Chereads / ELYANA SEASON 2 : Air Mata Pernikahan / Chapter 33 - TRAGEDI DI PETERNAKAN

Chapter 33 - TRAGEDI DI PETERNAKAN

Setiap anak di persilahkan untuk mencoba secara langsung bagaimana cara memerah susu yang baik dan benar. Tentu saja dengan dampingan dari petugas peternakan yang memandu mereka. Aku hanya mengawasi dari depan kandang, tidak ikut masuk ke area kamar para sapi karena keterbatasan ruang yang sempit.

Azka dengan semangat masuk bersama dua orang temannya untuk mencoba memerah susu sapi. Dia memakai sepatu bot yang sudah di sediakan agar tidak terpeleset, karena lantai di kandang sapi sedikit lembab dan licin.

"Umar tidak mau mencoba memerah susu sapi?" tanya Faisal pada anaknya.

"Umar takut, Ayah. Sapi-sapi itu besar sekali," balas Umar malah bersembunyi di belakang tubuh ayahnya.

"Kenapa Umar harus takut? Sapi-sapi itu sudah di ikat, mereka tidak akan mengamuk jika kita tidak membuat mereka takut."

"Ayahmu benar, Umar. Kamu tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya memerah susu sapi jika tidak pernah mencobanya. Ini pengalaman terbaik, jangan pernah melewatkannya atau kamu akan menyesal," sahutku pula.

Umar tersenyum. Tekadnya berubah ketika Azka mengajaknya untuk ikut memerah susu sapi. Kedua anak itu tampak bersemangat menunggu giliran mereka untuk bisa memerahnya. Aku senang melihat Umar begitu berani, setidaknya dia berani mencoba dari pada tidak sama sekali.

Faisal tampak keluar kandang setelah mendapat panggilan telepon. Kurasa itu urusan pekerjaan. Aku tidak ingin terlalu kepo dengan urusan pribadi orang lain, maka dari itu aku tidak begitu memperhatikannya.

"Bu, bisa tolong jaga Umar sebentar? Saya ada urusan penting yang harus segera saya urus. Saya tidak akan lama, mungkin sekitar dua puluh menit sudah kembali," kata Faisal pula setelah dia selesai telponan.

"Eum ... memangnya Mas mau kemana?" tanyaku.

"Saya harus keluar, sebentar saja. Sekretaris saya sudah menunggu di caffe tak jauh dari peternakan. Saya harus menandatangani beberapa file untuk pekerjaan saya di rumah sakit."

Sebenarnya aku sedikit ragu menerima amanah ini, karena takut terjadi sesuatu yang buruk pada Umar dan aku yang akan di salahkan. Tapi kurasa tidak akan terjadi apapun, sebab ini peternakan dan tidak ada sesuatu yang bahaya. Lagi pula ada wali kelasnya juga disini.

"Baiklah, silahkan pergi. Umar biar saya yang jaga, tapi tolong jangan terlalu lama, ya?"

"Baik. Terima kasih sebelumnya."

Lelaki itu pergi dengan tergesa-gesa. Kuharap urusannya cepat selesai hingga Umar bisa kembali dalam pengawasannya. Bukannya tidak mau menjaga Umar, hanya saja aku jadi terlalu cemas jika harus mengawasi lebih dari satu anak.

"Sapi itu kelihatan tenang ketika di perah susunya, tadi Azka juga sempat menjilat susu yang mengenai bibir, rasanya tawar," kata Azka menceritakan pengalamannya.

"Tentu saja rasanya tawar, karena susu sapi murni tidak terlalu mengandung gula. Rasanya masih asli," kataku.

"Dimana ayah?" tanya Umar yang celingukan mencari ayahnya.

"Ayah pergi sebentar, mungkin tak lama lagi akan pulang. Untuk sementara, Umar di awasi Bu El dulu, ya?" kataku menjelaskan padanya.

Umar mengangguk. Sebelum beralih ke peternakan selanjutnya, kami semua di beri waktu istirahat untuk makan siang. Dia sebuah tempat terbuka yang di penuhi pohon pinus, kami semua berkumpul untuk menikmati suasana alam terbuka.

Di sana kami bisa memesan makanan pada beberapa pondok yang menjual makanan. Sementara Azka dan Umar menikmati makanan mereka, aku pun pergi ke toilet sebentar. Pandangan mataku terus mengarah ke ponsel yang mati, berharap ada panggilan masuk dari Habib.

