?"
"Eh?" Alma keheranan. Apakah otaknya se-transparan itu, sampai-sampai Mas Lazuardi mengatakannya lebih dulu?
"Bagaimana, Mas?"
"Alma, tidak usah terburu-buru. Waktu kita sangatlah lama. Pernikahan adalah sebuah perjalanan seumur hidup. Jadi, tidak perlu terburu-buru. Kamu juga masih belum punya pekerjaan, kan?"
Alma terhenyak. Mas Lazuardi ...
"Aku tidak mau kita terburu-buru, bahkan sampai kamu nantinya hamil sebelum mendapatkan pekerjaan tetap. Walaupun kamu sudah mendapatkan pekerjaan pun, nantinya akan ada masa training yang cukup berat. Aku tak ingin memberatkanmu di sana."
Alma seketika terkejut dengan ungkapan yang berasal dari Mas Lazuardi. Tidak menyangka kalau lelaki itu sangat memikirkan Alma sampai sedalam itu.
"Mas..." Mata Alma pun berkaca-kaca.
"Tenanglah... Aku tidak pernah sekalipun membencimu. Aku hanya ingin kamu juga menikmati masa lajangmu. Bagaimana pun, kamu baru lulus kemarin. Kamu juga ingin fokus pada karier dan kehidupan pribadimu, bukan?"
"Aku sungguh membebaskanmu atas itu." Mas Lazuardi kembali memberikan senyuman itu. Sebuah candu yang muncul.
Dan saat itu juga, perasaan Alma bergejolak. Tampaknya ... dia menemukan sosok lelaki yang sangat pengertian. Bahkan, dia bisa memikirkan bagaimana jika lelaki itu menjadi seorang perempuan, membayangkan posisinya. Dan menurut Alma, hanya Mas Lazuardi yang bisa melakukannya.
* * *