"Asya," sambar Alma cepat sembari menatap Asya dingin. "Kalau kamu tak ingin ikut bersama Mama, maka jangan pernah kamu temui Mama lagi!" bentak Alma.
Manik Asya terbelalak seketika. Jantungnya terasa berhenti berdetak saat kata-kata menyakitkan itu terlontar dari mulut ibunya sendiri. Asya lalu menundukkan wajahnya dengan raut sedih.
Di sisi lain, setelah mengatakan kata-kata itu, Alma merasa menyesal. Apalagi sat menyadari raut wajah Asya yang nampak begitu murung. Namun, ini memang seharusnya ia katakan. Tak bisa ditahan lagi. Alangkah baiknya juga jika ia menjelaskan pada Asya, alasan mengapa ia memutuskan untuk memaksa Asya ikut tinggal bersamanya di rumah majikannya.
"Asya ...," panggil Alma berusaha melembutkan suaranya. Walaupun Alma tau, tak mudah memperbaiki suasana hati Asya yang terlanjur buruk karenanya. "Dengarkan Mama, jika kamu terus tinggal di rumah kontrakan ini seorang diri, Mama tak akan bisa tenang." Alma mulai menjelaskan. Hal itu membuat Asya perlahan menatap ibunya dan berusaha mendengarkan penjelasannya.
"Akhir-akhir ini, uang sewa kontrakan ini terus naik. Sedangkan gaji Mama hampir seperempatnya untuk membayar kontrakan rumah ini. Tahun depan, kamu juga mulai memasuki kelas dua belas, tentunya uang untuk ujian dan bulanan harus dipersiapkan dari sekarang, Asya," lanjut Alma berusaha agar membuat Asya mengerti.
Asya mengatupkan gigi-giginya kuat, lalu mengepalkan kedua tangannya. "Jika memang alasan Mama memaksaku untuk tinggal di rumah majikan Mama, bahkan tanpa seizinku, kenapa Mama tak mencarikan pekerjaan saja padaku?" tanya Asya menatap Alma serius. "Aku bisa bekerja paruh waktu, dan bisa membiayai sedikit dari kebutuhan sekolah dan keseharianku. Aku mampu melakukannya, Ma!"
"Tidak bisa, Asya," potong Alma cepat. "Apa kamu pikir, membiarkanmu sendiri tinggal di sini, membiarkanmu bekerja paruh waktu, apa kamu pikir Mama akan membiarkanmu dan menelantarkanmu? Tentu tidak, karena itu, Mama memutuskan untuk membawamu tinggal di rumah majikan Mama. Bukan Mama tak mau mengerti, Sya. Hanya saja, Mama juga tak ingin membiarkanmu terus tinggal sendirian di kontrakan yang kompleknya rawan kejahatan. Mama selalu merasa khawatir setiap saat. Mama sudah berulang kali mengatakan kekhawatiran Mama padamu. Kali ini, untuk ke sekian kali, Mama mohon, ikutlah bersama Mama. Tak ada yang salah di rumah majikan Mama," pinta Alma tulus.
Asya memejamkan matanya erat. Kebingungan melandanya. Sial, ia harus bagaimana? Jujur, Asya sangat tak suka bila harus tinggal di rumah majikan. Ia tak akan bebas, dan tentu setiap hari akan melihat ibunya mendapatkan bentakan dari majikannya. Namun anehnya, ibundanya itu tetap saja bertahan.
Asya menatap Alma dengan perasaan gundah, namun saat melihat ekspresi penuh harap Alma, Asya rasanya tak ingin mengecewakan ibunya. Untuk ke sekian kalinya Asya menolak, ke sekian kali pula Asya mengecewakan Alma. Gadis itu lalu menghela nafas berat. Bibirnya berat, terasa sulit untuk memberikan keputusan.
"Baiklah, aku tak punya pilihan," ujar Asya dengan suara pelan.
Mendengarnya, Alma langsung tersenyum senang, ia meraih tangan Asya dan menggenggamnya erat. "Syukurlah, Asya," gumamnya. "Mama sudah berbicara dengan ibu kontrak tadi. Dan sudah memberikan uang sewa terakhir. Sore nanti, kita akan berangkat ke rumah majikan Mama. Sekarang, tolong bantu Mama membereskan semuanya," ujar Alma cepat sembari bergegas berdiri dan mulai kembali melanjutkan aktifitasnya yang sempat tertunda.
Di sisi lain, Asya hanya terdiam menatap Alma yang nampak begitu senang dengan keputusan Asya. Gadis itu lalu menatap telapak tangannya sembari berpikir.
"Aku merasa, setengah hati untuk menuruti keinginan ibuku. Namun, semoga ini keputusan yang benar. Dan taka akan aku sesali suatu hari nanti," gumamnya dengan suara kecil yang tak terdengar sama sekali oleh Alma.
