Segera setelah pesta pelelangan resmi berakhir dan ditutup oleh tepuk tangan gemuruh, Xavier dijemput oleh dua orang dan mempersilakan dirinya untuk ikut dengan dua orang itu ke belakang panggung.
Tiga puluh lima juta dollar bukanlah uang yang sedikit. Dan setelah membayar tuntas semua biaya di muka, Xavier hanya mampu menggigit jari tatkala mendapati bahwa uang 'miliknya' hanya tinggal tersisa tak lebih dari satu juta dollar.
Xavier tidak tahu menahu apa motivasi dirinya sebenarnya karena bersedia mengeluarkan uang sebanyak itu hanya demi ikut terjun memperebutkan seorang budak. Namun, hatinya seolah mengatakan bahwa Xavier harus mendapatkan perempuan itu. Apakah sebenarnya Xavier sedang berhalusinasi?
Rata-rata para staff yang bekerja di pelelangan ini memakai seragam berwarna hitam serta kacamata dan topi berwarna serupa. Badan mereka besar-besar, seolah-olah mereka adalah lulusan atlet gulat.
"Terima kasih telah berjuang untuk mendapatkan 'barang' kami. Kami menunggu Anda untuk kembali lagi di pelelangan kami berikutnya, Tuan," ujar seorang perempuan seraya menyerahkan kartu kredit milik Xavier.
'Tidak, terima kasih. Ini adalah kali pertama dan terakhir aku datang ke tempat seperti ini,' balas Xavier di dalam hati.
Wajah perempuan itu sangat ayu. Gigi-giginya tersusun rapi tatkala dia tersenyum lima jari. Matanya sedikit sipit dan memiliki rambut pirang ikal sebahu.
"Bolehkah aku meminta sesuatu kepadamu?" tanya Xavier tiba-tiba.
Sang perempuan yang diketahui bernama Jinny itu spontan mengangguk. "Tentu, selagi saya bisa membantu Anda."
"Aku sudah memesan taksi. Taksi itu menungguku di blok A1, tak jauh dari sini. Jika memang tidak keberatan, aku ingin seseorang membawa 'barang ku' ke sana. Aku akan menunggu di sana bersama taksi itu. Apakah memungkinkan kalau kamu membantuku?"
Jinny tersenyum ramah. Jinny terlihat seperti perempuan baik-baik. Xavier sendiri menjadi bingung mengapa perempuan itu mau bekerja di tempat 'gelap' seperti ini.
"Baik. Saya akan meminta beberapa orang untuk mengantarkan 'barang' milik Anda ke sana. Tapi, itu tidak gra—"
"Sepuluh ribu dollar!" potong Xavier cepat seraya menaruh uang itu di atas meja. "Sepuluh ribu dollar untuk mengantarkan barang milikku ke blok A1 dan mengawal taksi yang aku tumpangi sampai keluar dari daerah ini. Bagaimana?" sambungnya kemudian.
Jinny tidak langsung membalas. Melainkan, ia terdiam selama beberapa saat. Ia tampak menimang-nimang apakah kedua hal di atas tadi layak dihargai sepuluh ribu dollar.
"Baiklah! Sepuluh ribu dollar untuk mengantarkan barang milik Anda dan memberikan pengawalan kepada Anda sampai Anda keluar dari daerah ini," final Jinny. Tepat setelah mengatakan hal itu, Jinny mengambil semua uang miliknya di atas meja dengan raut wajah penuh kesenangan.
Xavier mengangguk puas. Pengawalan memang sangat dibutuhkan. Karena bagaimana pun juga, dirinya hanya datang sendirian ke tempat ini. Xavier khawatir akan ada hambatan yang ia temui di sepanjang perjalanan dari orang-orang yang merasa tidak terima setelah kalah memperebutkan grand prize darinya. Dalam hal ini, orang yang Xavier maksud tentu saja Samuel dan antek-anteknya.
Xavier bangkit dari duduknya, diikuti oleh Jinny tatkala ia berkata, "Baiklah. Akan aku tunggu di blok A1 sekarang juga."
"Tentu. Saya akan memberitahu beberapa orang untuk mengantarkan barang milik Anda ke sana. Kami akan tiba dalam sepuluh menit."
Dan dengan begitu, sembari menyerahkan jubah kepada Jinny, Xavier berbalik pergi meninggalkan ruangan ini.
*****
Setelah menunggu tak kurang dari sepuluh menit seperti yang dijanjikan Jinny sebelumnya, Xavier bergegas turun dari dalam taksi begitu melihat ada mobil lain berhenti hanya berjarak beberapa meter dari taksinya.
Selang beberapa detik kemudian, tiga orang berbadan kekar turun. Mereka bersama-sama membopong perempuan yang masih memejamkan matanya untuk ditaruh di dalam taksi. Posisi perempuan itu berbaring dengan kepala berbantalkan paha Xavier. Semua hal itu dilakukan tak kurang dari dua menit. Setelahnya, dua mobil itu pun pergi meninggalkan area ini.
