Satu jam yang lalu, seorang pelayan bernama Joana tiba di kediaman Lucas dengan membawa beberapa kantong belanjaan. Wanita berusia tiga puluh tahun itu tampak membeli beberapa perlengkapan rumah, terutama perlengkapan dapur.
Ternyata Lucas memang sengaja meminta Joana untuk pergi ke pasar terlebih dahulu, sebelum diminta untuk datang ke rumahnya.
Melihat begitu banyak barang belanjaan yang dibawa oleh Joana, Ellena langsung antusias untuk memeriksa bahan makanan mentah yang tersedia. Tanpa menunggu komando, dia langsung berniat untuk mengolah beberapa bahan mentah itu untuk menu sarapan.
Kini Ellena sedang sibuk berkutat di dapur, memasak beberapa menu makanan. Berulang kali Joana ingin mengambil alih tugas memasak itu, tetapi Ellena tetap memaksa. Terlebih lagi Lucas sedang sakit dan membutuhkan makanan segera.
Meskipun saat ini dia hanya sebagai istri kontrak, tetap saja menjaga sang suami adalah tugasnya. Jadi, sudah sewajarnya dia memperhatikan kondisi kesehatan Lucas. Walau bagaimana pun, Lucas sudah membantu keluarganya. Dia rasa ini waktu yang tepat untuk membalas budi.
Sementara itu, Joana melakukan pekerjaan lain. Bahkan Ellena tidak memintanya untuk membantu memasak. Sepertinya, Ellena memang sudah mahir dalam hal itu.
Satu jam telah Ellena habiskan untuk kegiatan barunya itu. Dia segera menyajikan semangkuk sup ayam dan sepiring nasi di atas nampan. Tak lupa segelas air putih juga. Dia kemudian membawa nampan itu ke ruang tengah, tempat Lucas berada.
"Pak, apa kepalamu masih sakit?" Suara lirih Ellena berhasil membuat Lucas memicingkan mata, meskipun terlihat sedikit berat karena rasa sakit di kepalanya yang belum mereda.
Lucas mendengkus kesal, sebelum akhirnya dia menanggapi Ellena.
"Harus berapa kali kukatakan, jangan memanggilku seperti itu!" Suara Lucas terdengar sedikit parau. Dia kemudian meletakkan lengannya di atas dahi dan memejamkan kembali matanya.
Sejujurnya, Ellena masih merasa canggung, jika harus memanggil Lucas dengan sebutan nama. Walau bagaimana pun Lucas pernah menjadi atasannya. Tentu tidak mudah baginya untuk beradaptasi dengan status baru Lucas dalam kehidupannya sekarang.
Lucas membuka mata kembali, menatap langit-langit ruangan itu. Sementara lengannya masih tertumpu di atas dahi.
"Di depan orang lain aku tetap suamimu, meskipun kau tidak pernah menganggap itu. Tetap saja mereka akan bertanya-tanya, jika mendengar kau memanggilku seperti itu." Ucapan Lucas sangat datar dan tenang. Dia seolah-olah tengah menasihati istrinya dengan sungguh-sungguh.
Lucas sendiri bingung kenapa dia tidak suka mendengar Ellena memanggilnya seperti itu. Mereka memang asing, tetapi Lucas seolah tidak ingin bahwa mereka terlihat asing di depan orang lain. Harusnya dia tidak perlu mempedulikan hal itu. Bukankah Ellena hanya istri kontrak baginya? Namun, dalam hal ini, dia seolah memperlakukan Ellena seperti istri sungguhan.
"Maaf," ucap Ellena lirih, kemudian dia mengambil piring nasi dari atas nampan yang sebelumnya dia letakkan di atas meja.
"Sebaiknya kau sarapan dulu." Ellena menyodorkan piring nasi itu kepada Lucas. Namun, Lucas hanya menoleh sejenak, sebelum akhirnya dia kembali menatap langit-langit rumahnya.
"Bisa kau tolong ambilkan ponselku di kamar?" Lucas melirik ke arah Ellena.
"Baik." Ellena menaruh piring itu ke tempat semula, kemudian dia bangkit dari tempat duduknya.
Ellena berjalan menuju kamar Lucas yang hanya berjarak sekitar tiga meter dari ruangan itu. Setelah beberapa saat, dia telah kembali dengan membawa ponsel milik Lucas. Diberikannya ponsel itu kepada sang empunya.
