Aku baru tahu kalau Faisal itu adalah seorang dokter. Selain pemilik pesantren, ternyata dia juga membuka praktek di salah satu rumah sakit ternama Jakarta. Hal itu kuketahui ketika mendengar ibu pemilik peternakan yang menyebutnya sebagai dokter.
Bahkan kakiku yang terkilir juga sudah di obati olehnya. Aku tidak tahu ada masalah apa, tapi sepertinya kakiku tidak bisa di pakai jalan untuk berjalan. Hingga aku memerlukan bantuan Azka untuk memayangku sampai ke mobil.
"Bu, bagaimana jika saya antar Ibu pulang?" ucap Faisal menawarkan bantuan.
Semua orang sudah kembali dari peternakan tepat setelah adzan ashar berkumandang. Kulihat di sekitar sekolah juga tak tampak Habib atau siapapun untuk menjemputku pulang, padahal aku sudah berpesan pada suamiku untuk menjemput kami setelah ashar tadi.
"Ammah, kita pulang bersama om Faisal saja, ya? Azka sudah lelah. Azka tidak mau menunggu ammun Habib terlalu lama," rengek Azka yang kelihatan begitu letih.
"Azka benar, Bu. Kaki Bu El juga sedang sakit, saya akan segera antar Ibu pulang agar bisa segera istirahat," sahut Faisal membenarkan ucapan Azka.
Sebenarnya aku merasa sedikit ragu, takut kalau-kalau Habib melihatku turun dari mobil Faisal, dia akan mencurigaiku lagi seperti beberapa waktu lalu. Tapi kali ini aku benar-benar tidak punya pilihan lain. Jika menunggu Habib terlalu lama, maka kami akan semakin lama sampai di rumah.
"Baiklah. Tapi aku mohon, jelaskan pada Habib kejadian yang sebenarnya di peternakan. Aku tidak ingin dia salah paham melihat kita pulang bersama," pesanku.
"Tidak masalah. Dengan senang hati saya akan menjelaskannya pada pak Habib," jawab Faisal tersenyuma tipis.
Aku, Azka dan Umar pun diminta untuk menunggu sebentar di depan gerbang sekolah sementara Faisal mengambil mobilnya yang terparkir di halaman. Tidak terlalu jauh, tapi aku tidak mau jalan ke sana dalam keadaan kaki yang sakit seperti ini.
Kami pun segera masuk ke mobil setelah Faisal memberhentikan mobilnya tepat di depan kami, terkecuali Azka yang mendadak terdiam melihat ke seberang jalan sambil memandangi sesuatu. Itu membuatku heran dan ikut memandang ke arah yang sama.
"Ada apa, Azka?" tanyaku.
"Ammun! Itu Ammun Umar!" pekik Azka membuatku semakin membuka mata lebar-lebar.
Umar? Apakah dia disini? Atau Azka salah lihat? Tapi tidak mungkin Umar ada di sini, dia sudah pindah ke Aceh sejak satu tahun yang lalu. "Tidak, Azka. Kamu pasti salah lihat. Tidak mungkin ammun Umar ada di Jakarta."
"Tapi Azka melihatnya sendiri, Ammah. Di sana! Di seberang jalan sana!" tunjuk Azka pada seberang jalan, tepat mengarah pada sebuah halte bis yang tampak kosong.
"Azka, tidak ada siapa-siapa disana. Ayo kita pulang, Ammah sudah lelah dan kaki Ammah sakit."
Dengan wajah muram, Azka pun akhirnya mengalahkan rasa penasarannya demi bisa segera pulang. Aku sudah tidak kuat berlama-lama berdiri, rasanya pergelangan kaki kiri ini hampir putus karena semakin sakit.
Kata Faisal selaku dokter yang pertama kali mengobati kakiku, itu hanya terkilir ringan. Mungkin hanya butuh waktu istirahat sekitar dua sampai tiga hari saja. Kalau ingin cepat sembuh, bisa membalurkan kunyit parut agar mengurangi bengkaknya.
"Azka rindu pada ammun Umar, dia sudah terlalu lama meninggalkan Jakarta," gumam Azka yang bersandar padaku.
Aku hanya bisa mengelus kepalanya sambil berusaha membuatnya yakin jika paman yang selama ini dia rindukan, juga pasti merindukannya. Azka mengaku bosan dengan Habib, dia sekarang berubah jadi lebih banyak menghabiskan waktu bersama Farida. Itu membuatnya rindu pada Umar, seolah ingin mencari pengganti untuk ayahnya.
***
"Ya, ampun. Bu El! Kenapa ini, Bu? Kenapa pincang begini?!" tanya Mira histeris ketika melihatku keluar dari mobil Faisal dalam keadaan pincang.
