Chapter 32 - PETERNAKAN

Tidak semua sekolah mengadakan kunjungan alam seperti ini, karena ketiadaan dana dan juga fasilitas yang terbatas. Namun tidak untuk sekolah swasta seperti tempat Azka menimba ilmu. Di sana selalu di adakan kunjungan alam ke berbagai tempat wisata yang berhubungan dengan alam.

Tahun ini, saat Azka duduk di bangku kelas empat, sekolahnya mengadakan kunjungan ke sebuah peternakan di Bogor. Setiap murid di dampingi satu wali mereka, keberangkatan dari sekolah menuju Bogor di lakukan dengan menggunakan bis.

Kami datang pagi-pagi sekali, kebetulan Habib sendiri yang mengantarku dan Azka ke sekolah sebelum naik bis.

"Apa kamu yakin ingin pergi sendiri? Bagaimana jika terjadi sesuatu di jalan nanti? Mas lihat, kasus kecelakaan bis jauh lebih sering terjadi dari pada mini bus. Supir bis selalu teledor dan tidak pernah memperhatikan keselamatan penumpang mereka." Entah untuk yang keberapa kalinya Habib bertanya hal yang sama.

Sejak tadi subuh dia terus mempertanyakan itu, kurasa dia terlalu cemas karena melihat berita kecelakaan bis yang sering melintas di televisi beberapa hari belakangan ini.

"Tidak perlu cemas, perjalanan ini sudah biasa Azka lewati dan semuanya baik-baik saja," balasku sambil mengambil tas di jok belakang.

"Tapi kali ini berbeda. Kamu baru saja sembuh, dan ... bagaimana perutmu? Tidak terasa sakit?"

"Tidak sama sekali. Aku baik-baik saja."

"Obat-obatan bagaimana? Sudah di bawa?" Habib terlihat begitu mencemaskanku, dia bahkan terus menanyaiku sampai kami tiba di kerumunan para wali dan murid di halaman sekolah.

"Aku sudah mempersiapkan semuanya. Kamu pulang saja, pastikan Farida tetap dalam penjagaanmu dan jangan pernah buat aku kecewa. Oh, iya. Rizky juga sedang tidak enak badan sekarang, kalau dia muntah-muntah tolong olesi minyak kayu putih di punggungnya, ya?" pesanku pada Habib.

Tak hanya aku, Azka juga ikut meyakinkan Habib bahwa semuanya akan baik-baik saja. Perjalanan ini sudah tiga kali dia lewati dan tidak pernah terjadi masalah apapun. Dia bilang, dia akan menjagaku seperti super hero di televisi yang selalu dia tonton di acara sabtu dan minggu.

"Baiklah, jaga ammah-mu, ya? Kalau terjadi sesuatu, cepat kabari Ammun. Kamu tahu bagaimana caranya menggunakan handphone, bukan?" Habib mengelus kepala Azka dengan lembut.

"Iya, Ammun!"

Kami pun berangkat setelah lima bis di penuhi para murid dan wali. Tidak semua siswa yang berangkat, karena sebagian dari mereka ada yang tidak mendapat ijin dari orang tuanya. Lagi pula acara ini tidak untuk di ikuti seluruh siswa, entah apa alasannya.

Habib melambaikan tangan padaku ketika bis mulai berjalan. Aku hanya tersenyum sambil mengangguk sampai tidak lagi melihatnya di luar jendela bis. Semoga saja apa yang Habib khawatirkan tidak pernah terjadi, karena itu cukup mengerikan.

"Dulu ayah yang selalu menemani Azka kunjungan alam seperti ini. Setiap di bis kami selalu menyanyikan lagu bersama," kata Azka setelah beberapa kilo meter berjalan.

"Oh, iya? Lagu apa yang biasa kalian nyanyikan?"

"Banyak, hampir semua lagu anak-anak kami nyanyikan. Tapi sekarang Azka tidak suka menyanyikan lagu itu lagi."

"Kenapa?"

"Karena setiap lagu selalu mengingatkan Azka pada ayah. Azka tidak mau ayah sedih karena selalu merindukannya, ayah pasti tidak suka kalau Azka cengeng kan?"

Aku tersenyum sambil mengusap kepala Azka. Dia adalah penguatku sekarang, tidak ada yang bisa sekuat dia sampai mampu membuatku sekuat ini. Bahkan aku berusaha menahan diri untuk tidak marah pada Habib juga karena Azka.

