Chereads / Angels Like You / Chapter 21 - Sebuah Usaha

Chapter 21 - Sebuah Usaha

Hufttt ...

Xavier menghembuskan napasnya lelah untuk kesekian ratus kalinya di hari ini. Bagaimana tidak? Sampai matahari terbenam saja, perempuan itu tetap menolak untuk membuka pintu.

Jangankan membuka pintu, mengeluarkan sedikit suara saja tidak. Sudah lebih dari puluhan kali Xavier membujuk perempuan itu untuk keluar dari kamar. Mulai dari mengetuk pintu, memanggilnya, hingga merayunya dengan makanan.

Namun, pada kenyataannya, perempuan itu tetap bergeming seolah-olah dia tidak mendengar apa pun.

Sepanjang hari, kamar itu sangat senyap. Jika orang lain ada di posisi Xavier, mungkin mereka tidak akan menyangka bahwa ada seseorang yang sedang mengurung dirinya sendiri di dalam sana.

Xavier tidak tahu harus membujuk perempuan itu dengan cara seperti apa. Dia mencari artikel di internet tentang hal ini, namun artikel itu malah membahas hal-hal menjerumus mengenai sepasang kekasih yang tengah bertengkar dan cara membujuknya. Seperti diberikan cokelat atau pun bunga. Dalam kasus Xavier, dua hal di atas tadi tidak mungkin dilakukan, 'kan?

Tidak peduli seberapa idiot nya Xavier, Xavier tidak se-idiot itu.

Dor ...

Dor ...

Dor ...

"Mau sampai kapan kamu mengurung diri di dalam kamar seperti itu? Tidakkah kamu merasa lapar? Kamu belum makan apa-apa sejak pagi," kata Xavier duduk bersandar di depan pintu kamar.

Bukan tangan Xavier yang menggedor pintu, melainkan Xavier memukul pintu itu dengan kepalanya sendiri. Tampaknya, pria itu kepalang lelah dan kehabisan ide menghadapi perempuan yang masih belum diketahui namanya itu.

Xavier duduk sembari memeluk kedua lututnya yang ditekuk. Di depannya, terdapat sebuah nampan berisi mie instan kuah yang sudah dingin beserta gelas berisi air mineral.

Xavier saat ini persis terlihat seperti seorang anak yang ditendang keluar dari rumah oleh Ibunya karena berbuat nakal.

Dor ...

Dor ...

Dor ...

"Apakah kamu mendengarkan ku?"

Dor ...

Dor ...

Dor ...

"Buatlah suara barang sedikit saja. Jangan hanya diam. Aku sangsi sendiri kalau sebenarnya kamu melakukan bunuh diri di dalam sana. Mari kita berbicara dari mata ke mata. Aku tahu bahwa ada banyak hal yang ingin kamu sampaikan kepadaku juga. Begitu pula dengan diriku," sambung Xavier tak jemu-jemu kendati merasa lelah.

"Andai saja ini adalah rumahku, aku pasti sudah mendobrak pintu ini sedari awal. Tapi, kalau aku merusak fasilitas unit apartemen ini ... denda yang harus dibayar tidaklah sedikit. Di sisi lain, mungkin aku bisa langsung dikeluarkan dari unit apartemen," keluh Xavier mendumel.

"Menjadi manusia tidaklah semudah yang aku pikirkan. Ini bahkan seratus kali lebih sulit dibanding menjadi malaikat. Demi Dewa ... berikan kerendahan hati-Mu untukku. Buat perempuan itu agar mau keluar dari kamar," sambungnya lagi.

Seseorang, tolong Xavier untuk menyeret perempuan itu dari dalam sana!

"Ini sudah pukul delapan malam. Aku sudah membuat lima mie instan untukmu, namun semua itu berakhir di tong sampah karena kamu tidak memakannya. Apakah aku harus mengikat kedua tangan dan kakiku agar kamu mau keluar?" tanya Xavier menggoyang-goyangkan kepalanya di pintu ke kanan dan ke kiri.

Tiba-tiba saja, di saat-saat seperti ini, untuk pertama kali setelah sekian lama, sebuah suara berderit samar terdengar dari dalam. Itu persis seperti seseorang yang tengah berusaha turun dari atas kasur. Xavier hapal dengan hal itu.

Xavier yang mendengar hal ini spontan saja buru-buru berdiri. Dia mengambil nampan di lantai lalu meletakkannya pada meja terdekat. Setelahnya, ia berdiri beberapa langkah jauhnya di depan pintu kamar, menunggu seseorang di dalam sana untuk membuka pintu itu.

