Entah sudah berapa lama Xavier menunggu perempuan itu untuk bangun. Nyatanya, sampai waktu menunjukkan pukul satu dini hari, perempuan itu tidak juga kunjung membuka matanya.
Di unit apartemen Xavier sendiri hanya memiliki satu kamar saja. Jadi, setelah membaringkan perempuan itu di atas kasur kecilnya yang hanya muat untuk satu orang saja, hal yang kemudian bisa Xavier lakukan untuk meredakan pegal-pegal di tubuhnya adalah dengan berbaring di atas sofa yang memiliki ukuran panjang sekitar dua meter.
Xavier sama sekali tidak bisa tertidur. Bukan tidak ingin, melainkan Xavier hanya mau memastikan karena Jinny mengatakan kepadanya bahwasanya perempuan yang tidak diketahui siapa namanya itu kemungkinan besar akan terbangun saat dini hari. Ternyata, perempuan itu dalam pengaruh dosis obat tidur.
Tidak mengherankan mengapa perempuan itu tidak membuka matanya meskipun tubuhnya di gotong ke sana dan ke sini.
Xavier menguap kecil. Tubuhnya terasa begitu lelah setelah beraktivitas begitu banyak hari ini.
Tak hanya ingin diam dan bermain game di ponselnya hingga membuat matanya iritasi, Xavier pun menaruh benda canggih berbentuk pipih itu di sofa sebelum beranjak bangkit dan berjalan menyongsong sosok yang berbaring di atas kasur.
Xavier duduk di ujung kasur dengan gerakan pelan. Kedua matanya menyorot dalam pada wajah perempuan manis nun cantik itu. Untuk alasan yang tidak jelas, tiba-tiba saja jantung Xavier berdetak lebih cepat dibandingkan biasanya. Hal ini spontan saja membuat Xavier memegang dadanya karena takut jika jantungnya akan meloncat keluar.
"Ada apa denganku sebenarnya? Ini adalah kali pertama aku merasakan hal seperti ini," gumam Xavier kecil.
Sebelumnya, Xavier sudah membilas tubuh perempuan ini dengan air hangat. Ia menyapu dari satu sisi ke sisi lainnya, menjejaki setiap inci kulit perempuan ini dengan sebuah handuk kecil lembut. Pun, tak hanya sampai di sana saja, Xavier turut mengganti pakaian perempuan itu dengan pakaian yang Xavier belum pernah pakai sama sekali. Sebuah T-shirt longgar beserta celana bokser selutut. Entahlah. Hanya itu yang Xavier miliki. Tidak ada yang boleh protes.
Tangan Xavier terulur, menyelipkan sejumput rambut yang menutupi wajah itu ke belakang telinga.
"Bahkan perempuan secantik ini dilelang di pasar jual beli budak?" tanya Xavier tak mengerti. "Dan kini, aku menyadari bahwa ada sesuatu yang salah dengan dunia ini."
Masih ada banyak hal yang belum Xavier ketahui mengenai dunia ini. Mungkin ... inilah alasan mengapa Dewa Tur bertanya kepada Xavier tentang kesungguhannya yang ingin menjadi manusia.
Hal itu Dewa Tur lakukan bukan semata-mata karena melawan hukum takdir, melainkan Dewa Tur tahu betapa berbedanya kehidupan di bumi dan di surga.
Persepsi Xavier tentang kehidupan di bumi tiba-tiba saja berubah beberapa derajat. Ia pikir, hidup di bumi hanya sekadar mempunyai teman, bersenang-senang dan bepergian ke tempat-tempat indah.
Hanya saja, apa yang Xavier lihat dari surga hanyalah sisi 'terang' dari bumi saja, belum sisi 'gelapnya'.
"Sekarang aku mengerti kenapa Para Dewa mengabaikan ku sejak dulu kala meskipun aku selalu duduk bersimpuh di depan istana. Itu berarti ... itu berarti kalau mereka tidak ingin ada satu pun malaikat yang hidup tersiksa di bumi, 'kan? Sekarang aku juga mengerti mengapa Dewa Nao kerap memandangku dengan tatapan sinis. Dia mungkin menganggap bahwa keputusan yang aku ambil adalah keputusan paling bodoh yang pernah didengar. Jika seperti itu ... apakah sedari awal seharusnya aku tidak memiliki mimpi tentang menjadi manusia di bumi seperti sekarang ini?"
