"Apa yang telah kau lakukan bersama Tuan Sean, Asyara!?" bentak Alma, sesaat setelah tangannya mendarat tepat di pipi Asya, dengan keras.
Wajah Asya berpaling, maniknya terbelalak. Seolah tak percaya dengan apa yang dilakukan Alma barusan, Asya masih mematung, bertanya pada dirinya sendiri apakah ini mimpi? Kenapa rasanya Asya tak bisa percaya dengan semua ini?
Alma menamparnya? Hey, itu tak mungkin!
Ingin sekali Asya berpikir dan meyakinkan hal itu adalah mimpi. Namun, rasa perih dan panas di pipi mulai terasa, menyadarkan Asya bahwa ini adalah kenyataan.
"Asyara! Apa yang telah kau lakukan?!" tekan Alma lagi sembari memegang pergelangan Asyara kuat. Alma lalu menarik gadis itu untuk mendekat. "Lihatlah Mama!" titah Alma, memaksa.
Asya melirik ke arah Alma, dengan manik berkaca-kaca. Namun hal itu tak gentar membuat Alma merasa iba sedikit pun.
"Asya! Kamu tau Tuan Sean ini adalah anak dari Pak Arman, 'kan?! Dia majikanmu! Untuk apa kau berdansa dengannya?! Apa kamu ingin harga diri kita diinjak-injak jika tau kamu adalah anak Mama?!" tanya Alma, tidak ini lebih cocok disebut sebagai peringatan daripada pertanyaan.
Asya tak bereaksi apa-apa, hanya mematung dengan air mengalir di pipinya. Ia menatap Alma tak percaya. Ibunya ini takut harga diri Asya diinjak-injak karena telah berdansa dengan Sean? Memangnya kenapa? Sean tak sekali pun merendahkannya di depan banyak orang. Asya tak merasa tertekan sedikit pun saat ia berdansa dengan Sean, malah Asya merasa senang sebab itu adalah pertama kalinya ia bisa menikmati acara pesta semeriah itu.
"Sadarlah! Kamu ini adalah anak pelayan! Mama mengatakan ini bukan untuk kamu merendah! Mama ingin kamu berhati-hati dalam bertindak. Tadi Mama mengajakmu untuk melihat pesta, meskipun sebentar, namun kamu malah menolaknya. Dan barusan, kamu malah ada bersama Tuan Sean! Apa hubunganmu dengannya? Katakan, jawab dengan jujur, apa hu—"
"Cukup!" potong Asya cepat, ia menatap Alma lamat-lamat. "Cukup, aku tak ingin mendengarnya lagi. Memangnya kenapa? Aku bersama Sean? Ya, dia hanya lelaki biasa, meskipun dari keluarga berada. Mama, aku tak suka saat Mama merendah diri. Memang mungkin, aku adalah anak pelayan, tapi semua manusia itu menginginkan kebahagiaan apapun bentuknya!" tekan gadis itu dengan suara bergetar.
"Dan Sean ... Dia ... dia hanya mengajakku. Aku hanya menerimanya, itu saja." Asya memalingkan wajahnya dengan suara yang memelan.
Alma terdiam menatap Asya. Jujur saja, wajah anaknya itu cantik sekali. Pertama kalinya Alma bisa melihat wajah Asya dipoles dengan make up, dengan gaun putih cantik melekat di tubuhnya. Jangan lupakan, saat ia berdansa dengan Sean, terlihat seperti putri raja dan pangeran tengah memandu kasih. Alma merasa bungkam, antara ia kagum dan tak menyangka. Tapi tetap saja, benak Alma benar-benar menolak keberadaan Asya yang bersama Sean, seolah-olah itu sangat menyinggung perasaannya.
"Jadi ... kebahagiaanmu itu bersama Sean? Sejak kapan kamu mengenalnya?" tanya Alma.
Asya langsung melirik ke arah Alma dengan mata terbelalak. "Kebahagiaan ...?" Asya tak mengerti mengapa Alma bisa menyimpulkan seperti itu. Gadis itu langsung berpaling, lalu melangkah cepat menuju ke ruangan khusus Alma.
BRAK!
Gadis itu menutup pintu dengan keras. Lalu pergi ke kamar mandi untuk mencuci wajah. Gadis itu menyalakan keran, lalu membasuh wajah bermake-up-nya dengan air, sejujurnya Asya ingin menangis saat itu juga.
Asya merasa kesal dengan Alma yang memarahinya, lalu menyimpulkan sesuatu dengan sepihak. Jika Alma tau bahwa Asya hanya iseng menerima ajakan Sean, bagaimana reaksinya? Di sisi lain, Asya juga sangat merasa tak enak karena telah melontarkan kata-kata serta tatapan tajam pada ibunya. Asya salah, ia tahu ini salah.
