Hari ini Xavier membeli sebuah ponsel, benda yang menurutnya sangat penting sebab Daniel selalu membawa benda berbentuk pipih ini ke mana pun dirinya pergi.
Setelah hari itu, hari di mana dirinya memikirkan siapa identitas si pemilik tubuh ini, Xavier mulai yakin kalau ini adalah tubuh milik orang lain yang sepertinya sudah ditinggalkan oleh sang jiwa asli—mati. Karenanya, Xavier pun mulai berlapang dada untuk menerima 'Elio' sebagai nama pertamanya di dunia ini.
Pun, di masa depan nanti, Xavier pasti tidak akan memakai nama 'Xavier' sebagai nama panggilannya, melainkan Elio. Hal itu akan terjadi setelah Xavier bertemu dengan orang yang kenal dengan Elio di masa lampau.
Entah itu Elio atau Xavier, Xavier sebenarnya tidak terlalu peduli mengenai nama panggilannya nanti. Xavier hanya ingin menikmati masa-masanya menjadi manusia. Tugasnya adalah membantu seseorang untuk membalaskan dendam.
Toh, Xavier juga tidak akan tinggal selama-lamanya di sini. Seperti yang Dewa Tur katakan, kalau Xavier berhasil menyelesaikan misi itu, maka ia akan kembali diangkat ke surga. Jika tidak, maka Xavier akan dilenyapkan dan tidak akan bisa memasuki siklus reinkarnasi.
Tapi sejauh ini Xavier memiliki keyakinan kalau dirinya pasti bisa menuntaskan misinya di dunia. Dan ketika dia kembali ke surga, Xavier akan menceritakan banyak hal kepada Huan mengenai pengalamannya selama menjadi manusia. Eh, apakah itu boleh? Mengingat tidak ada malaikat lain yang tahu kalau Xavier dikirim ke bumi selain Para Dewa tentunya.
Entahlah.
"Bagaimana? Sudah bisa?" tanya Daniel malas.
Sudah sekitar satu jam lamanya Daniel mengajari Xavier cara bermain ponsel. Agak aneh memang. Xavier benar-benar orang yang sangat ketinggalan zaman. Hal ini membuat Daniel bertanya-tanya tentunya, apakah Xavier sebenarnya terlahir di zaman batu?
"Hanya seperti ini saja?" tanya Xavier tak percaya.
Saat ini keduanya sedang berada di sebuah kafe di dekat Long Beach. Terkhusus hari ini, Daniel mendapatkan cuti satu hari. Karenanya Xavier minta diantar Daniel untuk membeli ponsel sekaligus meminta mengajarinya cara memainkan benda canggih itu.
"Kamu mengerti atau tidak?"
"Mengerti, mengerti," balas Xavier cepat.
Daniel pun seketika mengangguk puas. Tak ingin memendam rasa penasarannya lebih jauh lagi, Daniel bertanya, "Hei, Xavier. Siapa kamu sebenarnya? Kamu bisa membayar sewa unit apartemen selama satu bulan dan juga membeli ponsel seperti ini. Kamu memiliki banyak uang, huh?"
"Memangnya apa yang salah dengan hal itu?"
"Ck. Kamu adalah orang paling aneh yang pernah aku temui di dalam hidupku. Tingkah laku mu seperti bukan dari kehidupan abad ini. Kamu tidak tahu ini, dan juga tidak tahu itu. Kamu tidak mengetahui banyak hal. Jangan bilang kalau sebenarnya kamu datang dari dunia lain?"
"A—apa yang sedang kamu katakan?" gagap Xavier seraya mencoba mengelak. "Bagaimana mungkin aku dari dunia lain, huh? Apakah kamu sedang mendongeng?"
Daniel menatap Xavier serius. Namun, tatapan Xavier terfokus pada ponsel di tangannya.
"Tapi serius. Aku tidak berpikir kalau sebenarnya kamu mengalami amnesia. Kalau pun amnesia, kamu tidak akan bertanya berapa lama sembilan puluh hari itu, atau tidak mengenal sama sekali kota New York. Itu sangat tidak masuk akal. Masalahnya, aku memiliki sepupu yang amnesia juga. Tapi, dia tidak separah dirimu sampai melupakan semua hal. Kamu malah lebih pantas terlihat seperti orang idiot. Orang paling idiot yang pernah ada di bumi," ungkap Daniel pedas.
Di sisi lain, Xavier menertawakan dirinya di dalam hati. Sudah tidak terhitung berapa jumlahnya Daniel memanggil dirinya 'idiot', seolah-olah kata itu memang pantas disematkan untuk Xavier.
"Bolehkah aku meminta nomor ponselmu?" pungkas Xavier kemudian, mencoba untuk membanting topik pembicaraan.
