Aku membereskan buku Azka ke meja belajarnya untuk di susun, agar dia bisa lebih mudah mencari buku ketika belajar. Barusan saja aku selesai sholat zuhur bersama Azka, tidak bersama Habib karena dia sholat bersama Farida di kamarnya.
Jangan tanya kenapa aku tidak ikut sholat berjama'ah dengan mereka, ya jelas karena aku tidak ingin terus-terusan kesal melihat kebersamaan mereka. Drama ketumpahan minyak panas saja sampai membuat darahku mendidih, rasanya ingin marah tapi tidak bisa.
Kurasa ada yang tidak beres dengan mereka. Aku penasaran apa saja yang selama ini sudah Farida lakukan pada Habib, apa lagi setelah Habib tahu kalau Farida mencintainya, lelaki itu malah tampak semakin dekat.
"Ammah, besok sekolah Azka akan mengadakan kunjungan alam ke peternakan, bu guru meminta setiap anak untuk datang bersama wali mereka. Ammah mau datang bersama Azka 'kan?"
"Oh, iya? Peternakannya dimana?"
"Di Bogor. Jauh ya, Ammah?"
"Mungkin sedikit jauh, tapi coba kita tanyakan pada ammun nanti, ya?"
Wajah Azka berubah murung ketika aku menyebut nama pamannya. "Kenapa?" tanyaku pula.
Azka malah menggeleng. "Ammun Habib sekarang berbeda, dia lebih sibuk bersama ammah Farida. Dia pasti tidak mau ikut."
Lihat, bukan aku saja yang merasakan perubahan sikap Habib, bahkan bocah sekecil Azka juga merasakannya. Bahkan dia lebih peka terhadap hal ini, terbukti ketika dia melihat mata Habib yang menatapku dengan marah tadi.
Azka yang melihatnya merasa sangat takut, karena untuk pertama kalinya dia melihat Habib memarahiku seperti itu. Padahal, aku tidak sengaja telat jemput. Aku ketiduran, dan itu di sebabkan karena aku kurang enak badan.
"Biar Ammah yang bicara pada ammun nanti. Sekarang ayo kita turun ke bawah, kamu pasti lapar 'kan?"
"Iya!"
Sampai di meja makan, hanya ada Farida dan Mira. Tak lupa juga di bayi mungil Rizky yang sudah mulai aktif. Di usianya yang empat bulan ini, dia sudah mulai suka ngoceh dengan kosa kata baru, yakni 'nyanya'.
Kukira Habib masih di kamar, ternyata dia baru saja keluar dari kamar mandi di samping dapur. "Ada apa?" tanya Habib lalu duduk di samping Farida.
"Kenapa kamu belum makan?" tanyanya lagi melihat nasi di piring perempuan itu masih utuh.
Sementara aku dan Azka baru saja membanting pantat di kursi. Melihat tangan kanan Farida yang di bungkus perban, membuatku teringat akan tanganku yang sempat di pasang gips dulu. Itu adalah pengalaman retak tulang yang paling mengerikan dan tidak pernah kulupakan.
"Aku tidak bisa menyihir makanan ini masuk ke mulutku. Mas suapi aku, ya?" pinta Farida pula.
Gerakan tangan Habib yang sedang mengambil nasi pun terhenti. Dia melirikku yang ada di depannya dengan ragu. Apa? Dia meminta persetujuanku? Kurasa tanpa persetujuanku pun dia akan tetap melakukannya.
"Ayolah, Mas. Aku bukan perempuan kidal, tanpa tangan kanan aku tidak bisa makan," bujuk Farida lagi.
"Baiklah," jawab Habib kemudian yang sudah bisa kuprediksi sebelumnya.
Argh, ingin mencakar dinding sampai mengigit batok kepala rasanya melihat mereka berinteraksi sedekat itu. Farida senyum-senyum pula, membuat Habib ikut tersenyum seolah salting dengan apa yang mereka lakukan.
Tanganku menekan garpu ke piring dengan keras, menimbulkan bunyi yang nyaring dengan tempo yang tak teratur. Mira mengelus pundakku sebagai kode untuk tetap sabar, dia pikir kesabaranku sebanyak apa? Awas saja, ketika kesabaranku habis, maka pernikahan ini tidak akan seharmonis dulu.
"Ammun, besok Azka akan pergi ke kunjungan alam peternakan di Bogor. Bu guru meminta setiap siswa untuk mengajak walinya, boleh 'kan, Ammun?" tanya Azka menjeda kegiatan suap-suapan Habib dan Farida.
