Chereads / Angels Like You / Chapter 11 - Hari Pelelangan Tiba

Chapter 11 - Hari Pelelangan Tiba

Keesokan harinya, Xavier benar-benar pergi ke daerah zona merah itu.

Awalnya, Xavier kebingungan karena tidak memiliki kendaraan untuk pergi ke sana. Semuanya segera terselesaikan begitu Daniel memberitahunya untuk menaiki taksi saja. Taksi bisa dipesan secara online, Xavier hanya perlu menyerahkan alamat tujuannya ke sopir taksi dan membiarkan sopir taksi itu mengantarnya ke sana.

Dan di sini lah Xavier berada. Dia saat ini sedang duduk di sebuah bar yang berada tak jauh dari tempat pelelangan akan digelar.

Ternyata, pelelangan baru akan dibuka dalam satu jam mendatang. Xavier datang lebih awal. Karenanya, ia memanfaatkan rentang waktu yang ada untuk pergi ke tempat ini.

Ada banyak sekali orang yang menunggu di sini, mereka adalah orang-orang yang siap berburu di pelelangan nanti. Penampilan orang-orang terlihat sangat formal, dengan kemewahan tertera jelas pada model pakaian yang mereka kenakan.

Sedangkan Xavier sendiri?

Ia hanya mengenakan sebuah kemeja yang dilapisi jaket kulit tebal. Bawahannya ia padupadankan dengan jeans berwarna hitam. Tak lupa, Xavier memakai topi bulat berwarna hitam juga.

Jadi, penampilan Xavier saat ini serba hitam, mulai dari topi hingga sepatu.

"Hei, aku sedari tadi melihatmu duduk sendirian di sini. Apakah kamu akan menjadi bagian dari pelelangan itu?" tanya seseorang yang tiba-tiba saja duduk di sisi Xavier.

Xavier terkejut. Ia tidak menyangka kalau akan ada orang yang menghampirinya seperti ini.

Xavier sekilas memerhatikan pria itu. Dia memiliki rambut sedikit keriting. Hidungnya mancung, alisnya tebal, dan juga memakai anting.

"Yeah ... tentu saja aku akan menjadi bagian dari pelelangan itu. Jika tidak, kenapa aku ada di sini, 'kan? Hahaha ..." tawa Xavier hambar.

Pria itu mengangkat salah satu sudut bibirnya hingga membentuk seringaian miring. Tak segan, dia melingkarkan tangannya pada bahu Xavier lalu menariknya mendekat dan berbisik pelan, "Ini adalah kali pertama aku melihatmu. Aku sudah datang ke pelelangan ini sejak tiga tahun lalu. Kenapa aku baru melihat wajahmu yang asing? Apakah kamu berasal dari luar kota?"

Xavier mencoba melepaskan rangkulan pria ini. Ia merasa tidak nyaman. Dan juga ... Xavier merasa ada yang tidak beres dengan pria ini.

"Apakah itu penting?" tanya Xavier kemudian.

Pria itu berdecih pelan. Dia melepaskan rangkulannya pada bahu Xavier. Setelah itu, sang pria asing itu memesan sebuah minuman beralkohol pada bartender. Lalu, pandangannya kembali menyorot Xavier lurus-lurus.

"Pulanglah. Ini bukanlah tempat bermain-main untuk anak kecil seperti dirimu."

Alis Xavier seketika terangkat naik. Dia cukup tersinggung. Pria di depannya ini memang sudah sangat dewasa, usianya matang. Jika boleh menebak, mungkin pria itu memiliki usia sekitar 40 tahunan.

"Kenapa aku harus pulang? Aku datang ke sini untuk bersenang-senang dan juga membeli budak!"

Pria itu tertawa mengejek. Ia meneguk minuman yang baru saja sang bartender antar lalu membalas dengan suara serak, "Membeli budak? Apakah kamu sedang bercanda? Anak kecil seperti dirimu, tidak akan memiliki uang sebanyak itu. Jangankan membeli grand-prize di pelelangan ini, kamu pasti tidak akan sanggup membeli budak rendahan yang biasa dilelang di awal acara!"

Xavier tiba-tiba saja merasakan hawa mencekam yang cukup kental di ruangan ini. Dan ketika dirinya mengedarkan pandangannya ke sekeliling, barulah Xavier sadar jikalau ada banyak pasang mata yang kini sedang menatapnya dengan tajam. Setajam pedang yang telah ditempa ribuan tahun.

Ada sekitar 15 orang yang mencoba mengintimidasi Xavier. Dan dengan begitu, Xavier dapat menyimpulkan kalau ke-15 orang itu merupakan antek-antek dari pria berambut keriting di sisinya ini.

"Ah, apakah kamu mengingat grand-prize di pelelangan kali ini?" tanya Xavier yang juga mengejek.

"Apa? Kamu ingin bersaing denganku?"

"Kita lihat saja nanti," balas Xavier kemudian.

Xavier beranjak bangkit. Dia meletakkan selembar uang di meja bar lalu berbalik pergi dari sana.