Lucas mengalihkan tangan yang tertumpu di atas dahi, kemudian segera meraih ponsel itu. Tak ada senyuman atau bahkan ucapan terima kasih yang terlontar dari mulutnya. Dia mengusap layar ponsel dengan perlahan, sekadar untuk memeriksa mungkin ada telepon atau pesan penting yang belum sempat dia buka.
"Sebaiknya kau sarapan dulu, agar rasa sakitmu segera membaik." Suara Ellena mengalihkan perhatian Lucas.
Bagaimana pun Lucas sangat menyebalkan, tetap saja membuat Ellena merasa tidak tega melihat kondisinya yang sedang sakit.
"Simpan saja di meja, nanti akan kumakan!" pinta Lucas.
"Tidak! Kau harus makan sekarang!" tegas Ellena memaksa.
"Kau bisa makan sambil bermain handphone," ucap Ellena seraya menyodorkan sesendok nasi ke mulut Lucas.
Hal itu berhasil membuat Lucas tertegun beberapa saat. Dia bahkan telah menghentikan kegiatan memeriksa ponsel yang masih berada di genggamannya. Selain terkejut, dia juga merasa ragu. Haruskah dia menerima suapan nasi dari tangan Ellena? Sungguh dia tidak percaya dengan apa yang saat ini sedang dia saksikan.
'Kenapa dia begitu peduli kepadaku? Bukankah pernikahan ini hanyalah sandiwara? Tetapi kenapa dia memperlakukanku seperti suaminya sendiri. Apa dia memang seperti itu? Selalu peduli terhadap orang lain? Sekali pun orang itu telah berbuat jahat padanya? Yah, jahat. Aku memang jahat karena sudah melibatkan dia dalam masalahku.' batin Lucas saat itu.
Mereka memang menikah sah secara hukum dan agama. Namun, apa pun yang mereka jalani setelahnya, itu hanyalah sandiwara.
'Akh, apa yang sedang kupikirkan?' gumam Lucas kemudian, mencoba menepis semua pikiran di kepalanya.
"Ayo, makan!" Lucas terlonjak sesaat ketika Ellena membuyarkan lamunannya.
Dengan refleks Lucas membuka mulutnya, ketika menyadari sendok makan itu sudah sangat dekat dengan bibirnya. Namun, tatapannya fokus ke wajah Ellena. Bahkan, saking fokusnya dia sampai lupa untuk benar-benar menikmati makanan yang sudah masuk ke dalam mulutnya itu. Entah lezat atau tidak. Sungguh itu tidak terlalu penting baginya.
Sekilas Lucas melihat bayangan Selena di wajah Ellena. Dia menatap lekat wajah itu, kemudian tersenyum senang karena wanita yang sangat dia cintai, kini ada di depan matanya.
Semua potret kebahagiaan bersama Selena kembali mengganggu pikirannya. Betapa dia sangat merindukan sosok Selena yang dulu, yang selalu peduli dan menyayanginya sepenuh hati.
Setelah beberapa saat, senyuman Lucas tiba-tiba menciut kembali, ketika dia menyadari akan kenyataan pahit yang tengah dihadapi. Kenyataan tentang Selena yang bukan lagi kekasihnya. Dia geram saat tersadar bahwa Ellena yang kini tengah menemani dan bahkan menjadi istrinya.
Ingin rasanya dia memprotes Tuhan. Kenapa bukan Selena yang berjodoh dengannya? Kenapa Selena tidak memiliki karakter yang jauh lebih baik dari apa yang dia ketahui selama ini? Justru semuanya berbading terbalik. Selena jahat, pengkhianat dan tidak memiliki perasaan. Bagaimana mungkin dia masih mencintai wanita yang jelas-jelas sudah melukai hatinya?
Tak henti Lucas merutuki nasibnya. Bukan kali ini saja. Namun, sudah dari sebelum-sebelumnya pikiran dia berkutat pada masalah yang sama. Bahkan, semalam pun dia tidak bisa tidur dengan lelap, karena memikirkan hal serupa. Hingga pada akhirnya, tiba-tiba dia mengalami sakit kepala seperti itu. Mungkin karena masalah itu terlalu membebaninya, sehingga dia menjadi sedikit stres.
Untuk selanjutnya, Ellena menyuapi Lucas kembali. Dan itu dia lakukan berulang kali secara bertahap. Hening. Tidak ada perbincangan di antara mereka. Ellena terlalu sibuk dengan kegiatannya. Sementara itu, Lucas terlalu sibuk dengan pikirannya.