"Galant, bisakah kamu membantu aku untuk memotong rambutku, ini sedikit mengganggu," kata Arghi meminta tolong pada Galant, rambutnya benar-benar mengganggu akhir-akhir ini. Namun, dia tentu saja tidak bisa melakukannya sendiri.
Sejak tadi Galant hanya diam dan Arghi tidak tahu apa yang tengah dia lakukan di kamarnya selain belajar. Arghi merasakan panas tubuh lain di hadapannya yang bergerak mendekat dan seketika dia menegang detik itu juga saat tiba-tiba saja sebuah tangan telah mendarat di kepala Arghi dan bergerak masuk ke helai rambutnya. Arghi telah kehilangan kata-katanya, mulutnya terbuka hanya untuk dia tutup kembali.
"Jangan di potong Arghi. Ini baik-baik saja," kata Galant. Sejak kapan suara Galant begitu berbeda di telinga Arghi? Dia tahu ini adalah Galant yang sama, akan tetapi semua tidak masuk akal ketika seseorang begitu cepat berubah. Arghi berada di sisi Galant memperhatikannya tumbuh selama bertahun-tahun tidak pernah melewatkannya, tetapi sekarang Arghi begitu merasa tertinggal. Saat dia tidak dapat melihat lagi dan Arghi merasa begitu terpuruk dengan dirinya sendiri sepanjang waktu, orang-orang di sekitarnya yang peduli pada Arghi pun pada akhirnya tetap harus pergi untuk mengurusi urusan masing-masing. Tinggal hanya ada Arghi sendiri nantinya.
"Ini mengganggu," kata Arghi menepis tangan Galant yang berada di kepalanya, dia mengatakan itu bukan karena terganggu karena rambutnya tetapi Arghi merasa terganggu dengan sifat baru Galant ini. Ada banyak pertanyaan yang muncul ke permukaan, Arghi selalu mengira sifat Galant yang berubah terjadi karena dia telah kehilangan ayahnya dan di sini hanya ada Arghi satu-satunya bagian dari keluarganya.
"Aku bisa membantumu, untuk menyekanya." Jantung Arghi terasa seperti berhenti berdetak.
Dia meraih lengan Galant erat dan berharap dia bisa melihat Galant.
Ketakutan datang menyelimuti Arghi karena dia terkejut seketika mendengarnya. Ini salah. Arghi tahu betul ke mana arah kata-kata Galant itu. Dia tidak ingin Galant sama seperti dirinya, Arghi ingin Galant tetap berjalan lurus sebagaimana mestinya.
Apa yang terjadi sebenarnya? Mengapa banyak sekali hal dari Galant yang Arghi lewatkan?
Arghi berkedip cepat, bibirnya terasa kaku dan Arghi memaksanya untuk terbuka. "Galant, tolong jangan bersikap seperti ini. Kamu membuatku tidak nyaman. Tolong bersikap seperti biasa. Aku tidak tahu apa yang salah, tetapi bisakah kamu berhenti dan lupakan saja ini."
Kecanggungan yang tak pernah Arghi harapkan, dia menginginkan agar mereka tetap berlaku layaknya persahabatan yang terjalin sekian lama sebelumnya.
Maka tanpa mengatakan apapun lagi, Arghi beranjak dari tempatnya berdiri dan pergi meninggalkan kamar itu.
Dia sampai di kamar lantai bawah dan menutup pintu di belakangnya, Arghi merosot ke lantai dan mencengkeram rambutnya erat. Arghi merasa layaknya sebuah sampah sekarang, tingkah Galant yang berubah sudah pasti karena dirinya.
Satu-satunya orang yang Galant temui akhir-akhir ini adalah Arghi dan Arghi sendiri adalah seorang gay. Dia selalu percaya bahwa kelainan seksualnya tidak akan pernah bisa menular kepada orang lain, ternyata dia salah.
Arghi harus menghentikannya, Galant tidak tahu apa-apa tentang itu. Semua harus dimulai dari Arghi sendiri, dia seharusnya sadar sejak mereka masih anak-anak Galant selalu melihat Arghi untuk hal-hal kecil serta terkadang menirunya dan hal inilah yang membuat Arghi merasa benar-benar layaknya sampah. Dia lebih tua dari Galant seharusnya Arghi adalah sosok yang mencontohkan hal-hal baik untuk Galant.
