Beberapa hari setelahnya, Xavier benar-benar diusir oleh Daniel dari apartemennya pagi-pagi sekali. Dan itu sangat membuat Xavier kesal.
Bagaimana tidak?
Saat Xavier baru saja membuka matanya, Daniel sudah melemparkan pakaian-pakaian milik Xavier dan juga sebuah tas kepadanya, lalu meminta Xavier agar segera pergi dari sana sebab 'uang' sewanya sudah habis.
Xavier tidak pernah membayangkan ia akan 'diusir' tepat pada saat dirinya baru saja membuka mata. Bahkan ketika hal itu terjadi, nyawa Xavier belum sepenuhnya terkumpul, alias masih beterbangan di udara.
Huffttt ...
Benar-benar menjengkelkan. Berkat hal itu pula, suasana hati Xavier menjadi buruk. Tapi, mau bagaimana lagi? Apa yang bisa Xavier lakukan?
Ini adalah apartemen milik Daniel. Daniel berhak atas semua hal yang berhubungan dengan apartemen ini.
Hanya saja, cara Daniel lah yang membuang Xavier merasa jengkel setengah mati. Xavier tiba-tiba saja merasa seperti seorang gelandangan yang tidur di depan toko—diusir sesaat setelah sang pemilik toko datang, tidak peduli apakah masih mengantuk atau tidak-.
Dan yeah, pada akhirnya Xavier tetap pergi dari sana setelah mandi.
Sebelum pergi, Xavier diam-diam mengambil beberapa buah dan juga minuman soda kemasan kaleng di dalam lemari pendingin milik Daniel. Anggap saja sebagai menu sarapan paginya hahaha ....
Itu sekitar satu jam lalu. Dan kini, Xavier sedang berada di suatu tempat. Suatu tempat yang tidak pernah Xavier bayangkan sebelumnya.
Tempat itu adalah ...
"Aih, kenapa kamu masih ada di sini?" tanya Daniel heran tatkala dirinya baru saja membuka pintu dan mendapati Xavier berdiri di samping pintu apartemennya.
"Apa maksudmu dengan 'masih ada di sini' huh? Tentu saja aku ada di sini karena aku tinggal di sini!" balas Xavier tak mau kalah.
Kening Daniel seketika mengernyit. Tak mengerti dengan ucapan Xavier barusan.
"Jangan mengada-ngada! Aku tidak mau memberikanmu tumpangan lagi! Pergilah dari sini! Aku tidak ingin menyewakan apartemenku lagi kepadamu," tutur Daniel percaya diri. Ia berpikir kalau kehadiran Xavier di sini adalah untuk memohon kepadanya agar diberikan waktu tinggal sedikit lebih lama di apartemennya.
Xavier yang mendengar hal itu spontan saja terkikik geli. Awalnya kikikan itu hanya kikikan kecil. Tapi, lama kelamaan justru berubah menjadi sebuah tawa besar nun menggelegar.
"Bukankah kamu sudah mengusirku satu jam lalu dari apartemen mu? Jadi, kenapa aku harus memohon kepadamu untuk tinggal di apartemen mu? Hei, Daniel. Jangan terlalu percaya diri. Karena sekarang aku memiliki ... ini," tukas Xavier seraya melambai-lambaikan key-card miliknya di depan wajah Daniel.
Daniel yang melihat hal itu pun seketika terkejut.
"J—jangan ... jangan bilang kalau kam—"
"Tentu saja. Tentu aku tinggal di sini. Atau lebih tepatnya, aku tinggal di unit apartemen bersisian denganmu!"
Semua kalimat yang hendak Daniel keluarkan kini tertahan di dalam tenggorokannya. Pria berusia dua puluh lima tahun itu terpaku atas keterkejutannya.
"Tidak mungkin. Itu tidak mungkin. Bagaimana mungkin kamu bisa tinggal di sini? Kamu tidak memiliki uang sebanyak itu!"
"Kata siapa?" tanya Xavier mencemooh. "Aku memiliki ini!"
Deg ...
Jantung Daniel seketika berhenti berdetak manakala sebuah Amex black card muncul di depan matanya.
Amex black card sendiri merupakan kartu kredit paling eksklusif di Amerika!
Bagaimana ... bagaimana Xavier bisa memiliki kartu itu di tangannya?!
Apakah Xavier sedang bercanda dengannya?!
"Kamu mencurinya?!" tuding Daniel tak berperasaan setelah kewarasannya pulih.
Amex black card adalah kartu kredit yang sangat langka. Hanya orang-orang yang memiliki penghasilan tinggi yang bisa memiliki kartu itu.