Daniel pun merebut ponsel Xavier lalu mengetikkan nomor ponselnya di sana dan menyimpannya. Setelahnya, ia mengembalikan ponsel itu kepada sang empu.
"Nah. Aku sudah menyimpannya."
"Mn. Terima kasih."
"Oy, Xavier."
"Apa?"
"Kamu besok benar-benar akan pergi ke jalan XY sendirian?"
Yeah, Xavier hampir melupakan kalau besok adalah jadwal pelelangan pasar budak digelar.
"Tentu. Memangnya kenapa? Apakah ada yang salah?"
"Tidak ada. Hanya saja ... aku banyak sekali mendengar berita miring mengenai daerah itu. Jika tujuanmu datang ke sana untuk bersenang-senang, aku tidak merekomendasikannya. 'Dunia hitam' di sana sangat kental. Kejahatan tersebar di mana-mana. Jadi ... yeah. Kamu bisa saja mengalami hal buruk jika kamu tidak bisa menjaga dirimu sendiri dengan baik. Sampai sini, kamu pasti mengerti maksudku, 'kan?"
Xavier sejenak terdiam. Jika apa yang dikatakan oleh Daniel benar adanya, maka tidak heran mengapa pasar pelelangan budak dipindahkan ke sana setelah tempat lama diratakan oleh tanah. Xavier juga bisa menyimpulkan kalau jalan itu merupakan zona merah.
"Apakah begitu?" tanya Xavier kemudian.
Daniel yang duduk di depannya mengangguk. Ia menyeruput kopi miliknya lalu menjawab, "Mn. Beberapa minggu lalu juga ada berita buruk yang datang dari tempat itu. Apakah kamu ingin mengetahuinya?"
"Tentu. Katakan saja."
"Ada tragedi pembantaian empat mahasiswa di gang kecil. Sampai saat ini pelakunya belum diketahui. Motif pembantaian itu pun masih abu-abu, karena empat korban itu dikenal sebagai orang yang berkepribadian baik. Sangat mustahil bagi mereka untuk memiliki musuh. Jadi, setelah tidak mendapatkan titik terang apa pun, polisi langsung menutup kasusnya begitu saja. Mereka seolah-olah angkat tangan dan tidak benar-benar peduli atas apa yang terjadi."
Xavier yang mendengar hal itu spontan saja terkejut. Tiba-tiba saja dadanya berdegup dengan kencang.
Keadilan ... di mana letak keadilan?
Saat Xavier di surga dulu, Dewa selalu memberikan keadilan kepada semua Malaikat. Dan kini, manusia bahkan tidak bisa memberikan keadilan bagi manusia lainnya?
Bagaimana mungkin kasus menyeramkan seperti itu bisa ditutup begitu saja tanpa diusut hingga tuntas?
Bulu kuduk Xavier tiba-tiba saja meremang. Ia mulai membandingkan ini dan itu—kehidupan di surga dengan di bumi.
"Karena hal itu pula aku memberitahumu mengenai hal ini sejak awal, barangkali kamu bisa mempertimbangkan agar membatalkan rencana mu untuk pergi ke sana. Daerah itu sangat menyeramkan. Kriminalitas tidak bisa ditampung lagi. Kamu bisa membayangkan sendiri bagaimana kacaunya daerah itu. Aku berkata seperti ini bukan karena aku mengkhawatirkan mu, melainkan aku hanya merasa kasian jika sesuatu yang buruk terjadi kepada orang idiot seperti dirimu."
Xavier hampir tersentuh oleh ucapan Daniel sebelum dihempaskan dengan keras begitu saja. Lagi. Terselip kata idiot di sana.
"Mendengar apa yang kamu katakan barusan, itu membuatku sangat penasaran dan bertambah ingin datang ke daerah itu. Mungkin ... ada hal menarik yang bisa aku lihat di sana?" pungkas Xavier kemudian. Bersamaan dengan hal itu, Xavier menaruh ponselnya di atas meja, tidak tertarik lagi dengan benda berbentuk pipih canggih itu.
Daniel berdecak tak habis pikir. Dia pun memutar bola matanya malas. "Seharusnya memang sedari awal aku tidak mengatakan apa-apa kepadamu. Memberitahumu ini dan itu nyatanya tidak memberikan efek apa-apa. Membuang-buang tenagaku saja!"
Xavier terkekeh kecil. "Tapi, terima kasih banyak untuk informasinya. Besok, aku akan lebih berhati-hati ketika sampai di daerah itu. Informasi yang kamu berikan sangat bermanfaat untukku."
"Terserah dirimu saja. Aku tidak peduli."
Xavier tersenyum simpul. Ia benar-benar tidak sabar untuk datang ke sana besok. Hal seperti apa yang akan Xavier jumpai di sana nanti?
Apakah hal buruk?
Atau malah hal baik?
Mn ... Xavier tidak tahu.