"Kau tahu, Elle? Kau itu seperti seekor burung yang mengemis minta di tangkap!" Lucas mencemooh, kemudian bergegas menuju kamarnya.
"Maksudmu apa, Lucas?" tanya Ellena sambil menatap punggung Lucas yang makin menjauh darinya.
"Sudahlah, Elle! Aku paham apa maksudmu." Lucas melambaikan tangan, tanpa menoleh ke belakang dan menghentikan langkahnya. Sebelum akhirnya dia masuk ke dalam kamar dan menutup pintu kamar itu dengan rapat.
Sementara itu, Elle masih berdiri di tempat yang sama sambil menatap pintu kamar Lucas. "Apa kau betul-betul paham dengan maksudku?" lirihnya.
Cukup lama dia dalam posisi seperti itu. Tatapannya lurus ke depan, tepat ke arah pintu kamar berwarna putih. Namun, pintu itu bukanlah menjadi objek pemandangannya, karena kali ini tatapannya kosong. Tampaknya, dia sungguh memikirkan nasibnya di hari esok.
"Semoga apa yang dia katakan itu benar. Aku harap dia betul-betul memahami maksudku." Ellena bergegas dari ruangan itu menuju ruang kerja Lucas yang berada tak jauh darinya.
Satu jam berlalu. Ellena sudah tidak lagi memikirkan tentang rencana sang mami mertua yang akan menginap di rumahnya. Namun, dia kembali memikirkan nasibnya. Tentu itu sangat mengganggu. Dia hanya ingin bekerja dan mempunyai penghasilan, meskipun saat ini berstatus sebagai istri Lucas. Dia jelas mengkhawatirkan kelanjutan hidupnya dan juga keluarganya. Jadi, sebisa mungkin dia harus mencari cara agar bisa menabung dan tetap memiliki uang, setelah bercerai dari Lucas. Setidaknya, uang itu bisa dia gunakan untuk membuka usaha kecil-kecilan untuk menopang hidupnya nanti.
Dengan perlahan dan penuh keraguan, Ellena melangkahkan kaki menuju kamar Lucas. Diketuknya pintu kamar itu, tetapi tidak ada sahutan dari sang empunya. Ellena pun mengulangi ketukan itu. Namun, lagi-lagi Lucas tidak menjawab.
"Ke mana dia? Apa mungkin dia sudah tidur?" ucap Ellena heran. "Bahkan dia belum makan malam," imbuhnya kemudian.
Tidak ingin menyerah, Ellena kembali mengetuk pintu itu hingga dia menyadari gerakan memutar pada kenop pintu itu. Ellena tersenyum senang, saat pintu itu terbuka. Namun, seketika senyuman itu lenyap, ketika Lucas membentaknya.
"Kau berisik sekali! Tidak bisakah kau memberiku ketenangan sebentar saja?" Lucas membulatkan mata, menatap Ellena dengan begitu tajam. Tampaknya dia betul-betul merasa terganggu karena ulah Ellena kali ini.
"Ma-maaf," lirih Ellena seraya menurunkan tatapannya. Dia tidak berani menatap Lucas. Ekspresi menyeramkan pria itu membuat dia merasa sangat takut.
"A-aku hanya ingin mengajakmu untuk makan malam." Ellena merutuki dirinya dalam hati. Bagaimana bisa kalimat itu yang keluar dari mulutnya, sementara tujuan dia menemui Lucas bukan untuk hal itu, melainkan untuk hal lain yang beberapa hari ini mengganggu pikirannya.
"Aku tidak lapar. Kau makan saja sendiri!" tegas Lucas seraya akan menutup pintu kamarnya kembali.
"Tu-tunggu!" Dengan sigap Ellena menghentikan niat Lucas. "Ada hal penting yang ingin aku bicarakan." Ellena berusaha mengungkapkan keinginannya, setelah Lucas mengurungkan niat untuk menutup pintu.
Lucas tidak langsung menanggapi. Dia masih menatap Ellena dengan kesal. 'Wanita ini selalu saja menggangguku!' gerutunya dalam hati.
"Apa kau punya waktu?" tanya Ellena memastikan.
"Apa yang ingin kau bicarakan padaku, ha?" Lucas bertanya dengan nada masih sangat kesal.
"Apa kita bisa bicara di sana?" Ellena menunjuk ke arah sofa yang berada di ruang keluarga.
"Tidak!" Lucas menolak dengan tegas.
"Baiklah, aku akan bicara di sini." Ellena menyerah. Lagi-lagi dia yang harus mengalah.
"Aku ingin kembali bekerja. Apa kau bersedia membantuku?" Dengan ragu Ellena mengungkapkan keinginannya. Kali ini dia memberanikan diri menatap wajah Lucas. Namun, tatapannya begitu sayu dan penuh harapan.