Dan benar saja. Tak lama berselang, kunci pintu kamar diputar terbuka. Dengan gerakan pelan, perempuan itu membuka pintu. Tidak benar-benar membukanya, melainkan hanya menyisakan celah sekitar tiga senti meter antara pintu dengan kusen.

Kendati demikian, Xavier tidak mau kehilangan harapan begitu saja. Ini adalah anugerah!

Apakah Dewa Tur di atas sana mendengarkan doa yang Xavier panjatkan beberapa saat lalu?

"Syukurlah kamu masih hidup," ungkap Xavier untuk pertama kali. Dia dapat melihat manik mata perempuan itu muncul dari celah pintu di depan sana. Perempuan itu sedang menatap Xavier juga.

"Keluarlah, aku tidak akan menyakitimu. Aku tahu kalau kamu tidak bisa percaya kepada orang asing begitu saja. Tapi, itu tidak berlaku untukku. Aku benar-benar tidak memiliki niat untuk menyakitimu."

"Percaya padaku. Aku benar-benar tidak ak—"

Creakk ...

Grep ...

Ucapan Xavier terputus begitu saja. Semua kalimat yang sudah terangkai di ujung lidah telah kembali tertelan ke dalam tenggorokan.

Tubuh Xavier mematung kaku. Jantungnya berdegup-degup dengan cepat tatkala perempuan itu memeluk tubuhnya dengan erat.

Ya. Perempuan itu saat ini sedang memeluk tubuh Xavier dengan sangat amat erat, seolah-olah mengindikasikan bahwa dia tidak mau ditinggalkan. Dia tidak mau sendirian.

Kedua tangan Xavier terangkat ragu sebelum tangan kirinya melingkar di pinggang perempuan ini sedangkan tangan kanannya mengusap lembut rambut panjang sang empu yang sedang menangis tersedu-sedu. Lagi.

"Ja—jangan menangis ... aku ada di sini. Aku tidak akan menyakitimu," bisik Xavier hati-hati, takut-takut membuat perempuan ini ketakutan terhadap dirinya.

"Hiksss ... ini benar-benar kamu, 'kan, Elio? Elio Morgansen? Aku tahu kalau kamu akan kembali. Aku tahu kalau kamu akan menyelamatkanku ... hiksss ... aku tahu kalau kamu tidak pernah meninggalkanku sendirian," kata sang perempuan dengan suara bergetar seperti menahan rasa sakit mendalam dan keputusasaan.

Xavier tidak menjawab, melainkan dia membawa perempuan itu untuk duduk di salah satu sofa terdekat tanpa melepas pelukan mereka. Mungkin, hal yang dibutuhkan perempuan itu saat ini adalah ketenangan dan perlindungan. Siapa yang tahu bahwa perempuan itu mendapatkan rasa aman saat dipeluk oleh Xavier, 'kan?

Dan dengan begini, Xavier menjadi sangat yakin bahwa sosok perempuan yang saat ini ada di dalam pelukannya adalah kunci utama kesuksesan Xavier menjalankan misinya. Xavier yakin, dan Xavier tidak akan membiarkan perempuan ini pergi.

"Shhh ... tenangkan dirimu. Suaramu sangat serak. Kedua matamu juga sembab. Apa kamu menangis sepanjang hari?" tanya Xavier lembut tanpa menghentikan usapan lembutnya para rambut sang empu, berusaha membuat perempuan itu agar merasa lebih nyaman lagi terhadap dirinya.

Di dalam pelukan Xavier, perempuan itu membenamkan wajahnya di dada Xavier. Menangis sejadi-jadinya di sana. Tangannya meremas baju yang Xavier kenakan dengan kuat di belakang sana.

"Aku sudah menunggumu sejak pagi untuk berbicara baik-baik. Kamu tidak perlu takut lagi kepadaku. Kamu tidak perlu merasa terancam saat aku berada di dekatmu. Aku berjanji tidak akan menyakitimu barang satu helai rambut pun," aku Xavier serius.

Kejadian dramatis itu berlangsung hingga tiga puluh menit ke depan. Dan setelah dirasa perempuan ini cukup tenang serta tidak se-kacau sebelumnya, Xavier bertanya, "Apa kamu mau makan? Aku dengar makan bisa membuat tenang."

Perempuan itu mengangguk di dalam pelukan Xavier.

"Kalau begitu aku akan membuat mie instan baru untukmu. Aku akan kembali dalam sepuluh menit. Tunggu aku di sini, okay?"