Kubanting pintu kamar dengan sekuat tenaga hingga menimbulkan getaran di dinding. Lagi, semuanya terulang kembali. Rasa sakit di masa lalu dengan hati yang kembali hancur harus kurasakan untuk kedua kalinya.
Dan yang lebih sulit lagi adalah menerima kenyataan bahwa penyebabnya adalah orang yang sama. Farida, lagi-lagi dia yang membuatku ada di posisi ini. Kenapa selalu dia? Kenapa harus dia? Tidak adakah lelaki lain yang bisa dia jadikan sebagai suami selain lelakiku?
Dadaku perlahan semakin sesak, di tambah tangisan Rizky yang semakin kuat. Aku menggendongnya memeluk sambil menangis tersedu-sedu. Menumpahkan semua emosi dan rasa sakit sambil mencoba menenangkan Rizky.
Di luar kamar, Habib dan Farida sibuk menggedor-gedor pintu untuk memaksa masuk. Tidak akan kubiarkan mereka masuk, aku sudah muak melihat wajah-wajah pengkhianat itu di hadapanku. Setidaknya untuk malam ini aku tahu, bahwa Habib tidak pernah benar-benar bisa menepati janjinya.
"El, buka pintunya. Rizky menangis di dalam, Mas akan menenangkannya!" kata Habib dengan suara yang beradu kuatnya dengan tangisan Rizky.
Semakin kudengar suaranya, semakin sakit hatiku rasanya. Hingga Habib memaksa masuk dengan mendobrak pintu, membuatku terperanjat hingga berdiri gemetar ketakutan saat Habib mendekat.
"Jangan mendekat! Aku tidak sudi di sentuh lelaki pengkhianat sepertimu!" kataku memperingatinya yang baru maju selangkah ke dalam kamar.
"El, tolong jangan seperti ini. Mas bisa jelaskan semuanya."
"Cukup! Jawabanmu sudah cukup jelas di mataku, Mas. Kamu bahkan berani mendatangi kamar Farida tanpa seijinku. Apa lagi yang harus kudengar? Semakin kamu berusaha menjelaskan semakin hancur hatiku kamu buat!" pungkasku menolak.
Mira datang dengan tergopoh-gopoh begitu mendengar Rizky menangis. Dia masuk dan langsung mengambil bayi berusia tiga bulan itu untuk di tenangkan olehnya. Selama tiga bulan, Rizky lebih banyak menghabiskan waktu bersama Mira, jadi dia pasti tahu bagaimana caranya menenangkan bayi itu.
Kutatap satu per satu mata dua orang pengkhianat itu, mereka sama sekali tidak terlihat merasa bersalah. Bahkan Farida terlihat puas dengan apa yang dia lakukan setelah berhasil membuat Habib jatuh cinta padanya.
"Mir, tolong kamu tidurkan Rizky. Saya mau menenangkan diri dulu, sendirian!" kataku pada Mira dengan penekanan di kata terakhir.
Aku pergi keluar, niatnya ingin ke kamar Azka saja dari pada disini yang nantinya harus bertemu dengan Habib terus. Lelaki itu sampai ingin menyusul, tapi Mira segera mencegahnya dengan alasan harus memberiku ruang untuk menenangkan diri.
Menutup pintu perlahan, aku pun menghampiri Azka yang masih terbaring dengan mimpi indahnya. Melihat wajahnya yang tenang, membuatku teringat dengan bang Fahri yang selalu ada di saat-saat aku sedih seperti ini.
Bang, lihatlah adikmu ini. Dia kembali di lukai oleh luka yang sama, dan kali ini jauh lebih menyakitkan. Aku harus mengadu pada siapa? Bahkan untuk menangis saja aku masih tidak tega jika harus di lakukan di depan Azka.
Rasanya seperti ada ribuan bongkahan batu yang menghantam dadaku. Sakit, sesak dan pedih. Ingin marah, melempar semua barang-barang yang ada di sekitarku, tapi tanganku terlalu lemah untuk itu. Bahkan aku masih tidak sanggup berdiri karena terguncang dengan kejadian tadi.
"Bu, sarapan dulu, yuk!" ajak Mira saat pagi tiba. Aku masih duduk termenung di kamar Azka sambil memakaikan dasi di lehernya.
"Saya belum lapar, Mir. Kamu ajak Azka sarapan duluan, ya? Nanti saya nyusul."
"Tapi ..."
"Mir." Aku mengangguk lemah dengan senyum setipis kertas.
