"Apa kau mematikan ponselmu?" Lucas langsung melayangkan pertanyaan kepada Ellena, saat dia baru saja tiba di rumah.
Hal itu karena tadi pagi dia berusaha menghubungi nomor kontak Ellena berulang kali, tetapi tidak ada satu pun yang terhubung. Tentu dia menjadi bingung, alasan Ellena tidak mengaktifkan ponselnya. Bahkan, hingga tadi sebelum dia pulang dari kantor.
"Apa ada hal penting? Kenapa kau tidak menghubungi telepon rumah saja?" Ellena bertanya balik, tanpa memberi alasan yang jelas atas sikapnya yang memilih untuk mematikan ponsel.
"Itu tidak penting bagiku!" tukas Lucas. "Hanya saja, tadi temanmu menanyakan soal nomor kontak barumu," imbuhnya kemudian.
"Filia?" Ellena memastikan.
"Ya, sepertinya ada hal penting yang ingin dia sampaikan." Lucas memasang ekspresi datar.
Ya, benar. Tadi pagi, Filia memang tampak berusaha menghampiri Lucas dan bertanya tentang Ellena, meskipun dia merasa ragu dan takut untuk berhadapan dengan pria itu. Sepertinya memang ada hal penting yang ingin dia sampaikan kepada sahabatnya itu. Jika tidak, mana mungkin dia berani menghadap Lucas.
Dari sanalah, Lucas menjadi penasaran dan ingin membuktikan bahwa nomor ponsel Ellena benar-benar tidak aktif, seperti yang dikatakan Filia saat tiba-tiba meminta nomor kontak baru Ellena kepadanya.
Ellena terdiam beberapa saat. Tampaknya dia bingung harus menjawab apa. Namun, seketika dia kembali membuka mulut dan berkata, "Nanti aku akan hubungi dia, terima kasih kau sudah memberi tahuku."
Terlihat raut gugup di wajah Ellena. Dia tidak mungkin mengatakan kepada Lucas, bahwa alasan dia mematikan ponsel karena ingin menghindari Keenan. Selain itu tidak akan menjadi urusan penting bagi Lucas, dia juga tidak ingin jika Lucas mengetahui hal tersebut. Cukup dia dan Filia yang mengetahui tentang itu.
"Berikan tas itu padaku, aku akan menyimpannya di ruang kerjamu." Ellena mengulurkan tangannya meminta tas Lucas. Sepertinya dia sengaja mengalihkan pembicaraan.
Alih-alih memberikan tas itu, Lucas justru memberikan paper bag berwarna hitam yang dijinjing di tangan kanannya.
"Apa ini?" Ellena tertegun sejenak menatap Lucas penuh tanya. Dia masih belum ingin meraih paper bag itu.
"Kau bisa pakai ini untuk menghubungi temanmu." Jawaban Lucas sontak membuat dahi Ellena mengernyit heran.
"Ambil!" pinta Lucas kemudian, saat Ellena hanya bergeming.
Dengan perasaan ragu, Ellena meraih paper bag itu. Dia kemudian membuka dan merogoh benda itu. Dikeluarkannya kotak persegi panjang bergambarkan sebuah ponsel cerdas keluaran terbaru, berbeda jauh dengan ponsel yang dia miliki sekarang.
"Kenapa kau membelikanku ponsel baru? Ponselku masih berfungsi dengan baik. Seharusnya kau tidak perlu membuang-buang uang seperti ini?" Bukan tawa ataupun senyum bahagia yang terpancar dari wajah Ellena, melainkan serangkaian protes yang justru dia lontarkan.
"Tidak bisakah kau bersikap sopan?" sergah Lucas yang tiba-tiba menatap tajam wajah Ellena. Tentu dia merasa kecewa karena Ellena justru tidak menerima dengan baik pemberiannya.
"Apa kau tidak pernah diajarkan, bagaimana caranya berterima kasih?" geram Lucas.
Ellena tertunduk. Lagi-lagi dia dibuat menciut oleh tatapan Lucas yang begitu menusuk. "Bu-bukan seperti itu maksudku. Aku tidak memintamu untuk membelikan ponsel baru. Seharusnya kau membicarakan hal ini terlebih dahulu denganku," jelasnya kemudian.
"Berapa pun uang yang kuhabiskan untuk ponsel itu, itu sama sekali bukan urusanmu!" Lucas makin mempertegas ucapannya.
