Xavier memandang perempuan yang lahap memakan mie instan di depannya dengan tatapan lapar.
Semua bahan makanan yang dirinya beli sudah habis. Begitu pun dengan mie yang terbuang sia-sia. Dan kini, Xavier merasa sangat lapar. Tatapan matanya tak lepas dari pergerakan tangan perempuan itu.
Di saat-saat seperti ini, tiba-tiba saja suara bell pintu terdengar, membuat Xavier dan perempuan itu menatap ke arah pintu berada.
"Lanjutkan makan mu, biar aku yang membukanya."
Dan dengan begitu, Xavier berjalan gontai menuju pintu di depan sana. Dan saat dirinya membuka pintu, seraut wajah Daniel muncul di hadapannya.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Xavier langsung.
Dengan memasang wajah angkuh, Daniel membalas, "Aku tidak tahu pemilik apartemen ini mendapatkan informasi dari mana. Yang jelas, dia sedang menunggumu di lantai bawah. Sepertinya, dia ingin bertanya kepadamu mengenai beberapa hal. Terutama ..."
Daniel menggantungkan ucapannya. Kepalanya melongok pada celah pintu, mencari-cari sesuatu.
Dengan sigap, Xavier menutupi garis pandang Daniel menggunakan badannya. Memblokir begitu saja.
"Terutama tentang perempuan yang kamu bawa itu. Sudah aku katakan kalau di sini dilarang membawa orang secara acak. Jadi, aku tidak mau ikut campur. Urus saja urusanmu sendiri. Selamat tinggal."
Tepat setelah mengatakan hal itu, Daniel masuk ke unit apartemennya, meninggalkan Xavier yang masih berdiri kaku di ambang pintu.
Xavier menggaruk tengkuk lehernya yang sama sekali tidak gatal. Kemudian, Xavier berkata setengah berteriak pada perempuan di dalam unit apartemennya yang masih belum ia ketahui namanya, "Aku ada urusan, jadi aku akan keluar sebentar. Aku usahakan kembali dalam sepuluh menit. Jangan pergi ke mana-mana dan segera habiskan makan mu."
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Xavier menutup pintu unit apartemennya dan lantas berjalan melenggang pergi.
"Bolehkah aku menganggap kalau Daniel lah orang yang melaporkan hal ini kepada pemilik apartemen?" gumam Xavier memasuki lift.
"Wajahnya terlihat sangat aneh. Dia pasti orang yang melaporkanku! Aku sangat yakin dengan hal itu!" gerutu Xavier tak bisa menahan rasa kesalnya lagi.
***
Sepuluh menit berlalu, Xavier kembali dengan wajah muram. Ia didenda sebanyak lima ratus dollar karena menyelundupkan orang asing secara diam-diam.
Ternyata, orang yang mengadukan Xavier adalah orang-orang yang berpapasan dengan Xavier baik di lift atau pun lorong kemarin malam.
Okay, nanti Xavier akan meminta maaf kepada Daniel karena sudah berburuk sangka kepadanya.
Clack ...
Pintu terbuka.
Xavier melenggang masuk lalu menutup kembali pintu.
"Apakah kamu sudah selesai?" tanya Xavier.
Perempuan itu menoleh. Ia masih tampak takut dengan Xavier. Xavier juga tidak bisa berbuat banyak. Xavier membiarkannya saja. Selagi perempuan itu tidak lari menghindarinya, itu jauh lebih baik.
Xavier mendudukkan dirinya di samping perempuan itu. Berjarak cukup jauh sekitar satu meter.
"Jadi, apakah ada hal yang ingin kamu katakan kepadaku?" tanya Xavier lagi menuntut penjelasan.
Xavier memerlukan banyak informasi dari perempuan yang tidak ia ketahui namanya ini.
Perempuan ini mengenal Elio Morgansen. Hal ini adalah kunci dari segala kunci yang ada.
Perempuan itu menatap Xavier dengan dalam. Setetes keringat menetes turun di dahinya.
"Elio ... apakah kamu tidak mengenalku? Kenapa sikapmu terasa begitu asing untukku?" tanya sang perempuan rendah setengah berbisik.
Xavier sudah menduga kalau pertanyaan seperti itulah yang akan keluar. Bagaimana Xavier bisa mengenal perempuan itu ketika dirinya hanya meminjam raga milik Elio?
"Sebelum itu, biarkan aku bertanya sesuatu kepadamu terlebih dahulu. Jadi, siapa namamu? Tidak mungkin juga, 'kan, kalau aku terus memanggilmu perempuan ini dan perempuan itu?"