Hingga tanpa sengaja aku tersandung batu dan akhirnya jatuh. Itu sama sekali bukan masalah, tapi yang menjadi masalah adalah ponselku yang jatuh ke semak-semak.

"Yah, handphone-ku!" teriakku.

Disini sangat jauh dari keramaian, karena ini adalah jalan menuju toilet yang jarang sekali di lalui. Aku berdiri dan melihat ke semak-semak yang posisinya tumbuh di tanah miring. Mirip seperti jurang, tapi tidak curam.

Kebingungan, aku pun berusaha mencari ponsel itu. Tapi lagi-lagi aku tertimpa sial, sampai aku terpeleset karena rumput yang basah sehabis hujan dan membuat tubuh ini menggelinding ke bawah.

"Ammah!" kudengar Azka berteriak di atas.

Bunyi benda jatuh ke dalam semak-semak dengan keras membuat banyak orang berdatangan. Di bawah sini, aku hanya bisa melihat mereka yang berdiri dengan wajah cemas. Azka terus memanggil namaku, begitu juga dengan Umar.

***

Aku tersadar di sebuah kamar yang sama sekali tidak pernah kusinggahi sebelumnya. Kukira ini sudah di rumah, namun ternyata ini bukan kamar yang biasa kutiduri. Bahkan jam dinding yang tergantung saja tidak pernah kulihat.

"Ammah, ada yang sakit?" tanya Azka yang duduk di sampingku.

Berusaha bangkit dan bersandar pada kepala ranjang, aku pun mengelus kepala Azka. "Tidak, Ammah baik-baik saja. Ngomong-ngomong kita dimana? Ini kamar siapa?" tanyaku bingung.

"Bu El sedang ada di kamar salah satu pekerja di peternakan. Tadi Ibu jatuh, apa Ibu ingat?" sahut Faisal yang datang dari pintu dengan membawa air putih.

Kuterima air yang dia berikan setelah dia duduk. Katanya orang yang menyelamatkanku tadi juga dia, sampai harus turun ke bawah untuk menggendongku yang tidak sadarkan diri untuk bisa sampai ke atas.

"Handphone saya mana?" tanyaku ketika teringat benda pipih yang sejak tadi di genggam.

"Handphone? Saya sama sekali tidak melihat handphone di sana. Memangnya Bu El membawa handphone?"

"Iya. Handphone saya jatuh ke bawah tadi, saya berusaha mengambilnya tapi malah terpeleset."

"Maaf, Bu. Tapi saya tidak menemukan handphone siapapun di sana. Saya rasa handphone Bu El hilang."

Mendengar hal itu, aku pun langsung panik. Ingin bergegas pergi untuk kembali mencari ponsel yang hilang, tapi tidak bisa karena pergelangan kaki kiriku mendadak sakit. Saat membuka selimut, aku cukup terkejut melihat apa yang terjadi dengan kakiku.

Pergelangannya bengkak dengan kondisi membiru. Rasanya sakit luar biasa, apa lagi saat aku berusaha menggerakannya, rasa sakitnya semakin bertambah-tambah.

"Jangan di gerakkan dulu, pergelangan kaki Bu El terkilir. Bengkaknya akan semakin parah jika di paksa berjalan. Saya sudah memberi beberapa pijatan, tapi keadaannya tidak akan langsung membaik, perlu beberapa hari sampai benar-benar pulih," larang Faisal.

"Tapi handphone saya bagaimana? Bagaimana bisa saya menghubungi suami saya jika handphone itu hilang?"

"Ibu bisa pakai handphone saya jika mau. Dan untuk beberapa jam kedepan, saya harap Bu El jangan banyak bergerak dulu, ya? Biar saya yang menjaga Umar dan Azka, Bu El istirahat saja."

Tak lama kemudian, wali kelas Azka pun datang. Wajahnya tampak cemas ketika melihatku yang hanya bisa terduduk di tempat tidur saja.

"Bagaimana keadaannya, Bu? Sudah jauh lebih baik?"

"Kaki saya terkilir, Bu. Tapi sudah tidak apa-apa, ini akan sembuh sebentar lagi."

"Oh, iya tadi pak Faisal juga sudah memberitahu saya. Tak masalah, dia bisa merawat ibu sampai pulang. Kebetulan dia juga seorang dokter, bukan begitu Pak Faisal?" Guru wanita itu menatap Faisal dengan senyuman manis.

"Iya, Bu."