Pesta sudah usai. Aku, Habib dan Farida pun kembali ke rumah sekitar jam sepuluh malam. Saat ini Azka dan Rizky pasti sudah tidur, sebab mereka selalu tidur di bawah jam sembilan. Kecuali Rizky yang kadang suka bangun dan membuat Mira harus terjaga semalaman.
Kadang aku juga ikut bangun, ya intinya bergantian dengan Mira agar dia bisa beristirahat dengan cukup. Tapi untuk keadaanku yang sekarang gampang sakit, Mira tentu jauh lebih waspada lagi. Dia tidak ingin terbangun di malam hari terlalu sering membuta ginjalku bermasalah dan merembet ke kandungan.
"Mas, bisa tolong aku sebentar?" pinta Farida setelah beberapa menit aku di kamar. Dia kembali datang dengan pakaian yang sama, baju gamis pink serta make up yang masih menghiasi wajahnya.
"Ada apa?" tanya Habib santai tanpa menoleh sambil membuka kancing pada pergelangan tangannya.
"Aku kesulitan membuka restleting di punggu, bisakah kamu membantuku?"
"Biar aku saja yang—"
"Tidak usah, El. Biar Mas saja," sela Habib menahanku yang baru saja hendak berdiri.
Lelaki itu berjalan menuju pintu dan mengajak Farida ke kamarnya untuk membuka resleting baju gamis yang 'katanya' sulit di buka itu. Apa kehamilan usia lima bulan benar-benar membuat tangan Farida menjadi pendek, sampai-sampai dia tidak bisa membuka resleting bajunya sendiri?
Tunggu dulu, jika Habib membantu Farida membuka resleting, itu artinya Habib akan melihat punggung Farida untuk pertama kalinya. Lalu bagaimana tanggapannya nanti? Aku sedikit khawatir kalau sampai Habib kembali terpesona, sama seperti saat dia melihat wajah Farida penuh riasan sebelum berangkat ke pesta tadi.
Dengan inisiatif hati, aku pun pergi ke kamar Farida untuk mengintipi mereka. Sebenarnya aku hanya berusaha menghilangkan rasa penasaran dalam diri, jadi tidak ada salahnya bukan?
"Resletingnya macet, mungkin bisa diberi minyak dulu supaya licin," kata Habib yang berusaha membuka resleting di punggung Farida.
"Coba pakai ini, Mas," kata Farida pula sambil memberikan botol minyak rambut pada Habib.
Lelaki itu menerimanya dengan senang hati dan mulai mengolesi resleting dengan minyak rambut. Perlahan, belahan baju itu terbuka meski harus dengan usaha ekstra. Memperlihatkan lekuk tulang punggung Farida dengan kulit putih nan bersih miliknya.
Sebuah tali hitam ada di dalamnya, dan itu membuka Habib menelan saliva dengan susah payah karena tidak menyangka jika dia bisa melihat tubuh wanita lain selain aku. Mungkinkah dia berpikiran begitu? Kurasa iya.
"Sudah terbuka, Mas pergi ke kamar dulu," kata Habib langsung bergegas pergi.
Tapi Farida menahannya, menarik tangan pria itu agar tetap berdiri di hadapannya. "Bisakah Mas tidur bersamaku malam ini? Kurasa sudah cukup tidur bersama mbak El."
Entah apa maksud Farida menggigit bibir bawah seperti itu, tapi jelas hal itu membuat Habib ketar-ketir sampai berusaha mengalihkan pandangan ke arah lain. Berulang kali Habib ingin pergi, tapi Farida selalu menahannya.
"Ayolah, Mas! Aku juga istrimu, kamu harus berlaku adil padaku. Seperti yang dikatakan rekan kerjamu, rumah tangga kita semua akan baik-baik saja selama suaminya bisa berlaku adil." Wanita berperut buncit itu terus merayu Habib sambil memeluk lengannya.
Dari celah pintu aku bisa melihat wajah gelisah Habib seperti apa. Padahal posisinya sudah berbalik badan untuk melangkah ke arah pintu, tapi lagi-lagi Farida menghalangi pandangannya dengan muncul membelakangi pintu.
"Apa yang kamu lakukan?!" sergah Habib menepis tangan Farida yang menyentuh bibir Habib.
"Mas, aku ingin kamu tahu kalau pagi itu aku memang sengaja menciummu."
