Keesokan paginya. Bangun tidur, Ellena langsung masuk ke toilet untuk mencuci muka dan menggosok gigi. Kali ini dia sengaja tidak mandi, mengingat pasti banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan di rumah baru itu. Dia turun ke lantai dasar dan berniat untuk melakukan pekerjaan rumah.
Di ujung anak tangga, dia menghentikan langkahnya sejenak dan lantas menengok ke arah kamar Lucas yang pintunya masih tertutup rapat. Sepertinya Lucas memang belum bangun atau mungkin sedang bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Tidak berlangsung lama, Ellena kembali melangkahkan kaki.
Ruangan yang pertama kali dia kunjungi adalah dapur. Awalnya dia berniat untuk memasak menu sarapan untuk pagi ini. Namun, karena tidak ada sedikit pun bahan makanan yang bisa diolah, dia pun memutuskan untuk pergi ke ruangan lain.
"Rumah saja yang besar, tetapi tidak tersedia bahan makanan sedikit pun!" gerutunya sambil berjalan menuju ruang tamu.
Ellena langsung menghirup udara segar, begitu dia berhasil membuka pintu depan. Direntangkan kedua tangan selebar-lebarnya dengan begitu bebas, kemudian dia menarik napas dan membiarkan udara segar itu memasuki rongga hidung lebih dalam. Setelah cukup lama, dia mengembuskan napasnya secara perlahan dan melakukan kegiatan itu berulang kali.
"Ah, udaranya segar sekali." Ellena memejamkan mata, merasakan setiap oksigen yang masuk ke lubang hidung dan menjalar ke seluruh tubuhnya.
Ellena masuk kembali ke dalam rumah, setelah cukup puas berjibaku dengan udara segar di pagi hari. Lagi-lagi perhatiannya teralihkan ke arah kamar Lucas. Namun, masih tetap sama. Dia masih belum menemukan tanda-tanda kehidupan di dalam kamar itu.
'Apa Lucas tidak akan pergi bekerja? Kenapa dia masih belum keluar kamar? Bukankah ini sudah siang?' gumamnya dalam hati.
Ellena memutuskan untuk menghampiri kamar itu. Tangannya terangkat. Niat untuk mengetuk pintu pun sengaja dia urungkan, saat tiba-tiba pintu kamar itu terbuka. Tampak Lucas berdiri di depannya dengan masih memakai piama dan menunjukkan wajah pucat, khas bangun tidur.
"Maaf, kupikir kau belum bangun." Ellena menyeringai malu.
"Baru satu malam saja tidak tidur satu kamar, kau sudah merindukanku seperti itu." Lucas memasang ekspresi datar.
Ellena hanya menanggapi dengan mencebikkan bibir. Menurutnya, Lucas terlalu percaya diri dalam hal itu. Dia kemudian bergeser ke samping, memberikan akses jalan untuk Lucas.
Ruang tengah tempat menonton televisi menjadi tujuan Lucas. Dia mendaratkan tubuhnya di atas sofa putih yang didesain apik di ruangan itu, berhadapan dengan televisi berukuran 42 inch yang berjarak sekitar dua meter.
"Apa kau tidak akan pergi bekerja?" tanya Ellena yang sudah berdiri di samping sofa tempat duduk Lucas.
"Memangnya apa urusanmu?" Lucas membalas dengan nada ketus dan bahkan tanpa menoleh sedikit pun.
Bukanlah hal asing bagi Lucas bersikap dingin dan ketus seperti itu. Ya, memang seperti itulah sikap dia sesungguhnya, terlebih lagi kepada wanita. Akan tetapi, Ellena masih merasa tidak nyaman diperlakukan demikian, karena tentu dia akan makin merasa kaku jika berhadapan dengan Lucas, meskipun sudah menjadi suaminya.
"Maaf, aku hanya bertanya. Permisi."
Ellena beranjak dari tempat itu, karena tidak ingin berlama-lama melihat ekspresi tidak menyenangkan yang ditunjukan oleh Lucas. Percuma juga mengajak Lucas berbicara, jika hanya dijawab seperlunya.
"Tunggu!"
Gerak kaki Ellena terhenti, saat suara Lucas menggema di ruangan itu. Dia membalikkan badan, menatap Lucas sambil menautkan kedua alisnya seolah-olah merasa heran.
'Tadi bersikap cuek, giliran aku pergi justru malah memanggil. Apa yang sebenarnya dia inginkan?' gerutu Ellena dalam hati.