Dia terlalu dekat dengan Habib, dia pasti akan merasa sangat sedih jika tahu aku dan ammun-nya bertengkar. Azka adalah sumber kekuatanku, dia juga alasan kenapa aku masih bertahan sampai titik ini. Sama seperti bang Fahri, dia juga pelindung untukku.

"Bu El, terima ini." Seorang lelaki dengan kaos lengan pendek di lapisi jaket hitam memberiku makanan ringan.

Dia tak lain adalah pak Faisal, ayah Umar yang sekaligus teman sekelas Azka juga. "Terima kasih, Mas," jawabku.

Faisal mengangguk lalu memberikan makanan yang sama pada Azka. "Azka, terima ini," katanya.

"Terima kasih, Om!" kata Azka bersemangat.

***

Alhamdulillah tidak terjadi apa-apa selama di perjalanan, dan kami sampai di tempat tujuan dengan selamat. Semua orang bergegas turun ketika bis berhenti. Azka menarik tanganku dengan semangat agar bisa cepat keluar.

Namun padatnya penumpang yang berdesakan turun, membuat kami sulit berjalan. Hingga salah satu murid berlari dan tidak sengaja mendorongku hingga jatuh. Hilang keseimbangan, aku pun jatuh ke salah satu kursi penumpang lain.

"Ibu tidak apa-apa?" tanya penumpang yang tak sengaja kutindih.

Iya, aku tidak sengaja terjatuh dan duduk di pangkuannya. Tapi siapa sangka kalau penumpang itu adalah pak Faisal? Aku langsung gugup dan segera berdiri.

"Maaf, saya tidak sengaja. Tadi ada—"

"Iya, saya mengerti. Itu sama sekali bukan masalah," katanya pula menyela ucapanku.

"Eum ... saya merasa tidak enak, sekali lagi saya minta maaf ya, Mas?"

"Tidak perlu minta maaf. Ayo kita turun!"

Aku mengangguk pelan. Kami pun turun dengan aku yang berjalan lebih dulu darinya. Azka terus menarik tanganku, dia tampak seperti tidak mau terpisah jauh dari ammah-nya ini. Sampai di bawah, kami pun di minta mendengarkan beberapa instruksi petugas peternakan.

Ini adalah sebuah peternakan sapi, kambing dan ayam. Nantinya para murid akan di ajak berkeliling untuk melihat bagaimana proses memerah sapi, mengurus kambing dan memanen telur ayam sebelum di kemas dan di jual.

"Wali di harapkan untuk tetap berada di samping para murid, guru akan memandu bersama para petugas peternakan. Jika ada yang terluka atau terjadi masalah, harap laporkan pada petugas peternakan!" Begitulah arahan terakhir yang di berikan.

Karena jumlah murid yang terlalu banyak, maka guru pun membaginya menjadi tiga kelompok. Setiap satu kelompok terdiri dari dua kelas, dan aku kebagian kelompok satu. Pertama-tama kami mengunjungi peternakan sapi, sementara dua kelompok lain mengunjungi perternakan kambing dan ayam.

"Disini adalah tempat para peternak memerah susu sapi. Sapi-sapi yang di perah susunya harus mendapat asupan makanan yang banyak, maka dari itu rumput dan juga air yang di berikan juga di beri beberapa vitamin," jelas peternak lelaki itu.

"Mereka kelihatan begitu sehat, ya?" komentar pak Faisal di telingaku.

"Hah? Iya, tentu saja. Pasti para peternak disini merawatnya dengan baik," balasku.

"Dimana pak Habib? Apa dia tidak ikut?"

"Tidak, dia harus menjaga istrinya di rumah."

"Saya lihat pak Habib begitu menyayangi istri keduanya. Apa rumah tangga kalian baik-baik saja?"

Pertanyaan itu sontak membuatku menoleh. "Iya, kami baik-baik saja. Tadi malam istri keduanya ketumpahan minyak panas, jadi dia tidak bisa makan dan Habib harus ekstra menjaganya."

"Oh, begitu rupanya."

Para rombongan kembali berjalan dengan menjagak kami masuk ke dalam kandangan. Dia ingin memperlihatkan secara langsung bagaimana cara memerah susu sapi dengan tangan. Ini mengasikan, aku bisa melihat langsung bagaimana cara memerah sapi dari sang ahli.

"Mari, Mas!" ajakku.