Habib juga langsung keluar dari rumah dan menghampiriku. Dia menarik tanganku agar bisa berpegangan padanya. Dengan wajah cemas, dia menatapku lalu bertanya. "Ada apa ini? Apa yang terjadi padamu, El?"
"Bu El jatuh saat di peternakan, Pak. Kakinya terkilir, tapi sudah saya obati tadi," jawab Faisal setelah dia keluar dari mobil.
"Astaghfirullah, bagaimana bisa? Lalu bagaimana dengan kandunganmu? Baik-baik saja 'kan?"
"Alhamdulillah, semuanya baik. Tapi kakiku sakit sekali," jawabku meringis menahan lara.
Habib langsung memelukku, beberapa kali dia menciumi pucuk kepalaku sambil mengusap syukur. Tampaknya dia sangat takut dan khawatir jika sesuatu yang buruk terjadi pada calon bayi kami. Pasalnya dia telah berulang kali mencoba menghubungiku, tapi ponselku yang hilang membuatnya tidak mendapat jawaban.
Aku juga menyesali itu, padahal ada banyak nomor orang-orang terdekat yang tersimpan di sana. Tapi kurasa aku masih menyimpan nomor mereka di daftar nomor yang kubuat sejak jaman kuliah. Ternyata buku itu akan berguna juga nantinya.
"Maaf, saya mengantar Bu El tanpa seijin pak Habib. Tapi saya hanya tidak ingin sampai dia menunggu jemputan terlalu lama, lagi pula kita tinggal satu perumahan. Jadi, saya rasa tidak ada salahnya kalau saya memberikan tumpangan," kata Faisal menjelaskan pada Habib.
Bukannya berterima kasih, Habib malah mengangguk dan membawaku masuk ke rumah. Iya, dia sempat mengucapkan terima kasih, tapi terdengar tidak ikhlas dan terkesan cuek. Dia menyuruh Mira untuk mengambis tasku yang masih di mobil, sementara Faisal di tinggal begitu saja.
"Mas, bukankah seharusnya kita berterima kasih pada pak Faisal? Tawari dia minum atau beri mereka makanan," ucapku begitu sampai di ruang tamu.
"Untuk apa? Dia akan semakin merasa berhutang budi padamu, dan itu hanya akan memperbesar peluangnya untuk mendekatimu. Sudahlah, Mas tidak mau membahas soal dia. Lain kali telepon Mas dengan handphone orang lain, tunggu Mas jemput. Jangan pulang bersamanya. Oke?"
Aku hanya bisa mengangguk lemah. Azka pergi ke kamarnya setelah Habib memintanya mandi sebelum pergi ke masjid maghrib nanti, sementara aku di bawa ke kamar untuk beristirahat. Tapi Farisa yang melihat kami masuk berdua, lantas menyusul ke kamarku.
"Mbak El kenapa?" tanya Farida.
"Dia jatuh, Farida. Bisa tolong ambilkan air hangat, Mas ingin mengompres kakinya," pinta Habib tanpa menoleh ke belakang dan sibuk membenahi posisi kakiku di atas tempat tidur.
"Mas lupa tanganku masih sakit?"
Habib menoleh. "Baiklah, jaga El sebentar. Mas akan segera kembali," putus Habib lalu pergi sendiri mengambil air hangat ke dapur.
Farida menghampiriku lalu duduk di sisa ranjang yang tersisa di sebelah kanan. Senyumnya tampak hambar, seperti ada maksud lain yang ingin dia sampaikan padaku. Au hanya menganggap itu sebagai hal biasa, tapi tidak setelah apa yang di katakan.
"Tolong jangan cari muka di depan mas Habib, Mbak pikir dia akan lebih peduli padamu setelah pura-pura terkilir?" bisik Farida dengan ekspresi menyebalkan.
"Maksudmu apa? Aku benar-benar jatuh dan kakiku baru saja terkilir di peternakan," tegasku.
"Oh, ya?" Tangannya perlahan bergerak menuju pergelangan kaki kiri yang baru saja celaka. Dia menekan pergelangan itu dengan kuat hingga membuatku kesakitan, ingin teriak tapi tidak bisa. Farida malah tersenyum.
"Apa yang kamu lakukan?! Sakit, Farida!"
Remasan pada pergelangan kaki itu baru berhenti setelah aku hampir menangis. Dia membuatku benar-benar hampir merasakan patah kaki, tidak bisa di gerakkan karena terlalu sakit.
"El, berikan kakimu! Biar Mas kompres," kata Habib saat masuk. Farida buru-buru berdiri seolah tidak melakukan apapun, padahal dia sudah membuatku hampir seperti kehilangan kaki. Dan bisa-bisanya dia hanya bersikap datar di depan Habib. Dasar perempuan licik!