Ini baru permulaan. Xavier tidak mau mencari masalah dengan orang lain. Bagaimana pun juga, setelah mengetahui kalau pria keriting itu mengincar grand-prize di pelelangan kali ini, Xavier tiba-tiba saja merasa tertantang.

Bisakah Xavier mendapatkan grand-prize itu dengan uang yang dimilikinya?

Xavier melangkah keluar dari klub itu. Kepalanya menengadah ke atas langit, di mana langit sudah sedikit menghitam. Pun, waktu menunjukkan pukul setengah delapan malam.

Masih ada sisa waktu tiga puluh menit sebelum pelelangan dibuka.

Lebih baik Xavier berjalan-jalan dulu untuk menghabiskan sisa waktu yang ada.

"Sepertinya akan ada banyak orang yang mengincar grand-prize itu. Haruskah aku ikut bertaruh? Tapi, jika aku memenangkan pelelangan ... akan aku apa kan budak itu nantinya?" gumam Xavier bertanya kepada dirinya sendiri.

*****

Tiga puluh menit berlalu dalam sekejap mata. Dan kini, Xavier berdiri di luar gedung tiga lantai ini. Gedung ini terlihat seperti bangunan lama yang sudah tidak terpakai namun kembali di renovasi.

Catnya pudar di beberapa bagian. Ada tanaman-tanaman rambat yang menjuntai di atas langit-langit bangunan itu.

Jika ada orang asing yang tidak tahu menahu, mereka pasti tidak pernah menduga kalau di balik bangunan jelek itu terdapat pasar ilegal memperdagangkan manusia.

"Berikan aku jubah," ujar Xavier meminta kepada salah satu panitia di sana.

Kenapa Xavier bisa tahu kalau di pelelangan diperbolehkan memakai jubah?

Itu semua Xavier baca melalui artikel yang tersebar di internet. Di sana dituliskan bahwa, jika individual tidak mau mempertontonkan identitasnya secara umum, maka mereka bisa memakai jubah sebagai opsi untuk media privasi.

Berhubung Xavier adalah orang terakhir yang masuk ke gedung ini, ia tidak perlu mengkhawatirkan kalau ada orang lain yang melihat 'wujud' aslinya.

Sang penjaga itu memberikan Xavier jubah setelah Xavier membayar harga sewa. Tak lupa, Xavier juga membayar sebuah bangku di lantai dua.

3 lantai gedung ini dibuat seperti teater dengan bagian tengah ruangan sebagai platform 'pertunjukan'.

Xavier merasa sedikit gugup. Dia berjalan memasuki gedung dengan jubah menjuntai panjang menutupi sekujur tubuhnya. Xavier pun menundukkan kepalanya dalam-dalam, tak membiarkan orang lain sampai melihat bagaimana rupa wajahnya.

Xavier menaiki tangga menuju lantai dua berada. Kepalanya masih tertunduk. Meskipun demikian, Xavier dapat merasakan kalai ada banyak pasang mata menyorot kepadanya. Padahal, tidak hanya Xavier saja yang memakai jubah, melainkan ada beberapa orang lainnya.

Setelah sampai, Xavier duduk di bagian sudut kanan bangku paling belakang. Di depannya ada sebuah bel kecil yang digunakan sebagai media pengajuan banding harga lelang. Bel ini langsung terhubung pada platform di depan sana, membuat sang pembawa acara nantinya bisa mengetahui siapa saja yang mengajukan harga banding lelang.

Keributan di seisi gedung tidak bisa terelakkan. Orang-orang berbicara ini dan itu, termasuk mereka menerka-nerka akan seperti apa 'hadiah' grand-prize yang telah dipersiapkan di akhir nanti.

Setelah sekitar sepuluh menit menunggu, tiba-tiba saja sang pembawa acara di depan sana berbicara di mikrofon, membuat orang-orang terdiam saat itu juga.

"Halooo!!! Sudah lama tidak berjumpa. Selamat datang bagi semua para tamu yang hadir di pelelangan kali ini. Saya, selaku pembawa acara menaruh rasa hormat yang begitu besar kepada Anda semua. Mari kerjasamanya untuk membuat acara ini kondusif dari awal sampai akhir nanti."

Sang pembawa acara menjeda sebentar. Tak berselang lima detik kemudian, dia pun kembali berkata, "Apakah Anda semua sudah bersiap untuk pelelangan kali ini?"

"YAAAAA!!!" Jawab audience serentak.

"Kalau begitu, beri tepuk tangan yang bergemuruh sebagai penyemangat di awal acara."

Prok ...

Prok ...

Prok ...

Tepuk tangan terdengar begitu bergemuruh dan memekakkan telinga. Ketika gema tepuk tangan mereda, sang pembawa acara berujar, "Atas semua antusiasme Anda semua, saya, selaku pembawa acara, dengan bahagia mengumumkan kalau pelelangan kali ini telah dimulai!"

Gema tepuk tangan kembali terdengar.

"Mari kita mulai dari 'barang' pertama ..."