Taksi yang Xavier tumpangi memimpin di depan, sedangkan mobil yang mengawal mereka ada di belakang. Sepanjang dalam perjalanan untuk keluar dari daerah zona merah ini, Xavier tidak mengkhawatirkan apa pun. Keselamatannya sudah dipegang oleh orang-orang di belakang sana. Pun, setelah taksi itu keluar dari zona merah, Xavier menjadi sangsi sendiri kalau ada orang asing yang mengikutinya dengan membawa niat jahat. Itu tidak mungkin. Karena bagaimana pun juga, setelah keluar dari daerah zona merah, itu merupakan kawasan yang ramai. Akan sangat tidak masuk akal, 'kan, kalau orang melakukan kejahatan di tempat ramai? Begitulah pikir Xavier.
Butuh setidaknya lima belas menit perjalanan untuk keluar dari daerah zona merah. Dan dengan begitu, para pengawal itu pun segera memutar balik mobil tatkala taksi yang dinaiki Xavier telah melewati perbatasan, sesuai dengan kesepakatan yang Xavier sendiri buat sebelumnya.
Waktu menunjukkan pukul sembilan malam tatkala Xavier membopong perempuan yang masih tak sadarkan diri itu keluar dari dalam taksi setelah membayar ongkos kepada sang sopir.
Xavier terdiam selama beberapa saat di tempatnya setelah taksi itu pergi dari hadapannya. Di saat-saat seperti ini, tiba-tiba saja ia merasa bingung.
Mau dibawa ke mana perempuan ini? Ke unit apartemennya kah?
Tapi ... apakah tidak apa jika pria dan perempuan tinggal di satu atap yang sama?
Setelah merenung sekian lama, memilah ini dan itu, menimang berbagai keputusan yang ada, Xavier pun berkata final, "Siapa yang peduli kalau aku membawanya ke unit apartemenku? Lagipula, itu bukan seperti kalau aku akan melakukan hal macam-macam kepadanya."
Tepat setelah itu, Xavier berbalik dan lantas melenggang pergi dari sana dan masuk ke gedung bertingkat lima belas itu.
Xavier berpapasan dengan beberapa orang sepanjang perjalanannya menuju ke unit apartemennya. Entah itu di lorong maupun di lift. Kendati demikian, meskipun merasakan perasaan yang rumit di dalam dadanya, Xavier menebalkan kulit wajahnya seolah-olah ia tidak melihat tatapan orang-orang yang melihat kearahnya dengan penuh kebingungan.
Ah, Xavier lupa memberitahu. Tubuh perempuan ini tidak lah telanjang seperti ketika dipertontonkan di dalam sangkar sebelumnya. Para staff itu memakaikan T-shirt serta celana jeans pendek selutut dan juga jaket berwarna abu-abu.
Xavier tampak kesulitan saat menempelkan key card miliknya pada panel di bawah handle pintu. Pergerakan Xavier terbatas karena harus menahan perempuan di dalam gendongan bridal-nya ini agar tidak jatuh.
Dengan bunyi 'tak' ringan, kunci pintu itu pun terbuka.
Hanya saja, sebelum Xavier masuk ke dalam unit apartemennya yang bersebelahan dengan unit apartemen Daniel, tiba-tiba saja sebuah suara mengintrupsinya.
"Hei, hei, hei. Siapa yang kamu bawa?"
Orang itu tak lain dan tak bukan adalah Daniel yang tampaknya baru pulang bekerja.
"Apa kamu sudah kehilangan akal? Berangkat sendirian pulang membawa perempuan. Apa yang sebenarnya kamu lakukan di daerah berbahaya itu? Kamu menculik perempuan ini?"
Xavier memasang wajah melas. Kedua tangannya sudah terasa keram. Ia tidak sanggup menahan berat badan perempuan di dalam gendongan bridal-nya ini lebih lama lagi. Jika tidak, perempuan ini bisa jatuh. Karenanya, dengan nada berbicara terburu-buru, Xavier berkata pada Daniel, "Aku akan memberitahumu nanti! Dah! Selamat malam!"
Dengan gerakan secepat kilat, Xavier masuk ke dalam unit apartemennya dan menutup pintu cukup keras hingga menghasilkan suara 'blam' kencang. Meninggalkan Daniel yang berdiri menjulang di lorong.
"Si idiot itu ... apa yang sebenarnya sedang dia lakukan?" gumam Daniel tak habis pikir dengan kedua mata menatap nanar pada pintu yang baru saja tertutup beberapa detik lalu itu.
"Sekali idiot tetap idiot. Tidak ada satu pun orang yang mengerti bagaimana jalan pikiran si idiot itu."
Setelah merasa puas mencaci Xavier, kini giliran Daniel yang masuk ke unit apartemennya. "Biarkan saja dan abaikan apa yang dia lakukan. Lagipula, itu tidak ada hubungannya sama sekali denganku. Lalu, kenapa juga aku harus peduli dengan apa yang dia lakukan? Membuang-buang waktu saja."
Blam ....