"Jadi kamu benar-benar melakukannya? Lalu yang dikatakan Mira dan Azka itu benar?" Farida mengangguk yakin. "Kenapa kamu melakuan itu? Bukankah—"
"Mas Habib, aku tidak bisa berpura-pura lagi. Aku ... aku jatuh cinta padamu dan itu kenyataan yang tidak bisa menahannya."
Habib menggeleng. Dia terlihat tidak percaya dengan apa yang Farida katakan. Mungkin lebih tepatnya tidak menyangka kalau Farida bisa semudah itu mencintainya, padahal dulu jelas-jelas wanita ini hampir membencinya setengah mati karena bisa memberikan kehidupan terbaik untukku, istrinya sendiri.
Lalu dengan seenteng kapas, Farida mengakui cinta yang tak pernah di harapkan. Aku pun terkejut mendengarnya, Farida sudah berani mengakui cintanya, itu berarti Farida sudah terang-terangan menginginkan Habib.
"Kamu tidak boleh mencintai Mas, Farida. Tidak boleh!" Aku langsung menyembunyikan diri dari celah pintu ketika Habib menatap ke arahku sebelum dia melangkah. Tampaknya Habib memang sudah tidak tahan dan ingin segera pergi dari kamar Farida.
"Kenapa tidak boleh, Mas? Bukankah ini hal wajar? Memangnya kamu tidak mencintaiku?"
"Tentu saja tidak! Orang yang selama ini Mas cintai hanya El, tidak ada orang lain!" bantah Habib langsung dengan berbalik badan sekali lagi.
Aku kembali mengintip, ingin tahu apa yang Habib lakukan untuk menunjukkan rasa cintanya padaku. Jika dia benar-benar mencintaiku, dia pasti akan menolak cinta Farida, bukan? Namun sayangnya Farida tak sengaja melihatku, dan membuat matanya seolah tersenyum.
"Tidak adakah cinta untukku di hatimu? Sedikit saja, aku tidak perlu semuanya. Aku hanya ingin kamu memberi sedikit ruang untukku di hatimu, Mas."
"Mas ... soal itu ..." Tunggu, kenapa Habib tampak ragu menjawab?
"Terima kasih, keraguanmu sudah menjadi jawaban untukku."
"Hah? Ap—apa maksudmu?"
"Seseorang yang ragu mengatakan sesuatu, itu bertarti dia telah meragukan sesuatu yang dia rasakan. Jika Mas ragu menjawab pertanyaanku, maka boleh di pertanyakan. Apakah Mas masih mencintai mbak El seutuhnya, atau cinta itu telah terbagi untukku."
Habib sekali lagi menggeleng dan kali ini di sertai dengan tarikan tangan yang membuat Farida tidak bisa lagi memegang tangannya. Ini seperti jawaban Habib yang dia berikan padaku, karena dia juga ragu ketika menjawab pertanyaanku beberapa hari yang lalu.
"Mas tidak mungkin mencintai orang lain selain El. Hanya dia satu-satunya orang yang Mas cinta sampai kapanpun!" tegas Habib.
"Oh, ya? Bagaimana jika aku bisa membuat Mas Habib jatuh cinta?"
"Tidak mungkin. Sejak dulu kamu di kenal sebagai wanita yang menyebalkan, mungkin kamu cantik, tapi tidak lebih cantik dari pada El."
"Kalau begitu beri aku waktu satu bulan untuk menaklukanmu. Jika aku berhasil, maka Mas harus mengakui cinta Mas di depan mbak El. Hm?"
Kulihat kedua tangan Habib tampak seperti sulit terkontrol. Seperti ada hal yang tidak bisa dia kendalikan. Ini semakin membuatku takut, jika Habib akan di buat jatuh cinta oleh Farida selama sebulan ke depan.
Pandanganku kembali mengarah ke atas, ketika Farida secara terang-terangan menyosor ke bibir Habib untuk menciumnya. Mataku melotot, rasa tidak percaya dan seperti mimpi, aku melihat kejadian yang Mira lihat dengan mata kepalaku sendiri.
Farida mencium Habib?!
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Habib mendorong Farida.
"Hanya mengetes, seberapa nikmati bibirku bagimu?" Farida tersenyum lalu melanjutkan aksinya.
Dan entah kenapa Habib malah diam, itu justru membuat dadaku sesak sampai hampir tidak bisa bernapas di buatnya. Tangan Habib perlahan meraba ke bagian pinggang, naik ke atas, sampai ke tengkuk dan membuka baju Farida yang tadi hanya terbuka punggungnya saja.
Tidak ingin melihat kelanjutannya, aku pun memilih untuk kembali ke kamar.