"Maaf, Paman. Aku seharusnya mendengarkan."
***
Arghi tersentak dari lamunannya ketika dia mendengar sebuah ketukan pintu dari luar rumah, walaupun dia sendiri tengah berada di dalam kamarnya. Dia mengerjap untuk beberapa kali menghalau cairan bening yang menghalangi penglihatan Arghi. Galant berada di kamar sebelah Arghi, setelah Arghi mendengar pintu yang dibuka dan ditutup kembali beberapa saat lalu. Dia mungkin tidak akan keluar untuk beberapa jam yang akan datang. Jadi, Arghi datang dan dia tidak langsung membuka pintu karena Arghi tidak tahu siapa yang sebenarnya berada di luar sana.
"Siapa di sana?"
Arghi menunggu karena masih belum mendapatkan jawaban dari seberang sana, dia menjadi cemas kalau-kalau sesuatu yang buruk akan terjadi kembali pada dirinya, maka Arghi kembali memanggil, "Siapa?"
"Aku. Reiki."
Arghi terdiam kehilangan kata-katanya dengan banyak emosi yang tumbuh dan bergumpal di dalam dadanya dia menarik dirinya sendiri dalam kesadaran dan berjalan cepat penuh kehati-hatian menuju tepat ke depan kamar Galant, Arghi menekan salah satu tangannya pada pintu kayu di hadapannya sambil menarik napas dalam-dalam berusaha mengabaikan detak jantungnya yang melaju cepat.
"Galant? Aku akan membuka pintu, temanku tetangga kita berada di depan. Jika kamu selesai belajar, kamu bisa keluar dan bergabung," kata Arghi pada akhirnya.
"Baik." Hanya satu kata dari Galant yang menyebabkan Arghi kembali menelusuri jalan ke pintu depan, hal yang di masa yang akan datang akan membuatnya terbiasa dengan ini untuk tidak tanpa sengaja menendang ataupun menabrak benda-benda yang tidak akan bisa dia lihat.
Arghi merasakan rasa sakit menjalar dari kakinya saat ini ketika dia tanpa sengaja menendang ujung kaki meja yang tajam dengan terburu-buru hendak membuka pintu pada tamunya. Namun secepat rasa sakit itu datang cepat pula rasa sakit itu memudar tatkala pintu telah terbuka sepenuhnya dan Arghi berada di dalam pelukan seseorang yang dua tahun tidak pernah lagi Arghi dengar kabarnya.
Orang yang memeluknya ini adalah orang yang sama menawarkan kebahagiaan yang Arghi tolak tanpa kata. Seseorang yang membuat Arghi tanpa pikir panjang memilih jalan yang berkelok, mengenalkan Arghi pada dunia penuh warna di dalam kegelapan yang seolah mencekam. Arghi ingin melihatnya, melihat dengan kedua matanya sendiri. Bukan dengan sentuhan ataupun hatinya yang mengembang. Arghi ingin melihatnya setelah sekian lama.
"Arghi, salah satu kesalahan terbesarku adalah meninggalkanmu. Seharusnya aku tidak mendengarkanmu." Suara Reiki terbenam di balik leher Arghi yang menegang sama sekali belum mengatakan patah kata dari bibirnya. Tangan Reiki telah melingkar erat di pinggang Arghi menempel satu sama lain.
"Kamu mungkin tidak pernah tahu bagaimana aku hidup tanpamu selama ini. Aku tahu kamu pasti merasa sendirian, tetapi sekarang tidak lagi." Kalimat Reiki cukup membangkitkan keberanian Arghi untuk meraih sisi kepala Reiki dengan kedua tangannya dan membenturkan bibirnya sendiri pada bibir hangat Reiki yang menyambut Arghi dengan menyalurkan emosi kerinduan mereka masing-masing yang meluap naik seolah telah terkubur jauh di dalam dasar.
Arghi menarik diri dengan cepat, dia berkedip beberapa kali untuk membasahi matanya yang kering dan terasa perih. Dia kemudian berkata dengan kesungguhannya, "Aku juga. Aku menunggumu untuk pulang."