Asya yang masih setengah sadar melirik ke arah Sean, Asya beberapa mengerjapkan mata untuk menetralkan penglihatannya,dan saat itu juga, Asya langsung terbelalak. "Kamu lelaki yang tadi itu? Oh, kenapa bisa kamu ada di sini?! Apa jangan-jangan kamu akan melakukan hal buruk padaku?!" tanya Asya bertubi-tubi.
Tak!
"Aw!" Asya meringis saat Sean menyentil keningnya. Ia berjengit kesakitan lalu dengan cepat nengusap-usap keningnya yang terasa sakit akibat sentilan Sean.
Sean menarik lengan gadis itu agar berdiri. "Cepatlah sadar dari tidurmu! Pakai gaun terbaikmu dan berdansa-lah denganku!" titah Sean cepat dan memaksa Asya untuk mengikuti langkahnya yang menggebu-gebu.
Asya masih mengeryit tak mengerti. Gadis itu tak tahu apakah ia tak mengerti karena ucapan Sean yang sulit dipahami atau karena pikirannya belum sepenuhnya kembali setelah tidur?
"Tunggu!" tahan Asya sembari menghentikan langkahnya. Otomatis, langkah Sean yang cepat-pun, berhenti.
Sean melirik sekilas. "Ada apa?" tanyanya.
Asya mengeryit. "Harusnya aku yang bertanya ada apa padamu! Kenapa kamu tiba-tiba menarik tubuhku? Kamu mau membawaku ke mana? Dan apa maksud pertanyaanmu tadi, hah? Dansa? Apa maksudnya?!" tanya Asya.
Sean menatap Asya dingin, sekaligus kesal. Tapi, baiklah. Ini memang salah Sean yang mengambil keputusan secara sepihak tanpa persetujuan dari Asya. Ia akan menjelaskannya baik-baik sekarang.
"Baiklah, dengarkan aku. Aku butuh bantuanmu sekarang," ujar Sean memulai.
"Bantuan? Kau meminta bantuanku?" tanya Asya memastikan. Asya tak salah dengar, 'kan?
Sean langsung mengangguk cepat. "Ya, aku membutuhkan bantuanmu. Sekarang," lanjutnya.
Entah kenapa, Asya merasa tak percaya dengan apa yang diucapkan Sean sekarang. Bukan apa, tapi hampir setengah jam yang lalu, lelaki itu memarahi Asya dan melayangkan tatapan penuh kebencian. Lalu sekarang? Lihatlah, tatapan Sean begitu berbeda. Asya melihat sirat memelas terpancar dari wajah Sean. Asya jujur saja ingin tertawa terbahak-bahak sekarang.
"Aku, ingin berdansa denganmu malam ini. Di pesta penyambutan kakakku. Tolonglah. Aku juga ingin memanas manasi Lathia karena telah menolakku," pintar Sean menatap Asya serius.
"Berdansa?" tanyanya.
"Ahaha! Pffft!" Asya memegang perutnya, lalu tertawa geli hingga Sean langsung mengeryitkan keningnya. Lelaki itu langsung melotot.
"Kenapa kamu menertawaiku? Apa ada yang lucu?!" tanya Sean yang tak sudi ditertawakan.
Asya akhirnya selesai tertawa setelah hampir satu menit. Gadis itu lalu mengambil nafas banyak dan menghempaskannya. "Baiklah. Aku akan menurutinya, tapi tentu, tak semudah itu. Aku memiki syarat untukmu."
"Apa? Cepat katakan. Aku tak punya banyak waktu," titah Sean tergesa.
"Aku ingin kertas yang waktu itu kamu bawa, dikembalikan padaku. Siapa tau itu dokumen penting, aku akan segera mengembalikan bukunya ke perpustakaan," ujar Asya jujur. Memang, syarat yang ia berikan itu sangatlah mudah. Bahkan tak setimpal dengan apa yang ia lakukan untuk Sean.
Sean berdecih. Tapi di sisi lain ia bersyukur karena Asya tak memberikan syarat yang sulit baginya. "Aku menyanggupinya. Aku akan memanggil tukang rias untuk mendandanimu, diamlah di ruangan pelayan ini," ujar lelaki itu serius. Selanjutnya, Sean melangkah cepat, meninggalkan Asya di sana. Sedangkan Asya, hanya terdiam. Gadis itu duduk di salah satu kursi yang ada di lantai dua.
