Hari demi hari pun berlalu, sudah satu bulan sejak pernikahan antara Mas Lazuardi dan juga Alma. Selama itu juga, Alma belum mendapatkan pekerjaan. Gadis tersebut sudah mencoba untuk mendaftarkan diri ke sana sini, tetapi belum juga mendapatkan panggilan. Sampai akhirnya, Mas Lazuardi juga merasakan rasa lelah yang Alma rasakan.
Tidak ada yang tidak merasa lelah ketika mereka mencari pekerjaan. Mencari pekerjaan adalah hal yang melelahkan. Untuk itulah, Mas Lazuardi pun bertanya kepada Alma. "Dik, bagaimana kalau kamu kukenalkan dengan salah satu kenalanku? Di perusahaan dia sedang ada lowongan kerja sebagai reporter."
"Mas Lazuardi mau melakukannya?"
"Kenapa tidak, Alma? Lagipula, kamu juga kelihatannya bosan kalau lama-lama di rumah, bukan?"
Alma pun menganggukkan kepalanya dengan antusias. Pekerjaan sebagai reporter memanglah cukup berat, tetapi bukan berarti Alma tidak bisa melakukannya.
Dia memiliki jiwa sosial yang tinggi, gadis yang sangat cerdas, bahkan juga memiliki pemikiran yang kritis. Sebuah landasan dasar seorang wartawan. Maka dari itu, Alma siap untuk menjadi seorang wartawan.
"Kalau begitu, apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku mengirimkan CV-ku kepadanya?"
"Tidak usah. Kirimkan saja kepadaku, Alma."
"Terima kasih, Mas. Aku tidak tahu apa lagi yang bisa aku katakan kecuali terima kasih."
Mas Lazuardi hanya tersenyum, seperti biasa, sebuah senyuman yang sangat menenangkan.
* * *
Pada suatu hari, di sebuah sore, Alma dan beberapa teman-temannya bertemu. Tak lain dan tak bukan adalah Fifka dan juga Faradina. Kedua gadis itu adalah teman akrab Alma di kampus.
Alma diantar oleh Mas Lazuardi hingga ke depan cafe, lantas lelaki itu pun melambaikan tangannya kepada Alma sebagai tanda perpisahan. "Aku akan menjemputmu nanti,"
"Kalau Mas tidak bisa, jangan dipaksa, ya. Aku bisa kok pulang dengan ojek atau taksi."
"Mana mungkin aku begitu?" kata Mas Lazuardi.
Alma terkekeh. Lelaki itu memang memiliki tanggungjawab yang besar terhadap Alma. Bahkan, ia menunggu Alma hingga masuk ke dalam cafe, barulah ia pergi dari cafe. Sungguh tindakan yang romantis.
Sementara teman-teman Alma, Fifka dan Faradina ini, terpana melihat Mas Lazuardi. Fifka pun menyerutuk, "Wah, diantarkan sama suami, nih."
"Begitulah." balas Alma sekenanya.
Fifka pun terkikik. "Faradina, mungkin suatu saat nanti kita harus mencobanya, memiliki suami."
"Akan ada masanya." kata Faradina.
Mereka pun berbincang cukup lama. Mengenang kegiatan masa lalu mereka. Hingga saat Fifka izin ke kamar mandi, Faradina pun bertanya kepada Alma. "Bagaimana keadaan rumah tanggamu dengan Mas Lazuardi? Semuanya baik-baik saja, bukan?"
Alma tersenyum, menutupi perasaan yang sesungguhnya. Ia juga bingung, apakah dia harus menceritakan kepada Faradina kebenarannya, atau bagaimana?
Sebab, Faradina adalah sahabat terbaiknya semasa kuliah. Dia adalah teman yang senantiasa mendengarkan segalanya. Semua masalahnya, dari masalah sepele, seperti ban motor yang bocor, hingga masalah rumit, merembet ke bimbingan dosen atau pun masalah keluarganya.
Ia pun melihat ke arah Faradina lagi. Perempuan blasteran Inggris-Indonesia, dengan rambut pendek sebahu itu memandang ke arah Alma. Ia pun mengungkapkan dengan pelan, "Katakan saja apa yang ada di dalam hatimu, Alma. Sulit kan, untuk menerima perjodohan?"
Di saat Faradina mengatakan itu, air mata Alma pun bercucuran tanpa bisa dicegah. Entah mengapa, semuanya tiba-tiba saja.
Selama ini, tak dapat dipungkiri, Alma memang merahasiakan isi hatinya. Ia tak pernah menunjukkan kalau dia masih memiliki sisi keberatan dalam dirinya. Kalau dia itu memang dijodohkan dengan Mas Lazuardi.
Namun sayangnya, semakin berjalannya waktu, Alma sering mengalami kekhawatiran. Ia belum tahu apa pun tentang Mas Lazuardi. Bahkan, pekerjaannya saja tidak tahu. Ia hanya tahu Mas Lazuardi bekerja sebagai salah satu pemilik usaha. Hanya itu saja.
Entah usaha apa, ia juga tidak tahu.
Dan lagi ...
Setelah beberapa waktu lamanya mereka menikah, Mas Lazuardi belum pernah menyentuhnya. Inilah sebuah lubang besar yang ada di dalam diri Alma.
Ia pun mengucapkan, di tengah tangisnya, sembari sesengukan. "Selama ini ..."
"Iya? Ada apa?" tanya Faradina.
"Selama ini ... selama aku menikah ..."
"Mas Lazuardi tak pernah menyentuhku."
Bola mata Faradina melebar. Pupilnya itu membesar. Ia kaget. Bibirnya bahkan mendadak kelu. "Dia... belum pernah menyentuhmu?"
Alma menganggukkan kepalanya. "Dia... sama sekali belum pernah menyentuhku. Bahkan, sebatas memegang tanganku juga tidak pernah."
Faradina menutup bibirnya. Ia tak menyangka kalau sahabat dekatnya mendapatkan masalah yang sedemikian rumit ini. Memang benar, tak ada hal yang sederhana dalam perkara rumah tangga. Akan tetapi..., ini adalah sebuah masalah yang besar.
Bagaimana mungkin, sepasang suami istri bisa hidup dan tinggal bersama, tetapi tidak pernah saling menyentuh satu sama lain? Bukankah pelukan itu adalah sebuah kemesraan? Bukankah kehangatan itu bisa meningkatkan kualitas hubungan pernikahan?
Apa yang sebenarnya terjadi ??
* * *