Perempuan itu meneguk saliva nya bulat-bulat lalu menjawab pelan, "Keisha. Keisha Valencia."
"Okay, baiklah, Keisha. Mulai saat ini, aku akan memanggilmu dengan nama itu."
"Elio ... kamu sama sekali tidak mengingatku? Barang sedikit pun?" Keisha bertanya lirih.
Xavier berdeham. Ia harus mulai membiasakan diri untuk dipanggil dengan nama Elio sebagai nama utamanya. Itu adalah resiko yang harus ditanggung karena hidup di dalam raga bekas orang yang sudah mati.
"Baiklah, sepertinya aku harus menjelaskan semuanya dari awal kepadamu. Pertama, aku tidak mengenal siapa kamu dan dari mana kamu berasal. Kedua, aku tidak tahu apa hubungan di antara kita sebelumnya mengingat kamu terlihat sangat mengenal diriku. Dan ketiga, sepertinya aku mengalami amnesia sehingga semua ingatanku hilang menyeluruh. Aku tidak bisa mengingat apa-apa. Mengenai hal apa pun. Jadi, dari sini, seharusnya kamu sudah paham dengan konteksnya, 'kan?" kata Xavier lugas dengan ketenangan yang wajib diapresiasi dua jempol.
Berbeda dengan ekspresi tenang yang Xavier tampilkan, Keisha justru menatap Xavier penuh kesedihan. Ia seperti terpukul oleh ucapan Xavier barusan.
Keisha sangat yakin kalau Elio tidak berbohong. Pria itu menatap dirinya dengan sorot mata biasa-biasa saja. Seharusnya, jika itu adalah Elio yang tidak hilang ingatan, mungkin Elio akan memeluk Keisha dengan sangat erat selama berjam-jam.
Elio akan membisikkan kata-kata lembut kepada Keisha.
Dan juga, Elio akan mengatakan kalau ia tidak mengingkari janji yang sudah dibuat sebelumnya.
Keisha menahan keras dirinya untuk tidak menangis. Suatu anugerah yang besar bagi Keisha karena dapat bertemu dengan Elio setelah sekian lama, meskipun dengan suasana yang berbeda. Di mana Elio tidak mengenalinya. Di mana Keisha menjadi sosok asing bagi Elio.
"Hei, apakah kamu melamun?" tegur Xavier saat mendapati Keisha melihat wajahnya dengan tatapan hampa.
Keisha mengerjapkan matanya sebanyak beberapa kali, menarik kembali kewarasannya yang sempat mengawang-awang selama beberapa menit.
"Ini sangat menyakitkan mengetahui kalau kamu amnesia. Namun, di saat yang bersamaan, aku juga merasa sangat bahagia," gumam Keisha menghibur dirinya sendiri.
Keisha bergerak mendekat pada Xavier, merapatkan posisi duduknya dengan pria itu.
Tanpa aba-aba, Keisha menggenggam dua tangan besar Xavier. Memberikan jejak kehangatan di sana.
Dapat Xavier rasakan kalau saat ini sesuatu di dalam dirinya terasa berdesir nyaman. Desiran ini adalah desiran yang sama seperti desiran yang Xavier rasakan sebelumnya. Desiran misterius yang berhasil membawa Xavier mendatangi pasar pelelangan budak.
"Jika saja saat itu aku tidak bersikukuh ingin pergi ke tempat itu, mungkin semuanya tidak akan berakhir seperti ini. Katakan kepadaku kalau aku tidak sedang bermimpi, Elio. Kamu benar-benar Elio, 'kan?" tukas Keisha dengan nada bicara bergetar menahan lara.
Xavier menatap bingung pada Keisha. Ada banyak macam tanya yang saat ini mengisi kepalanya. Namun, Xavier tidak bisa memeras satu kalimat tanya pun agar keluar dari mulutnya. Lidahnya terasa begitu kelu, sulit untuk digerakkan seolah-olah membeku.
Keisha melepaskan genggamannya dari tangan Xavier. Setelah itu, kedua tangan Keisha bergerak untuk menangkup wajah yang sudah lama tidak ia lihat.
Wajah yang selalu ia rindukan sepanjang malam.
Wajah yang selalu menemaninya untuk menikmati hari-hari indah di masa lalu.
Dengan bibir tersungging senyum tulus, dengan air mata yang terjun turun dari pelukan mata, dengan perasaan berkecamuk di dalam dada, Keisha lantas bergumam penuh makna, "Lama tidak bertemu, Elio ..."
"... kekasihku."