Daniel semakin menatap tak percaya pada Xavier. Ucapan Xavier barusan terdengar begitu mustahil dan sulit untuk dipercaya.
"T—tiga puluh lima juta?! Dari mana kamu mendapatkan uang sebanyak itu?" tanya Daniel kemudian yang tak mau memercayai Xavier begitu saja.
Di sisi lain, Xavier tetap mempertahankan senyuman miringnya. Tangannya merogoh saku celananya untuk kemudian mengeluarkan sebuah kepingan benda berbentuk pipih tipis berwarna hitam dari sana yang selalu Xavier bawa ke mana pun dirinya pergi.
"Dari sini. Kartu ini ternyata menampung begitu banyak uang. Bahkan setelah aku mengeluarkan sekian banyak uang, masih ada uang yang tersisa di dalam kartu ini. Bukankah itu terdengar sangat menakjubkan?" tukas Xavier sembari melambai-lambaikan kartu itu di depan wajah Daniel.
Tangan Daniel bersiap merebut kartu itu dari Xavier jika saja Xavier tidak lebih sigap dari Daniel. Karenanya, Xavier pun segera memasukkan kartu tersebut ke dalam saku celananya. Well ... dia tidak akan membiarkan orang lain menyentuh 'harta karun' miliknya.
Daniel masih belum bisa menetralisir raut wajah keterkejutannya. Ya, Daniel akhirnya kembali mengingat bahwa dulu ia penasaran tentang darimana Xavier memiliki kartu kredit yang hanya dimiliki oleh orang-orang berpenghasilan selangit. Dan kini, ketika kembali melihat kartu itu untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Daniel pun tidak bisa untuk tidak memikirkan hal ini lagi.
"Kenapa kamu harus terkejut seperti itu, huh? Bukankah kamu sudah mengetahui tentang kartu ini?"
"Xavier ... siapa kamu sebenarnya?" tanya Daniel ngeri dengan raut wajah sangat serius. Ini adalah kali pertama Daniel memasang raut wajah se-serius ini. Xavier yang kebetulan melihat hal ini spontan terkekeh kecil, sangat tidak tahu situasi sama sekali.
"Aku? Aku hanyalah seorang pria yang mengalami amnesia, seperti yang kamu katakan dulu," jawab Xavier ringan.
"Apakah kamu tahu kalau kartu hitam itu hanya dimiliki oleh beberapa orang saja di Daratan Amerika? Kartu itu tidak dimiliki oleh sembarang orang. Aku rasa ... aku rasa identitas mu tidaklah sesederhana yang aku pikirkan."
Duduk di sisi Daniel, Xavier mengangkat bahunya ringan. Dia memilih untuk menyeruput ringan air kepala segar ini ketimbang memikirkan banyak hal-hal berat. Ini masih pagi. Bukankah seharusnya mereka tidak membicarakan hal seserius ini?
"Sudahlah. Kalau aku ceritakan, mungkin itu akan memakan waktu lebih dari satu hari. Lupakan saja. Bertindaklah seperti seolah-olah kamu tidak pernah melihat kartu hitam milikku," kata Xavier kemudian.
"Bagaimana mungkin aku bisa melakukan hal itu? Biarkan aku bertanya, apa kartu hitam itu benar-benar milikmu? Jika bukan, kamu bisa saja dipenjara karena sudah menggunakan hak milik orang lain. Dan itu akan masuk ke kualifikasi hukuman berat, Xavier!"
"Aku sudah memberitahu kepadamu bahwa kartu ini benar-benar milikku. Karena kartu ini adalah milikku, bukankah aku memiliki hak penuh untuk membelanjakan semua uang yang ada di sini? Kenapa kamu tidak percaya dengan ucapan ku, huh? Apa aku terlihat sangat meragukan di matamu? Apakah aku terlihat tidak pantas untuk memiliki kartu ajaib ini?"
Mata Xavier memicing tajam. Dia terheran-heran. "Bukan itu. Hanya saja ...."
"Hanya saja apa?"
"Hanya saja kamu terlihat sangat idiot. Mustahil ada orang idiot seperti dirimu yang memiliki barang limited edition seperti itu. Itulah yang membuatku ragu kepadamu," kata Daniel jujur.
"Apa kamu tidak pernah mendengar istilah tentang, 'Don't judge a book by it's cover'? Seperti itu lah. Meskipun aku terlihat IDIOT, tapi aku tidaklah idiot. Sampai sini kamu mengerti?"
"Tidak," balas Daniel cepat.
Jika saja Xavier tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri, mungkin kelapa yang ada di tangannya sudah melayang dan menghantam kepala Daniel dengan telak.