"Hari ini akan ada pelayan yang datang, namanya Joana," ujar Lucas memberi tahu sambil memijat dahinya perlahan. Entah karena pusing atau memang masih mengantuk.
"Bukankah sudah kukatakan, tidak perlu ada pelayan di rumah ini. Aku bisa melakukan pekerjaan rumah sendiri." Ellena lagi-lagi menolak. "Lagi pula, aku juga tidak memiliki kegiatan lain. Jadi, kurasa mengerjakan pekerjaan rumah akan bagus untuk mengisi waktu luangku selama menjadi istrimu," jelasnya kemudian.
"Aku tidak suka dibantah!" tegas Lucas dengan nada marah.
Mendengar emosi sang suami yang memecah di ruangan itu, membuat dia tidak bisa berbuat banyak selain hanya patuh. Dia langsung menunduk, tidak lagi berani menatap Lucas yang sedang menatapnya sinis. Dia rasa ada sesuatu yang sedang mengganggu pikiran Lucas saat ini, sehingga pria itu tiba-tiba berubah menjadi sangar kembali.
"Baik, aku permisi," pamit Ellena langsung membalikkan badan, berniat untuk segera menghindar.
"Apa aku menyuruhmu untuk pergi?" Lagi-lagi Lucas membuat Ellena mengurungkan niatnya.
Ellena mendengkus kesal. Sungguh sikap Lucas membuat dia bingung. Saat diajak berbicara, pria itu malah bersikap dingin dan marah-marah. Dia berusaha menghindar pun, Lucas justru menahannya. Dia menjadi serba salah menghadapi suaminya itu.
Dengan sangat terpaksa, Ellena kembali menghadap Lucas yang terlihat masih sedang memijat dahi.
"Aku akan membersihkan rumah ini," lirih Ellena memberi tahu.
"Lalu, untuk apa aku memperkerjakan pelayan, kalau kau sendiri yang harus membersihkan rumah?" Lucas menurunkan tangannya dari dahi, lalu menatap Ellena dengan begitu sinis.
Hal itu tentu membuat Ellena bingung harus menjawab apa.
"Apa yang bisa kubantu?" tanya Ellena dengan nada lirih.
"Ssshh ...." Lucas berdesis seraya memijat kuat dahinya seolah-olah sedang merasakan nyeri di bagian kepala.
"Kau kenapa?" Ellena terkejut dan buru-buru mendekati Lucas, meski sedikit rasa ragu. Dia kemudian berlutut di depan Lucas.
"Kau sakit?" Ellena menatap penuh tanya sambil berusaha menurunkan tangan Lucas.
Lucas tertegun menatap Ellena yang juga melakukan hal serupa sambil masih memegang tangannya. Tatapan mereka terkunci beberapa saat. Bahkan sepasang manik cokelat itu berhasil membuat rasa sakit di kepalanya seolah-olah menghilang begitu saja.
"Tolong katakan, apa yang harus kulakukan?" pinta Ellena yang sontak membuat Lucas tersadar.
Bukan menjawab, Lucas justru kembali berdesis dan menarik tangannya, memijat kembali bagian dahi yang masih terasa pusing dan sakit.
"Kau kenapa?" Ellena makin dibuat terkejut dengan rintihan Lucas kali ini. Sungguh dia bingung harus berbuat apa.
"Kau istirahatlah dulu," ucapnya seraya membantu Lucas berbaring di atas sofa. Hal yang sangat terpaksa dia lakukan. Jika bukan karena rasa iba, dia pun tidak ingin melakukan itu.
"Apa kau punya obat yang bisa meringankan rasa sakitmu?" tanyanya yang hanya dijawab dengan gelengan kepala.
Ellena makin bingung apa yang harus dia lakukan di rumah yang bahkan air minum pun tidak ada. "Katakan aku harus berbuat apa? Apa kau ingin kuantar ke rumah sakit?" tanyanya memastikan.
"Tidak perlu. Aku hanya butuh waktu untuk beristirahat."
Lucas memejamkan mata, berusaha meringankan rasa sakit di kepalanya. Entah apa yang sedang terjadi dengannya hingga kepalanya terasa begitu sakit dan berat.
Ellena menatap Lucas dengan penuh iba. Dia tidak menyangka, Lucas yang selama ini selalu terlihat kuat, ternyata bisa lemah juga.
"Baiklah, kau istirahat saja. Aku akan ke dapur untuk memasak air." Ellena bangkit, lalu segera beranjak dari tempat itu menuju dapur.