Tidak lantas begitu saja dia ingin membelikan Ellena ponsel baru. Dia memiliki alasan untuk melakukan hal itu, karena merasa yakin bahwa Ellena mematikan ponsel itu bukan tanpa alasan. Hingga pada akhirnya, dia memutuskan untuk membeli ponsel sekaligus kartu sim baru untuk Ellena.
"Sudah terdapat kartu sim baru di sana, kau bisa menggunakannya," ucap Lucas seraya menyodorkan tas kerjanya kepada Ellena. "Tolong kau simpan tasku di ruang kerja."
"Baik. Terima kasih untuk ponselnya," jawab Ellena lirih.
Ellena merasa tidak enak hati, karena Lucas sudah mengeluarkan uang terlalu banyak untuknya dan juga keluarganya. Dan kali ini, Lucas harus mengeluarkan lagi uang untuknya demi sebuah ponsel. Dia tahu betul berapa harga ponsel itu. Mungkin tidak akan sebanding dengan dua bulan gajinya, sewaktu dia masih bekerja di perusahaan Lucas. Sebab, gaji kerjanya jauh lebih rendah dibandingkan harga ponsel tersebut. Padahal, yang dia butuhkan hanya kartu sim baru saja, bukan ponsel baru.
***
Selama beberapa hari tinggal di rumah barunya bersama Lucas, Ellena merasa bosan. Karena kehadiran Joana di rumah itu, dia menjadi tidak mempunyai kegiatan apa pun selain makan, tidur dan menonton acara televisi. Hanya sesekali dia memasak di dapur. Itu pun hanya menghabiskan waktu satu sampai tiga jam saja. Selebihnya, dia gunakan waktunya untuk berleha-leha dan itu sangat membosankan.
"Ah, ini membosankan sekali. Aku tidak bisa jika seperti ini terus-menerus." Ellena bangkit dari tempat tidurnya. Dia tampak mondar mandir tidak jelas di dalam kamar. Tentunya karena sedang memikirkan cara agar dia memiliki kegiatan lain, selain hanya tidur dan makan.
"Badanku pegal-pegal semua, jika hanya berdiam diri di rumah," keluhnya seraya memegang dahi. Sementara, kakinya masih belum berhenti bergerak ke sana kemari.
"Lucas, kenapa dia belum pulang? Bukankah biasanya jam segini dia sudah pulang?" Ellena menghentikan langkahnya. Dia mendongak menatap jam dinding yang menggantung di dinding kamarnya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 16.30 WIB. Sudah cukup sore. Seharusnya, Lucas memang sudah pulang. Namun, entah kali ini. Sepertinya, pria itu sedang banyak pekerjaan di kantor, sehingga pulang telat. Atau mungkin karena Lucas sedang ada meeting di luar?
"Mungkinkah Lucas akan memberiku ijin, jika aku meminta untuk tetap bekerja di perusahaannya?" ucapnya seraya berpikir. "Tidak ada salahnya jika dicoba, mungkin dia akan memahami maksudku. Lagi pula, aku juga harus mempertimbangkan nasib hidupku setelah bercerai dengan dia. Aku yakin dia tidak mungkin mengijinkanku bekerja di perusahaannya, setelah kita bercerai nanti. Dan keluargaku jadi korbannya, huft!" Ellena merutuki nasibnya sendiri. Seketika dia mengembuskan napasnya dengan berat.
"Atau aku telepon saja dia?" Ellena berpikir sejenak, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk menelepon Lucas.
Diraihnya ponsel yang berada di atas meja. Ponsel pemberian Lucas yang hanya terdapat tiga nomor kontak di dalamnya, yaitu nomor Lucas, ibunya, dan Filia.
Ellena baru saja akan melakukan panggilan kepada Lucas. Namun, tiba-tiba sebuah panggilan masuk dari nomor baru tertera di layar ponselnya. Dia terdiam, menatap layar ponsel itu. Tentu saja dia merasa bingung. 'Nomor telepon siapa itu?' pikirnya. Padahal, kartu sim yang dia gunakan masih sangat baru, dan baru saja aktif dua hari ini. Namun, kenapa ada orang lain yang mengetahui nomor itu, selain ketiga kontak yang tersimpan di ponselnya.
Dengan sedikit ragu, Ellena menggeser ikon berwarna hijau pada layar ponselnya. Secepat kilat dia mengalihkan layar ponsel itu ke telinga.
"Hallo," sapa Ellena kepada seseorang di seberang sana.