Asya menghela nafas. Menyanggupi keinginan Sean? No matter. Hanya untuk malam ini, 'kan? Lagi pula, ibunya—Alma tengah sibuk melayani para tamu, bulak balik dapur untuk menyajikan makanan dan jamuan. Dan Asya juga sudah menyelesaikan PR-nya. Ia tak memiliki schedule apapun malam ini.
Tak lama kemudian, Sean datang bersama tukang rias yang lelaki itu bicarakan. Gaun berwarna putih seputih salju Sean bawakan. Tiada seorang pun yang tahu, bahwa Sean keluar masuk area pelayan selain Asya, Lathia dan penata rias. Namun, Sean tak sedikit pun memikirkan konsekuensinya, karena ia adalah anak dari majikan rumah ini, Sean rasa itu tak akan menjadi masalah.
Beberapa menit kemudian, penata rias telah selesai memoles wajah Asya. Sentuhan terakhir yang Asya Terima adalah liptint berwarna merah muda merona yang dioleskan di bibirnya.
"Sudah selesai," ujar wanita penata rias itu tersenyum. "Dari yang aku dandani hari ini, kamu yang paling mudah untuk dirias. Wajahmu sudah cantik walaupun tanpa make up," lanjutnya.
Asya hanya tersenyum kecil mendengarnya. Ia menatap pantulan wajahnya di cermin kecil. Wajahnya sudah dipolesi make up sekarang. Benar-benar menyebalkan bagi Asya sebenarnya. Sebab Asya merasa tak nyaman, karena tak terbiasa menata wajahnya seperti ini.
Setelah itu, Asya segera menuruni tangga ke lantai bawah, ia mendapati Sean tengah duduk di salah satu anak tangga dan belum menyadari keberadaan Asya di belakangnya. Saat Asya hendak menyapa Sean, kaki gadis itu tak sengaja terpeleset, mungkin karena high heels yang tak biasa ia kenakan. Akhirnya, tubuh Asya terhuyung ke depan dengan kaki yang sedikit terkilir.
Sean langsung sadar dan dengan cepat lelaki itu berdiri untuk menangkap tubuh Asya. Asya meringis kecil, sekaligus kaget sekali. Dasar high heels sialan! Asya benar-benar muak dengan ini. Gadis itu terdiam beberapa saat sadar bahwa Sean sedang menahan tubuhnya sekarang. Tangan lelaki itu melingkar di pinggang mungil Asya, dan kedua tangan Asya mendarat di tubuh bidang lelaki itu. Aroma parfum mint yang menyegarkan menyeruak ke hidung Asya. Aroma parfum yang baru pertama kali ini Asya cium.
Perlahan, Asya mendongak, menatap wajah Sean yang sangat dekat dengannya. Lelaki itu juga menatapnya, tanpa ekspresi. Sean tertegun beberapa saat sembari menelisik wajah Asya.
"Kau berbeda sekali," ujar Sean tanpa sadar.
Asya tersadar dari lamunannya. Dan segera menjauh dari tubuh Sean. "Ekhem." Asya berdeham, "ya, aku memang jarang sekali menghadiri pesta. Jadi aku jarang merias wajahku. Oh, dan high heels ini, benar-benar tak nyaman," keluh Asya sembari menghentak-hentakkan high heel berwarna putih miliknya. Bukti bahwa ia kesal karena Sean malah memberinya high heels itu. Namun, sejujurnya, Asya berusaha menghilangkan wajah memerahnya karena telah jatuh ke pelukan Sean.
Sean tak menjawab, lelaki itu hanya menatap Asya dari atas ke bawah. Gaun putih seputih salju itu membuat wajah Asya benar-benar bercahaya. Persis seperti rembulan yang amat cantik. Sean tak ingin menunda lagi, lelaki itu mengulurkan tangan kanannya pada Asya, sukses membuat Asya mengangkat sebelah alisnya.
"Malam ini, hanya untuk malam ini, aku mohon. Berdansa-lah denganku, sebagai sepasang kekasih. Hanya untuk malam ini," ujar Sean dengan tatapan serius.
Asya merasakan jantungnya terasa berhenti berdetak saat mendengar penuturan Sean. Sebagai sepasang kekasih? Bukannya Sean hanya mengajaknya untuk berdansa saja? Tapi, saat mengingat bahwa Sean mengajaknya karena ingin memanas manasi Lathia, Asya rasa ia harus memaklumi.
"Hanya untuk malam ini."
**
—Bersambung—