Pada pagi harinya tak serta merta membuat Xavier bisa bersantai begitu saja.
Pada kenyataannya, setelah memastikan bahwa perempuan itu meminum obat yang Xavier berikan dini hari, Xavier segera pergi dari apartemennya untuk berolahraga seperti orang-orang kebanyakan.
Di sepanjang pesisir Long Beach, banyak orang yang berlari-lari kecil. Awalnya Xavier hanya melihat hal itu dari kaca kamarnya saja. Tapi, lama kelamaan, setelah memerhatikan hal tersebut, Xavier tertarik untuk melakukannya. Di mata Xavier, berlari-lari kecil seperti itu tampak menarik.
Jadilah Xavier di sini. Dia sedang duduk dengan kaki lurus ke depan sembari menikmati air kelapa yang ia beli beberapa saat lalu.
Xavier tidak sendirian. Daniel ada bersamanya. Mereka seperti memiliki ikatan batin. Ketika Xavier keluar dari unit apartemennya, Daniel juga keluar. Memakai sepatu, kaos singlet, dan juga handuk putih yang digantung di leher. Persis seperti Xavier.
"Jadi, siapa perempuan yang kamu bawa kemarin malam? Jika pemilik apartemen mengetahuinya, kamu bisa saja ditendang keluar. Di sana tidak memperkenankan membawa orang asing. Terlebih, kamu membawa perempuan ke dalam unit apartemen mu. Aku sangat yakin kalau tidak lama lagi kamu pasti akan dipanggil oleh pemilik apartemen. Yang paling parah, mungkin kamu bisa dikeluarkan dari sana. Hei, idiot. Jangan sembarangan membawa jalang ke tempatmu."
Xavier yang sedang menyeruput air kelapa dari sedotan spontan saja tersedak mendengar ucapan Daniel barusan. Dia buru-buru menoleh dengan mata memicing tajam. "Aku sama sekali tidak membawa jalang!"
"Lalu siapa perempuan itu? Apa Dia sebenarnya adalah seorang pria yang sedang menyamar menjadi perempuan? Begitu maksudmu?" tuding Daniel tak berperasaan.
Xavier berdecak pelan. "Berhentilah untuk memberi prasangka-prasangka buruk kepadaku. Dia adalah perempuan baik-baik. Aku membawanya ke unit apartemenku bukan semata-mata karena aku ingin berbuat keji kepadanya. Itu tidaklah benar. Aku hanya mengikuti apa yang telah kamu lakukan kepadaku," bela Xavier pada dirinya sendiri.
"Aku? Memangnya apa yang sudah aku lakukan kepadamu? Aku tidak melakukan apa-apa," Daniel menyangkal sekaligus bingung.
"Ck. Apakah kamu tidak ingat? Kamu membawaku ke apartemen mu di hari pertama kita bertemu. Meskipun itu tidak GRATIS, tapi tentu aku sangat tersanjung. Hal serupa aku lakukan kepada perempuan itu. Dia tidak memiliki tempat tinggal, jadi aku membawanya ke apartemen ku. Apa yang salah dengan hal itu? Bukankah aku sangat baik? Aku tahu aku sangat baik, kamu tidak perlu menyanjungku."
Daniel sontak menoyor kepada Xavier, hampir membuat kelapa di tangannya menggelinding. "Katakan kepadaku, di mana kamu menemukan perempuan itu? Kamu tidak tahu apakah perempuan itu baik atau jahat. Jika kamu terus seperti ini, maka tidak heran dalam lima hari ke depan apartemen mu sudah penuh dengan para gelandangan yang kamu bawa dari jalanan. Hei, idiot. Jangan sembarangan menolong orang lain. Dunia ini tidak seputih yang kamu pikirkan. Jadi, berhentilah untuk bersikap sok baik kepada semua orang. Jika tidak, maka kamu akan menerima penyesalan di kemudian hari."
"Apa kamu berpikir, kalau kamu menolong seseorang, maka malaikat akan mencatat hal-hal baik yang kamu lakukan? Itu sangat lucu. Bahkan setelah hidup membantu orang lain selama bertahun-tahun, hidupku tetap seperti ini. Tidak ada yang berbeda. Semuanya tampak sama saja. Dari sana aku mulai berpikir bahwa 'Hal-Hal di atas sana' acuh dengan semua kebaikan yang kita lakukan. Mereka tidak memedulikan kita. Jadi, hiduplah dengan porsi yang sebenarnya. Cukup fokus dengan dirimu sendiri dan jangan hiraukan orang lain. Itu terdengar sangat idealis," pungkas Daniel panjang.
Xavier tentu tidak menyetujui ucapan Daniel barusan yang jika disingkat menjadi, 'berbuat baik seperlunya saja'. Tidak ada takaran yang mutlak. Selagi bisa berbuat baik, kenapa tidak?
Xavier juga yakin, Dewa di atas sana tidak pernah luput untuk menulis kebaikan manusia mana pun meskipun itu hanya seujung kuku sekalipun.