***
Langkah kaki Asya terhenti, tepat di depan sebuah rumah megah yang memiliki halaman berumput hijau yang begitu luas. Manik Asya tak lelah untuk sekedar melirik ke sana ke mari, seolah-olah mengagumi semua sudut yang terdapat di sana.
Bangunan berarsitektur modern tapi ditampilkan dengan sederhana. Taman bagian depan yang luas dan sangat nyaman, luas sekali layaknya lapangan. Langit pun terasa membentang dan terlihat dengan jelas. Mulut Asya sedikit terbuka tanpa sadar. Hingga gadis itu sedikit tersentak saat Alma menyadarkan lamunannya.
"Asya," panggilnya yang langsung membuat Asya melirik ke arahnya. "Ayo kita masuk, lewat pintu belakang," ajak Alma menarik tangan Asya. Dengan refleks, Asya mengikuti langkah ke mana Alma melaju. Hingga Alma mengeluarkan sebuah kunci dari saku bajunya dan memasukannya pada sebuah lubang pintu. Setelah itu pintu terbuka, Alma menarik koper besar berisi barang-barang Asya, diikuti Asya yang mengikuti di belakang layaknya anak bebek yang membuntuti induknya.
Asya kembali terhenyak dan membisu menatap seluruh isi ruangan yang kini ia pijaki. Ruangan yang begitu luas. Entah ruangan apa ini yang jelas, benar-benar megah, luas dan nyaman.
"Ini area pelayan. Kamu bisa tinggal di sini," ujar Alma saat menyadari raut Asya yang nampak penuh takjub.
Asya melirik ke arah ibunya sembari mengerutkan kening. "Area pelayan? Apa berarti ruangan ini hanya boleh dimasuki oleh pelayan?" tanya Asya heran.
"Benar. Bisa dibilang begitu. Sebab para tuan dan nyonya di rumah ini, jarang sekali masuk ke daerah sini. Kecuali Tuan Arman," jelasnya.
"Arman?" tanya Asya untuk ke dua kalinya.
"Tuan Besar di rumah ini. Ini adalah rumah milik Tuan Arman. Beliau biasanya datang ke ruangan ini seminggu sekali, sekedar untuk memeriksa laporan dari para pelayan," jelasnya.
Asya merasa jawaban ibunya cukup memuaskan. Hanya saja, dalam benak masih banyak sekali rasa penasaran. Ruangan yang luas ini tentu bukan hanya berisi fasilitas biasa, layaknya sebuah apartemen, semua furnitur begitu lengkap. Ruang televisi, kamar mandi, tempat cuci piring, dan beberapa perlengkapan lainnya. Walaupun tak terlihat mewah dan terkesan sederhana, Asya merasa ruangan khusus pelayan ini sudah cukup disebut sebagai rumah di dalam rumah. Ya, Asya akui rumah yang luas ini sepertinya berisi banyak ruangan dan furnitur-furnitur mewah. Melihat isi ruangan pelayan saja sudah membuat Asya ternganga, apalagi ruangan khusus para majikan.
"Kamu masih ingin mengenal tempat ini? Kalau begitu, Mama pergi ke kamar duluan, ada di kamar paling pojok. Kamu akan tau nanti, tanyakan saja pada pelayan lain jika kamu sulit menemukan Mama," ujar Alma sembari melangkah menarik koper milik Asya menuju kamarnya.
Asya tak mengangguk, tak juga melirik Alma. Gadis itu tanpa sadar melangkah sembari mengedarkan pandangannya ke arah sekitar. Ia menuju tangga, yang menghubungkannya pada lantai atas. Satu demi satu anak tangga Asya naiki, hingga langkah gadis itu terhenti di lantai dua, ruangan yang sama dengan lantai di bawah. Bedanya, lantai dua penuh dengan kamar-kamar. Dan sepertinya tiada penghuni di sana. Sebab, daerahnya begitu sepi, dan pintu-pintunya tertutup rapat.
Kalau saja Asya berada di suasana mencekam, Asya setuju kalau lantai dua yang ia tempati sekarang adalah lantai yang terkesan horror. Asya lalu berjalan cepat ke depan, membelah lorong yang berada di antara kamar-kamar, dan akhirnya sampai di balkon lantai dua. Angin berhembus sangat kencang saat Asya membuka pintu yang terhubung dengan balkon. Asya langsung menutup matanya erat.
Trak! Trak! Trak!
Asya mengerutkan keningnya, saat mendengar suara-suara aneh dari atap di samping balkon, dengan mata menyipit ia mendekat, dan berusaha melihat jelas apa yang jadi penyebab suara-suara aneh itu.
Dan seketika Asya terbelalak, maniknya terbuka lebar dengan mulut yang siap berteriak kencang. Di depannya itu, ada seseorang dengan hoodie hitam tengah berjalan di atas genting dan berusaha menuju ke arahnya. Asya tak bisa menahan lagi kekagetannya.
"AAAAAAAAA!" teriaknya kencang.
***
—Bersambung—