Mira, wanita dengan rambut sebahu itu turun ke bawah menuju dapur setelah memastikan Rizky aman di box tidurnya. Dia mendatangi Farida yang ternyata sedang mempersiapkan makan malam untuk semua orang.
Kebetulan waktu itu baru saja selesai sholat maghrib, jadi Habib dan Azka belum pulang. Biasanya mereka tidak langsung pulang, karena akan mengaji bersama anak-anak lainnya di masjid sampai waktu isya tiba. Itu adalah kebiasaan Azka sejak masih tinggal bersama ayahnya dan masih berlanjut sampai sekarang.
Mira melihat potongan cumi, beberapa bawang bombai dan juga kentang. Sepertinya Farida akan memasak cumi asam pedas dengan saos teriyaki. Untuk itu Mira membantu membersihkan bawang mombai yang belum di kupas.
"Bagaimana keadaan mbak El?" tanya Farida pada Mira. Sejak kejadian tadi siang, aku memang belum keluar dari kamar sampai sekarang.
"Bu El sedang istirahat di kamarnya. Dia benar-benar lemah, bahkan tangannya sampai harus di pasang infus oleh dokter tadi," jawab Mira apa adanya.
Ekspresi Farida mendadak sendu saat itu. Mira hanya melirik sambil tangannya terus bergerak mengupas dua siung bawang bombai. Mira sempat berpikir, apakah Farida pernah sadar bahwa apa yang dia lakukan selama ini sudah keterlaluan?
Wanita dengan perut buncit dan baju tunik panjang serta celana kulot itu hanya bisa menundukkan kepala sambil mengiris-iris cumi yang sudah di bersihkan sebelumnya. Farida tampak seperti sedikit canggung ketika berhadapan dengan Mira.
"Saya heran, kenapa Bu Farida melakukan ini pada bu El," ucap Mira memulai pembicaraan dengan tangan sibuk mengiris bawang.
"Melakukan apa?" tanya Farida sok polos.
"Apa Bu Farida tidak sadar, bahwa apa yang Ibu lakukan ini sudah keterlaluan?"
Farida selesai dengan potongan cuminya, dia memutar badan sembilan puluh derajat untuk bisa berdiri menghadap Mira dan menatap mata wanita itu. "Keterlaluan bagaimana?"
"Dengan mencium pak Habib di saat dia tidur, apa Ibu pikir itu tidak keterlaluan?"
"Tapi saya istrinya, tidak ada larangan bagi seorang istri untuk mencium suaminya."
Mira tersenyum miring. Masih belum mengerti juga letak kesalahannya dimana? Dasar perempuan munafik. Sepertinya memang kehadiran nyonya Laila membuat Farida berpikir jika Habib adalah suami yang berhak untuk dia sentuh.
Padahal, pada dasarnya pernikahan itu hanya untuk menyelamatkan kehamilannya saja. Tidak lebih dari pada itu, bahkan Mira juga tahu bahwa pernikahan ini akan berakhir sepuluh bulan lagi. Sudah di tolong, tidak tau terima kasih pula. Itu yang Mira tangkap dari sosok Farida.
"Suami istri, itu hanya status, Bu Farida. Bukan berarti Ibu berhak melakukan hal-hal sejauh ini. Mencintai pak Habib itu tidak salah, tapi yang salah adalah ketika Ibu memaksa dan berusaha merebut pak Habib dari bu El."
"Aku tidak pernah berusaha merebut mas Habib dari siapapun. Bahkan tanpa melakukan itu pun, mas Habib sudah menjadi milikku. Dia sudah menjadi suamiku!"
"Haduh, Bu. Kenapa masih tidak mengerti juga? Jangan mentang-mentang bu El dengan berbaik hati menyuruh suaminya menikahi Ibu, maka sekarang Bu Farida malah berbuat seenaknya. Sampai kapanpun, pak Habib akan menjadi suami bu El dan tidak akan pernah berubah. Apa bu Farida tidak sadar, posisi Ibu di rumah ini adalah orang yang paling di kasihani. Bahkan pak Habib pun sampai rela berpura-pura baik di depan nyonya Laila hanya demi menjaga perasaan Ibu." Mira kembali melanjutkan mengiris bawang.
Untuk sejenak Farida terdiam. Dia memindahkan potongan cumi ke dalam wadah setelah sebelumnya di potong kecil-kecil lalu di cuci. Dengan lirikan mata, Mira melihat bahwa Farida sebenarnya kepikiran dengan apa yang dia katakan barusan.