Xavier, yang Daniel simpulkan mengalami hilang ingatan, bagaimana mungkin si idiot itu memiliki Amex black card?!
Sulit untuk dipercaya!
Xavier justru menyeringai. Ia sama sekali tidak terlihat seperti tersindir akan ucapan Daniel barusan. Justru Xavier malah merasa senang.
"Mencuri katamu? Ini adalah milikku! Aku tidak mencuri dari siapa pun! Kartu ini adalah kartu milikku!"
Daniel menggelengkan kepalanya tak percaya. "Tidak mungkin. Kamu pasti mencurinya dari suatu tempat!"
Xavier segera memasukkan kartu itu kembali ke dalam saku celananya. Tidak membiarkan Daniel merebut kartu itu darinya.
"Tidak peduli apakah kamu percaya atau tidak, pada kenyataannya aku tinggal di sini. Tepat di sisi unit apartemen mu. Sudahlah. Aku terlalu malas berdebat. Aku akan masuk saja."
Tepat setelah mengatakan hal itu, Xavier pun bergegas masuk, meninggalkan Daniel yang masih mematung di luar sana.
Xavier menghempaskan tubuhnya di sofa terdekat. Ada satu hal sebenernya yang membuat Xavier bingung.
Kartu itu ada di saku celana yang melekat di tubuh Xavier saat dirinya bangun untuk pertama kali di bumi.
Entah bagaimana, kartu itu tidak rusak meski celana Xavier basah. Tapi, bukan itu yang membuat Xavier terheran-heran. Melainkan, nama yang terdaftar di kartu itu sendiri.
Namanya adalah Elio Morgansen.
Elio Morgansen merupakan seorang pria berusia 27 tahun. Dan yang membuat Xavier merasa aneh adalah ... mengapa wajahnya saat ini tampak serupa dengan wajah Elio Morgansen?!
Apakah tubuh yang Xavier pakai bukanlah tubuh buatan baru dari Dewa Tur, melainkan tubuh orang lain bernama Elio Morgansen?!
Apakah memang begitu?!
Lalu kenapa Dewa Tur memberikan tubuh pria bernama Elio itu kepadanya?
Apakah ada alasan tersendiri di balik semua itu?
Jika memang Elio adalah identitas asli dari sang pemilik tubuh ini, maka Xavier tidak bisa memakai identitasnya menggunakan nama 'Xavier' lagi. Bukankah itu berarti kalau Xavier harus membiasakan diri untuk memakai nama Elio?
"Ini benar-benar sangat membingungkan," gumam Xavier kecil.
"Aku tidak pernah menyangka kalau Dewa Tur akan memberikan tubuh seseorang kepadaku. Lalu, jika tubuh ini diisi oleh jiwaku, bagaimana dengan jiwa asli si pemilik tubuh ini?"
Otak Xavier kembali berpikir dengan keras. Semakin dirinya berpikir, semakin kepala Xavier bertambah panas.
Xavier tidak memiliki satu clue pun untuk menjawab semua pertanyaan yang ia miliki.
Jika pun memang benar kalau dirinya di tempatkan di 'tubuh bekas', Xavier mungkin akan mengalami banyak kesulitan di masa depan nanti. Seperti ketika bertemu dengan orang-orang yang dikenal oleh Elio di kehidupan sebelumnya. Sebab, tidak ada satu memori pun milik Elio yang tertinggal. Apa yang ada di dalam otak hanyalah pemikiran Xavier saja dan juga rekam jejak tentang apa-apa saja yang dilakukan Xavier sejak beberapa hari terakhir.
"Elio Morgansen ... pria seperti apa dia?" gumam Xavier lagi.
"Pasti ada alasan tersendiri mengapa Dewa Tur menaruh jiwaku di tubuh ini. Mungkinkah ... mungkinkah itu berarti kalau orang yang harus ku bantu untuk membalaskan dendamnya adalah orang yang Elio kenal di masa lalu?" tanya Xavier kepada dirinya sendiri.
Xavier merenung. Memikirkan perkataannya barusan. "Well ... itu terdengar masuk akal. Bisa saja, 'kan, kalau orang itu merupakan orang yang paling dekat dengan Elio di masa lalu?"
Xavier mendesah. Ia menggelengkan kepalanya untuk membuang kerumitan di dalam sana. "Ah, sudahlah. Aku tidak mau berpikir lebih banyak lagi. Biarkan semuanya mengalir seperti air. Ketika saatnya tiba, pasti aku akan mendapatkan semua jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalam kepalaku," tegas Xavier mengakhiri kerumitannya di pagi hari.