Xavier menggelengkan kepalanya pelan beberapa detik setelahnya. "Tidak. Apa sebenarnya yang sedang aku pikirkan? Bukankah aku seharusnya merasa senang karena Para Dewa telah merendahkan hati mereka untuk mewujudkan keinginanku? Ini juga bukan seperti kalau aku akan tinggal selama-lamanya di bumi. Setelah misi ku selesai, aku akan kembali diangkat ke surga," katanya.
Tatapan mata Xavier tak pernah lepas dari perempuan itu barang satu detik pun. Semakin ia memandangi dalam wajahnya, semakin Xavier merasakan getaran tak asing dari perempuan ini. Ia merasa familiar. Namun, Xavier sendiri tidak mengerti dari mana datangnya perasaan itu.
"Dewa Tur, ini sudah beberapa hari sejak aku diturunkan ke bumi. Namun, sampai saat ini, aku tidak tahu menahu siapa orang yang harus aku bantu. Jika terus seperti ini, aku merasa seperti sedang membuang-buang waktu. Bagaimana kalau sampai sembilan puluh hari aku tidak sanggup menyelesaikan misi ku? Bukankah aku akan dilenyapkan dan tidak bisa masuk ke dalam lingkaran reinkarnasi? Aku ... aku tidak ingin hal itu terjadi. Aku masih ingin 'hidup'," sambung Xavier frustasi.
Xavier sangat bingung tentang langkah apa yang harus dia ambil setelah ini. Apakah dia harus pergi ke kota lain untuk menemukan 'klien-nya', atau apa?
Xavier benar-benar tidak memiliki ide. Ia kehabisan akal untuk berpikir mencari jalan keluar. Kalau saja Dewa Tur mengungkapkan 'orang itu' kepada Xavier dengan jelas dan terperinci di surga—sebelum menurunkan Xavier ke bumi- tentu Xavier tidak akan merasa se-bingung ini.
"Huffftt ... apa yang aku lakukan? Kenapa aku malah mengeluh mengenai ini dan itu? Di atas sana, Dewa Tur pasti sedang melihatku. Dia mungkin sedang tertawa melihat ke-frustasianku. Hal ini berbanding terbalik dengan keyakinan yang aku miliki ketika bersumpah di depannya. Xavier, berhentilah memikirkan hal yang tidak-tidak. Ketika saatnya tiba, kamu pasti akan menemukan orang 'itu', entah cepat atau lambat. Di akhir nanti, di hari ke sembilan puluh, aku tidak akan dilenyapkan. Aku pasti akan diangkat ke surga kembali karena telah menyelesaikan misi ku. Ya. Aku yakin hal itu akan terjadi kepadaku nanti," gumam Xavier lagi, berusaha menghibur dirinya sendiri yang saat ini sedang diterpa oleh gundah gulana hati.
Xavier tiba-tiba saja menyetujui Daniel kalau dirinya adalah seorang idiot. Xavier benar-benar idiot.
"Besok, mungkin aku akan mencari orang itu ke tempat lain. Bisa saja dia sedang menungguku di tempat yang belum aku kunjungi, 'kan?" pikir Xavier.
"Dan untuk perempuan ini ... aku bisa membiarkannya pergi pagi hari nanti. Aku tidak tertarik untuk memiliki budak dan semacamnya. Lagipula, uang yang aku keluarkan bukanlah uang milikku. Itu semua adalah uang milik Elio."
Yeah, Xavier sudah menerima dirinya dan mengkonfirmasi bahwa sang pemilik tubuh ini adalah Elio Morgansen. Tidak ada informasi yang dapat Xavier cari di internet mengenai Elio Morgansen. Bahkan satu artikel pun tidak ada.
Mungkin, di kehidupan sebelumnya, Elio adalah orang biasa yang tidak memiliki pengaruh apa-apa?
Yeah, itu cukup masuk akal.
Jika hal itu benar, maka itu akan mempermudah Xavier dalam menjalankan perannya sebagai sosok Elio Morgansen yang baru.
Tapi, yang menjadi pertanyaan, dari mana Elio mendapatkan uang sebanyak berpuluh-puluh juta dollar?
Di saat-saat seperti ini, tiba-tiba saja jari tangan perempuan itu yang ada di luar selimut bergerak kecil. Xavier yang memang sedari tadi sedang menatap intens perempuan itu segera menyadari pergerakan kecil tersebut.
Hingga tak lama kemudian, bulu mata perempuan itu pun turut bergetar. Dalam hitungan detik, perempuan itu membuka kelopak matanya secara perlahan.
"Akhirnya kamu bangun," kata Xavier menyapa perempuan itu untuk pertama kali.