Selesai membasuh muka, Asya lalu menatap pantulan wajahnya di cermin. Beberapa polesan make up cukup susah untuk dibersihkan, tapi ia tak peduli. Asya hanya berpikir apa yang akan terjadi ke depannya.
Bagus! Alma dan Asya sekarang bertengkar, dan dengan cara apa Asya bisa memperbaiki hubungannya dengan sang ibu? Dan kebohongan yang ia lakukan bersama Sean tadi, mengaku bahwa ia pacar Sean, lalu berpura-pura mesra dengan lelaki itu, apakah hal itu akan jadi boomerang baginya?
Jangan sampai ini menjadi sebuah kesalahan, dan penyesalan bagi Asya ke depannya. Ya, Asya harap ini bukanlah kesalahan.
Di sisi lain, Alma masih terdiam menatap pintu ruangannya, lampunya masih menyala. Ia sengaja tak masuk ke sana untuk beberapa menit, Alma menunggu Asya untuk menenangkan diri. Wanita itu juga tak peduli dengan lukanya. Ia sadar telah berlebihan dalam memarahi Asya, bagaimana pun anaknya itu selalu memiliki alasan dalam melakukan suatu tindakan.
Setelah memantapkan diri, Alma masuk. Ia melihat Asya sudah tidur di atas single bad dengan selimut menutupi seluruh tubuhnya hingga kepala. Gadis itu mungkin sudah tidur, begitu yang dipikirkan Alma. Beberapa detik Alma terdiam, lalu memilih mematikan lampu agar Asya bisa nyenyak tidur.
"Selamat tidur, Asya. Maafkan Mama karena sudah memarahimu. Itu semua Mama lakukan agar kamu tak mengalami hal menyakitkan seperti Mama dulu," gumam Alma sembari mengusap rambut Asya yang menyembul sedikit dari selimut. Selanjutnya, ia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sementara itu, Asya kemudian membuka matanya, gadis itu terdiam saat mengingat kata kata Alma barusan. Ia diam-diam menangis.
"Maafkan aku, Mama ...."
***
Sean berjalan di tengah halaman rumahnya. Lelaki itu berjalan-jalan, sembari menatap ke arah langit malam yang hanya menampakkan bulan tanpa bingang-bintang berkelip. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana.
Udara malam yang dingin, membuat lelaki itu merasa rileks dan nyaman. Sean lalu duduk di salah satu kursi sembari menghela nafas pelan. Sayup-sayup suara pesta masih terdengar. Sean sudah tak peduli dengan berlangsungnya pesta.
Sejak kejadian Alma yang menyebabkan keributan, Sean rasa ia tak perlu mengikuti pesta itu lagi. Jelas sekali reaksi Asya yang begitu peduli pada Alma, gadis itu mengkhawatirkan keadaan ibunya. Dan tadi, saat Sean hendak menyusul Asya ke ruangan pelayan, samar-samar terdengar pertengkaran antara Asya dan Alma.
Sean bisa menebak, mereka berdua bertengkar pasti karenanya. Tapi, Sean tak peduli. Itu salah Asya karena menerima permintaan Sean dengan syarat yang sangat mudah. Benar, Sean tak harusnya mengkhawatirkan gadis itu. Mau bertengkar dengan ibunya pun, Sean tak seharusnya peduli.
Lelaki itu beralih mengodok saku jas-nya, sebuah kertas ia keluarkan. Kertas yang ia dapat saat bertemu dengan Asya. Karena kertas tak berguna itulah Asya menerima keinginan Sean. Sean terdiam menatap tulisan di kertas itu.
Sebuah puisi dengan gaya bahasa sangat indah. Karena itu Sean memungutnya..
"Sean." Panggilan seorang gadis membuat Sean langsung melirik ke arah sumber suara, ia langsung terbelalak saat menyadari siapa orang yang baru saja memanggilnya.
"Lathia ...?" tanyanya. "Kenapa kau ke sini?" Ucapan Sean mendadak dingin.
Lathia mengepalkan tangannya diam-diam, tatapannya tajam. "Baguslah," ujar Lathia, Sean sama sekali tak mengerti dengan maksudnya.
"Apa maksudmu?" tanya Sean tanpa mau beranjak mendekati Lathia.
"Gadis tadi, jika dia pacarmu, syukurlah jika aku memutuskan hubungan denganmu. Lelaki yang tak setia sepertimu memang seharusnya aku jauhi. Dasar tak berguna!"
***
~Bersambung~