"Baik, Bu. Ayo, Azka! Kita sarapan dulu, nanti Mbak Mira antar kamu ke sekolah!"
Azka sempat melihatku sebentar, sebuah senyuman akhirnya bisa meyakinkan dia bahwa aku baik-baik saja. Di balik pintu yang tertutup kembali, aku pun menangis lagi. Susah rasanya menahan tangis di depan semua orang, terutama Azka yang kelihatan begitu paham akan kondisi ammahnya ini.
Menyeka air mata, berusaha tersenyum, tapi kembali menangis. Tidak bisa, aku tidak bisa berhenti. Habib sudah seperti separuh jiwa yang selama ini membantuku terus bertahan hidup, rasanya berbeda ketika jiwa itu tiba-tiba di rebut raga lain.
Lalu sekarang apa? Bagaimana caranya aku menghadapi Habib dan Farida di meja makan nanti? Berdiri perlahan, aku pun tertegun ketika melihat Habib sudah berdiri di ambang pintu.
"El, kamu ... baik-baik saja?"
Aku tersenyum dengan mata yang terus meneteskan air asin. "Setelah kamu menyatakan cinta pada perempuan lain, bagaimana bisa aku tetap baik-baik saja?" tanyaku pula.
Habib menggeleng dengan langkah kaki yang perlahan masuk ke kamar. Apa? Dia mau membujukku? Sudah terlambat. Dimataku dia tetaplah seorang pengkhianat yang tidak bisa menjaga kepercayaanku.
Dia mendekat, semakin dekat hingga hampir bisa menyentuhku. Tapi dengan cepat aku kembali menjauh darinya, memberi sedikit peluang baginya untuk bisa menyentuh tubuh ini. Rasanya jijik jika harus di sentuh lelaki yang berkhianat, seperti najis yang aku sendiri tidak tahu dengan apa mensucikannya.
"Mas akui, Mas salah. Mas sudah mengkhianatimu dengan jatuh cinta pada Farida. Tapi apa kamu tidak berpikir, semua ini juga karena ulahmu?" tanya Habib membuatku menatapnya dengan mata berapi-api.
"Ulahku? Apa selama ini aku berbuat ulah?Apa aku pernah bermain api dengan lelaki lain? Apa aku pernah menghubungi Umar, yang bahkan adalah cinta pertamaku?" Aku menggeleng tak percaya. "Tidak pernah, Mas!"
"Lalu bagaimana dengan Faisal? Dia sering menemuimu, bahkan kalian sering pulang bersama setelah menjemput anak-anak. Apa menurutmu dia melakukan itu hanya karena kita tinggal dalam satu komplek yang sama?!"
"Iya! Kenapa?"
"Lalu apa kamu tidak menyadarinya? Faisal ... dia mencintaimu, El."
Aku tertunduk, menangis sambil berusaha menyeka air mata yang sebenarnya tetap menganaksungai di pipi. Bahkan jilbab panjangku sendiri sudah basah karena air mata, hingga bisa di peras rasanya.
"Setidaknya aku masih menjaga perasaanku, bukan sepertimu yang malah membuka hati untuk Farida!"
"El—"
"Apa?! Kamu pernah berjanji akan setia padaku, Mas. Bahkan pernikahan ini hanya untuk menyelamatkan kehamilan Farida, bukan untuk mencintainya. Kamu sadar itu! Kamu ingat itu?!"
"Iya, Mas ingat. Tapi—"
"Tapi kenapa Mas Habib malah jatuh cinta pada Farida? Dulu Mas sangat membencinya, kenapa sekarang jadi begini? Jika Mas cemburu karena aku terlalu sering bertemu pak Faisal, bilang langsung padaku, Mas. Bukan begini caranya. Bahkan aku bisa menilai, bahwa Umar menyimpan cintanya dengan jauh lebih baik dari pada kamu!"
Habib terdiam, seolah dia sadar akan tindakannya yang sudah jelas-jelas salah. Memori tentang Umar dan Habib pun kembali terputar, dimana mereka hidup berdampingan dengan satu cinta yang sama, namun perlakuan berbeda.
Bukan maksudku membanding-bandingkan mereka, tapi aku hanya mengenang seperti apa dua lelaki yang pernah mencintaiku ini menjaga cinta mereka. Hingga aku tahu, siapa yang tulus dan siapa yang modus.
"Tapi kamu dan Faisal—"
"Demi Allah, aku tidak mencintainya! Cintaku, hanya untukmu. Tapi kurasa cintamu sudah bukan untukku lagi!"