"Jangan memanfaatkan kebaikan bu El, Bu. Karena kita tidak pernah tahu, hal buruk apa yang bisa dia lakukan ketika sudah muak dengan seseorang," pesan Mira sebelum menyerahkan irisan bawang bombai pada Farida.
Dia kemudian mengambil cabai dan bawang untuk mulai menghaluskan bumbu dengan blender. Hanya ada suara blender yang menyala ketika mereka berdua sama-sama terdiam. Farida seperti kehabisan kata-kata untuk membalas perkataan Mira, dan saat itu juga Mira tersenyum simpul.
Sambal kentang, cumi saos teriyaki dan juga nasi putih sudah tersedia di atas meja makan. Mira sempat menggoreng kerupuk dan juga membuat bakwan sebagai makanan pendamping nanti. Tak lupa pula beberapa potong buah semangka dan pisang dia taruh di atas meja sebagai makanan pencuci mulut.
"Mira," panggil Farida sebelum Mira melangkah pergi. "Aku tidak akan merebut mas Habib dari mbak El, tapi aku tidak akan menolak kalau mas Habib sendiri yang datang padaku," katanya pula.
Mira yang tadinya sudah hendak pergi menuju kamarku, lantas berbalik badan dan melangkah maju mendekati Farida. Dia mendekap kedua tangan di dada sambil tersenyum tipis.
"Pak Habib tidak akan pernah datang, dia bahkan ingin segera keluar dari pernikahan ini. Kalau memang Ibu masih punya hati nurani, jangan paksa dia untuk tetap tinggal, karena itu hanya akan membawa malapetaka!"
Mira pergi begitu saja setelah mengatakan hal demikian. Dia merasa puas karena sudah bisa mengatakan unek-unek yang selama ini mengganggu pikirannya. Sampai di kamar, dia langsung menemuiku yang masih asik membaca Al-Qur'an.
Senyum hangat darinya selalu memberi semangat tersendiri bagiku, dan ketika dia duduk dan menceritakan semua yang dia dan Farida lakukan, aku sedikit terkejut sampai bingung harus berkomentar apa.
"Kenapa kamu berkata seperti itu?" tanyaku.
"Saya hanya tidak suka kalau bu Farida terus-terusan memanfaatkan kebaikan Bu El dan pak Habib, kalau dibiarkan terus dia bisa ngelunjak, Bu."
"Tapi tidak seharusnya kamu bicara seperti itu padanya. Bagaimana jika dia merasa tersinggung dan mengadu pada mas Habib? Masalah ini akan tambah rumit nanti."
Mira memegang tanganku dan mengelusnya. "Ibu tidak usah khawatir, saya yakin dia tidak akan berani mengadu pada pak Habib. Kalau dia sampai mengadu, itu sama artinya dengan mempermalukan diri sendiri. Toh, pak Habib juga tahu kalau pernikahan ini bukan untuk selamanya."
Aku hanya bisa menghela napas. Lega juga karena akhirnya ada orang yang benar-benar peduli padaku. Sekalipun Mira hanya seorang pengasuh bayi, tapi setidaknya dia bisa menjadi orang pertama yang membelaku dan mengerti perasaanku.
Tak lama kemudian pintu terbuka, menampilkan sosok lelaki dengan peci dan baju koko yang masih melekat di tubuhnya. Dengan brewok tipis juga senyum singkat, dia mendekat. Mira langsung berdiri dan keluar dari kamar, dia tidak ingin menggangguku dan Habib.
"Bagaimana keadaanmu? Sudah lebih baik?" tanya Habib yang duduk di sampingku—di tempat tidur.
"Alhamdulillah, meski masih sedikti lemah tapi aku merasa sudah lebih baik."
"Syukurlah kalau begitu. Mas terus kepikiran selama di masjid tadi. Takut kalau sampai keadaanmu memburuk."
"Dimana Azka?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Di kamarnya. Dia sudah tidak tahan ingin buang air katanya."
Aku hanya mengangguk. Mataku terasa berat sekali, sepertinya ada lingkaran hitam di bawahnya yang sudah memaksaku untuk tidur.
"Maafkan Mas, soal ciuman dan pelukan Farida waktu itu ..."
"Sudahlah tidak usah di bahas. Aku tidak mau mengingatnya lagi."
"Tapi Mas sungguh tidak tahu kalau Farida mencium Mas, bahkan pelukan itu juga sudah Mas tolak. Tapi Farida—"
"Mas, hentikan! Semakin kamu menjelaskan kejadian itu, hanya akan membuat hatiku semakin sakit. Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah percaya padamu, entah kamu bisa di percaya atau tidak, aku akan berusaha percaya. Dan kuharap kamu tidak menyalahgunakan kepercayaanku."