"Hei, kamu belum menjawab pertanyaan ku. Di mana kamu menemukan perempuan itu?"
Xavier berkata ringan, "Bahkan kalau pun aku memberitahumu, kamu tidak akan memercayai ku."
"Tidak ada satu orang pun yang mau memercayai orang idiot seperti dirimu. Katakan saja, jangan bertele-tele," cecar Daniel tanpa ampun.
Kedua sudut bibir Xavier berkedut-kedut. Agaknya, dia harus mulai berlagak tuli dari panggilan idiot yang tersemat untuknya.
"Aku membelinya."
"Menyewa jalang untuk satu malam?" koreksi Daniel beberapa detik setelahnya.
Xavier menggeleng, tidak membenarkan koreksian itu. "Aku benar-benar membelinya. Dia aku beli dari tempat lelang kemarin malam."
BOOM ...!!!
Sebuah petir imajiner menyambar dada Daniel dengan begitu hebatnya. Ia tampak syok dengan ucapan Xavier barusan. Kedua matanya membola, menatap tak percaya pada sang empu yang kini malah sibuk menebar senyum polos tanpa rasa bersalah barang sedikit pun.
"K—kamu apa? Katakan lagi kepadaku. Aku tidak salah mendengar, 'kan?"
"Tidak. Kamu sama sekali tidak salah mendengar. Aku benar-benar membeli perempuan itu di pasar lelang kemarin malam."
"Jangan bercanda, Xavier. Ini sama sekali tidak lucu!"
Xavier terkekeh. Ia sudah menduga kalau Daniel akan bereaksi seperti ini.
"Aku serius. Alasan aku pergi ke daerah berbahaya yang kamu sebut sebagai Zona Merah adalah untuk menghadiri pesta pelelangan budak. Maaf karena aku tidak memberitahumu mengenai hal ini sejak awal."
Daniel meneguk salivanya kasar-kasar. Dia beralih menatap Xavier dengan tatapan horor. "Dari mana kamu tahu kalau di sana ada pasar lelang budak seperti itu? Aku tidak pernah melihatmu berjalan jauh seorang diri. Mustahil kalau kamu mendapatkan berita itu dari orang-orang secara random."
Xavier menghela napas kecil. "Apakah kamu ingat kalau kamu pernah mengajakku ke tempat kerjamu?"
Daniel terdiam sejenak. Beberapa detik setelahnya, dia mengangguk meskipun ragu. "Y—yeah, sepertinya aku mengingatnya."
"Nah, aku tahu berita itu dari sana. Dua orang yang duduk di sebelahku membicarakan mengenai hal ini. Jadi, aku merasa penasaran juga. Karenanya, saat di perjalanan pulang dulu, aku bertanya mengenai daerah ini kepadamu. Aku tidak tahu apakah kamu masih mengingatnya atau tidak. Yang jelas, hanya itu yang bisa aku beritahu kepadamu," pungkas Xavier kemudian.
Xavier menarik kembali garis pandangnya pada pria di sisinya ini ke kejauhan hamparan lautan di depan sana.
"Kamu ... akan kamu apakan perempuan itu? Apa kamu akan menjadikannya budak mu?"
"Bagaimana mungkin hal seperti itu bisa terjadi?" tanya Xavier balik. "Tentu saja aku tidak akan melakukan hal se-keji itu. Aku hanya mengeluarkannya dari sana. Dan setelah ini, dia bisa pergi ke mana pun dia mau. Yeah, setidaknya seperti itu lah rencana ku dari awal. Aku sama sekali tidak memiliki keinginan untuk menjadikannya sebagai budak ku," sambungnya.
"Lalu jika kamu tidak membutuhkan perempuan itu, mengapa kamu membelinya? Bukankah kamu membuang-buang uang milikmu secara percuma begitu saja?"
"Uang bisa dicari. Itu bukanlah masalah yang besar," jawab Xavier dengan mudahnya.
Daniel yang mendengar hal ini seketika mencibir tak habis pikir. Sangat mudah bagi Xavier untuk berbicara seperti itu. Sedangkan dirinya? Daniel harus banting tulang hanya demi mendapatkan sedikit uang setiap bulannya. Bah! Seberapa kaya sebenarnya si idiot ini?
"Lantas berapa banyak uang yang kamu keluarkan untuk perempuan itu?"
"Delapan digit."
"Xavier ... jangan bermain-main. Kamu berani mengeluarkan uang sebanyak sepuluh juta hanya demi mengeluarkan perempuan itu dari pasar lelang tersebut?!"
Xavier menarik salah satu sudut bibirnya, menghasilkan lengkungan senyum miring yang terlihat begitu sadis. Kepalanya kembali menoleh pada Daniel. Matanya menatap lekat pada manik mata sang 'teman' yang duduk di sisinya ini lalu mengoreksi ucapan Daniel barusan, "Bukan sepuluh juta, melainkan tiga puluh lima juta."