"Ke Bogor?" tanya Habib memastikan.
"Iya, Mas. Kegiatan ini rutin di lakukan setiap satu tahun sekali. setiap kelas selalu mengadakan kunjungan alam, tahun lalu Azka juga berkunjung ke kebun binatang dan tahun ini ke peternakan," jelasku pula.
"Siapa yang akan mengantar Azka?"
"Tentu saja aku, memangnya siapa lagi yang mau pergi selain aku? Tidak mungkin 'kan Farida mau pergi, dia sedang hamil besar, lagi pula tangannya sedang terluka. Kamu akan cemas nanti kalau sampai dia pergi jauh dari rumah," jawabku lagi seadanya dengan nada sedikit menyindir.
Sebenarnya Habib tidak mengijinkanku pergi, apa lagi dia tahu seharian ini keadaanku sedang tidak baik. Tapi sekali lagi aku meyakinkan dia untuk tetap mengantar Azka. Kasihan kalau sampai Azka pergi tanpa wali, sementara teman-temannya bersama wali semua.
Dia akan sendirian, kesepian tanpa teman. Aku juga tidak tenang kalau membiarkan Azka pergi bersama wali kelasnya saja, dia tentu tidak bisa menjaga semua anak sekaligus. Ada lebih dari dua puluh anak yang harus di jaga, dan itu akan membuatnya kerepotan.
"Baiklah, kalau begitu Mas akan mengantar kalian. Kita pergi bertiga, ya?"
"Asik! Ammaun ikut bersama kita! Pasti akan seru!" teriak Azka yang sudah kegirangan duluan.
"Lalu kamu akan meninggalkanku sendirian di rumah?" tanya Farida tampak keberatan.
"Kan ada Mira, kamu tidak sendiri."
"Tetap saja, Mas. Lagi pula Mira itu tugasnya mengurus Rizky, bagaimana jika aku butuh sesuatu? Tanganku juga sedang luka, Mas. Apa kamu tega melihatku melakukan aktivitas rumah sendirian?"
Kulihat Mira hanya memutar bola mata dengan jengah menanggapi perkataan Farida barusan. Ah, sangat mewakiliku sekali. Ketika tanganku retak saja, Habib masih bisa pergi ke kampus dan mengajar, tidak harus menemaniku 24 jam di rumah.
"Sudahlah, Mas. Kamu di rumah saja, temani Farida. Aku tidak mau ribut hanya karena masalah ini, tapi aku minta Mas Habib menjaga amanah dariku. Aku membiarkan kalian berdua di rumah, karena aku khawatir kalau Farida terluka. Bukan untuk membiarkan kalian berbuat sesuatu yang tidak seharusnya di lakukan."
"Mbak pikir aku siapa? Aku istrinya mas Habib juga, tidak perlu setakut itu padaku!" culas Farida sebal.
Aku hanya tersenyum. "Setidaknya aku sudah berusaha menjaga diri untuk tidak melampaui batas, jadi kuharap kamu juga tahu batasanmu."
Jika memang Farida masih sadar diri dan posisi, dia seharusnya tahu apa maksud dari perkataanku. Tidak usah kutegaskan berulang kali bagaimana statusnya di rumah ini, sebagai perempuan dia seharusnya mengerti bagaimana perasaan perempuan lain.
Bukan hanya Farida, Habib juga seharusnya tahu seperti apa dia harus memperlakukan Farida. Aku mungkin tidak akan marah-marah, tapi jangan sampai aku marah untuk terkhir kalinya sebelum pernikahan kami berakhir. Aku tidak mau membayangkan hal itu, tapi ... langkah itu sudah ada di kepalaku.
"Jadi kita hanya pergi berdua?" tanya Azka menekuk wajahnya ketika menoleh padaku.
"Tidak apa-apa 'kan? Lagi pula nanti di sana banyak teman-teman Azka juga, kita tidak akan bosan. Bukan begitu, Mbak Mira?"
"Iya, Azka! Ammah mu benar. Disana kamu tidak akan ada waktu untuk memikirkan ammun Habib, kalian akan bersenang-senang sampai lupa waktu. Kamu belum pernah ke peternakan, bukan?" Azka menggeleng. "Mbak Mira sudah pernah, di sana sangat menyenangkan! Mbak yakin kamu pasti suka!"
Terima kasih, Mir. Kamu sudah membantuku meyakinkan Azka. Setidaknya dia tidak akan sedih lagi kalau Habib tidak ikut bersama kami.