"Terserah dirimu saja. Entah kamu percaya kepadaku atau tidak, itu bukanlah urusanku sama sekali. Yang jelas, aku sudah menjawab rasa penasaran mu. Jadi, aku anggap ini sudah selesai," final Xavier mengakhiri obrolan aneh mereka ini. Semakin dilanjutkan, rasa-rasanya semakin membuat Xavier merasa pening.
Tepat setelah mengatakan hal itu, Xavier bangkit dari duduknya. Hal ini spontan membuat Daniel buru-buru bertanya, "Ke mana?"
"Pulang. Ini sudah cukup siang. Aku khawatir perempuan itu akan kelaparan karena aku belum menyiapkannya makanan."
Yeah, waktu telah menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. Matahari di atas sana juga telah naik meninggi. Suhu udara mulai menghangat, memberikan kesan menusuk-nusuk ringan kulit.
"Apa kamu tidak pulang?" tanya Xavier pada Daniel.
Daniel menggeleng. Dia menaruh kelapa di samping lalu berbaring di atas pasir putih tanpa aba-aba. "Tidak. Aku masih ingin berlama-lama di sini. Berjemur membuat kulitku berubah menjadi sedikit lebih tan. Aku menyukai itu. Di sisi lain ... aku juga bisa meli—"
"Aku juga bisa melihat perempuan-perempuan seksi yang berjalan ke sana dan kemari," potong Xavier cepat seakan-akan sudah mengerti apa yang hendak Daniel katakan tadi.
Daniel terkekeh pelan. "Apa yang salah dengan hal itu? Bukankah itu wajar untuk dilihat bagi seorang pria seperti diriku? Akan lebih aneh kalau aku memerhatikan pria yang bertelanjang dada. Aku masih menyukai perempuan, tidak seperti dirimu yang hanya menyukai pria."
Xavier melempar sedotan miliknya ke arah Daniel. Namun, karena hembusan angin yang terasa sangat kencang, sedotan itu terbang jauh ke belakang sana. "Persetan denganmu. Sudah, aku pergi dulu. Selamat tinggal."
Dan dengan begitu, Xavier pergi meninggalkan Daniel yang masih berbaring di bibir pantai yang sangat ramai.
*****
Sebelum pulang, Xavier menyempatkan diri untuk membeli beberapa makanan yang bisa ia berikan kepada perempuan itu sebagai sarapan dan juga dirinya sendiri.
Kebetulan, ada sebuah minimarket yang letaknya tak jauh dari sana. Jadi, selain membeli beberapa bungkus mie instan, Xavier juga turut membeli beberapa bungkus camilan berbagai rasa. Xavier mengambilnya secara acak, karena dia sendiri belum pernah mencoba mereka semua, jadi Xavier tidak tahu mana yang enak dan mana yang tidak.
Setelah selesai, Xavier segera pergi dari minimarket itu. Ia pun berjalan menuju gedung di mana apartemennya berada.
Tak butuh waktu lama bagi Xavier untuk sampai ke apartemennya. Setelah menaiki lift, Xavier akhirnya sampai di mana unit apartemennya berada. Dia berjalan di sepanjang lorong serta berpapasan dengan beberapa orang asing.
Tentu Xavier melemparkan seulas senyum kepada mereka semua dan mengucapkan selamat pagi. Namun, entah karena apa, kebanyakan dari mereka hanya memandang Xavier aneh tanpa membalas sapaan Xavier. Seolah-olah menganggap apa yang dilakukan oleh Xavier sangatlah kuno.
Kendati demikian, Xavier tidak merasa tersinggung. Xavier juga yakin itu merupakan pengaruh kultur sosial kehidupan di negara ini yang cenderung individual dan acuh tak acuh kepada orang asing, tak jauh berbeda dengan karakter Daniel yang sebenarnya.
Tak lama kemudian, Xavier sampai. Dia menempelkan key card miliknya pada panel yang terdapat di bawah handle pintu, dan seketika itu pula kunci terbuka.
Xavier memasukkan key card itu ke dalam sakunya sebelum melangkah masuk.
"Aku kembali," kata Xavier menyapa seseorang yang mungkin saja saat ini sudah bangun.
Setelah menutup kembali pintu dan berbalik, hendak masuk lebih dalam lagi ke ruang tamu, di depan sana sudah berdiri seorang perempuan yang tengah memegang gelas berisi teh mengepul.
Garis pandang Xavier dan perempuan itu bertemu.
Hingga kemudian ...
Prang ...!!!
Gelas di tangan perempuan itu jatuh menghempas lantai. Ia bagai kehilangan tenaga di tangannya dan tak sengaja menjatuhkan gelas itu hingga pecah.
Kedua bola mata perempuan tersebut membulat. Kakinya mundur sedikit demi sedikit. "K—kamu ... kamu Elio?!"