'Jadi ini alasan dia yang tiba-tiba berubah?' gumam Lucas seraya mengamayi ekspresi Ellena. 'Pantas saja sok perhatian, ternyata ada maunya,' imbuhnya kemudian.
"Tidak!" jawab Lucas singkat dan tegas, tanpa ada kata apa pun yang mengikuti perkataannya.
"Tolong, Lucas. Aku sangat membutuhkan pekerjaan itu!" Ellena mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada.
Lucas menautkan kedua alisnya. Dia makin merasa heran dengan sikap Ellena kali ini.
"Tidak!" Dengan tegas Lucas menolak permintaan Ellena, tanpa peduli dengan wanita yang saat ini tengah mengemis kepadanya.
"Pak, aku tahu, kau sebenarnya orang baik. Kau tidak mungkin, bukan, membiarkan orang miskin sepertiku menderita?" Ellena memasang ekspresi memelas. "Bagaimana nasibku setelah bercerai denganmu nanti, jika aku tidak memiliki pekerjaan dan uang?" jelasnya kemudian.
Lucas melengos sejenak, lalu kembali menatap Ellena dengan begitu dalam dan tajam.
"Kau sudah melanggar perintahku, jadi jawabannya tetap TIDAK!" Lucas menjawab dengan penuh penekanan, kemudian dia menutup pintu kamarnya dengan sangat kuat, sehingga menciptakan bunyi yang begitu menggema di rumah itu.
Ellena mengerjap kaget. Hentakan pintu itu telah berhasil menghantarkan getaran yang begitu hebat menuju jantungnya. Dengan refleks dia mengelus dadanya secara perlahan.
"Perintah apa yang sudah kulanggar, sehingga dia bersikap seperti itu?" lirih Ellena sambil berusaha mengingat kesalahannya.
"Astaga ... aku salah karena memanggilnya dengan sebutan itu." Ellena menepuk jidat sambil merutuki dirinya sendiri. Dia menyesal karena sudah melupakan bahwa Lucas tidak menyukai jika dirinya memanggil seperti itu.
Ellena makin bingung, apa yang akan dia lakukan ke depannya.
'Apa aku coba mencari pekerjaan di tempat lain saja, ya? Tanpa sepengetahuan dia,' gumam Ellena.
Segera dia menampik pikiran konyol itu. Keadaan akan semakin buruk jika Lucas mengetahui dia berhohong. Kemungkinan terburuk adalah Ellena tidak akan bisa bekerja di perusahaan mana pun, setelah dia bercerai dari Lucas. Karena dia tahu sebesar apa kekuasaan lelaki itu dan bisa di pastikan nasib Ellena dan Keluarganya akan semakin buruk.
*****
Hari ini Ellena memutuskan untuk menghabiskan waktu paginya dengan bergelut di dapur. Dia sibuk memasak menu makan siang dan beberapa kue, sebagai camilan yang sudah dia dapatkan resepnya dari hasil menonton tutorial di internet. Dia sengaja melakukan itu untuk mengalihkan kekesalannya terhadap Lucas.
Semua makanan hasil karya tangannya sudah tertata rapi di atas meja makan. Ellena kemudian bergegas membersihkan diri.
Waktu 15 menit sudah cukup bagi Ellena untuk menghabiskan waktunya di kamar mandi. Ellena membaringkan tubuh di atas kasur. Belum sampai lima menit, terdengar ketukan dari pintu kamarnya. Wanita itu mengembuskan napas berat.
"Non, maaf mengganggu, di ruang tamu ada Nyonya besar," ucap Joana setelah Ellena membukakan pintu.
Ucapan pelayan itu berhasil membuat jantung Ellena hampir lompat dari tempatnya. Meskipun Ellena tahu, jika Mami mertuanya akan berkunjung. Namun, dia tidak menyangka jika wanita paruh baya itu akan datang lebih cepat.
'Aduh, bagaimana ini? Bagaimana jika nanti Mami tanya-tanya tentang hubunganku dengan anaknya yang menyebalkan itu? Aku bingung harus menjawab apa. Salah menjawab sedikit saja, aku bisa dipenggal hidup-hidup oleh Lucas.' Begitu pikirnya.
"Nona, apa kau baik-baik saja? Apa perlu saya meminta Nyonya Besar untuk datang kemari?" Pertanyaan dari pelayan itu membuat Ellena tersadar dari lamunannya.
"Oh, tidak perlu. Biar saya saja yang akan menemui Mami langsung," jawab Ellena, "terima kasih, ya," sambungnya lagi.
Ellena segera menemui Mami mertuanya yang sudah menunggu di ruang tamu. Sepanjang menuruni anak tangga, jantung Ellena terus terpacu. Dia berharap akan ada keajaiban Lucas pulang cepat hari ini.
"Mami."