Chereads / ELYANA SEASON 2 : Air Mata Pernikahan / Chapter 28 - AKU CEMBURU!

Chapter 28 - AKU CEMBURU!

Satu bulan, apa yang kira-kira bisa Farida lakukan dalam kurun waktu satu bulan? Apa mungkin dia bisa membuat Habib jatuh cinta padanya dalam satu bulan ke depan? Ah, kenapa aku jadi takut begini?

Ketakutan itu perlahan merasuk dalam tubuhku dan membuat semua hal yang berhubungan dengan Habib jadi lebih kuwaspadai. Untuk kejadian tadi malam, aku sama sekali mau mengingatnya lagi. Entah apa yang Habib dan Farida lakukan di kamarnya, aku tidak peduli. Tapi yang jelas Habib tidak tidur bersamaku semalam.

"Bu, tolong ambilkan susunya," pinta Mira.

"Bu!" Aku masih diam. "Bu El? Tolong ambilkan susunya!" Untuk yang ketiga kalinya, aku terperanjat sampai sedikit berjingkat mendengar suara Mira yang mendadak bernada tinggi.

Tidak, dia sama sekali tidak bermaksud membentakku. Hanya saja dia berusaha untuk menyadarku dari sebuah lamunan ketika kami berdua sama-sama ada di kamar dengan posisi botol susu Rizky yang lebih dekat denganku.

"Ini," kataku memberikan susu itu padanya.

"Bu El kenapa? Kok saya panggil-panggil dari tadi tidak menyahut?"

"Tidak ada, saya hanya sedang bengong saja. Maaf, ya?"

Mira terdiam dengan segaris senyum di bibirnya. Dia yang saat itu menggendong Rizky di tangannya lantas menaruh kembali bayi itu di dalam box setelah berhasil di tidurkan. Entah kenapa, Mira seperti guru BK yang selalu mengerti perasaanku.

Tepatnya sejak aku tidak lagi bisa bertemu bang Fahri, dia adalah orang yang menggantikan posisi bang Fahri sebagai tempatku berkeluh kesah. Dan sepertinya kali ini pun begitu, dia menghampiriku sambil bertanya.

"Kalau ada apa-apa, jangan di pendam sendiri, Bu. Tidak enak memendam masalah, itu juga tidak baik untuk kehamilan Ibu. Coba cerita sama saya, siapa tahu saya bisa bantu," katanya.

"Ini soal Farida, Mir."

"Lagi-lagi bu Farida. Ada apa dengan perempuan itu?"

"Farida sudah menyatakan cintanya secara terang-terangan pada mas Habib. Tepatnya tadi malam, setelah kami pulang dari pesta kolega. Dan Farida bilang, dia akan berusaha membuat Habib jatuh cinta padanya juga."

"Lalu? Pak Habib bilang apa? Dia pasti menolak, 'kan? Lagi pula mana mungkin pak Habib bisa mencintai perempuan modelan bu Farida."

Aku menggeleng lemah. "Sayangnya Habib malah terlihat bingung. Seolah-olah dia sendiri tidak yakin dengan perasaannya. Saya takut Habib berubah pikiran."

Mira tampak terkejut mendengar penuturanku. Aku yakin dia juga tidak menuangka jika Habib sampai sebingung itu menjawab pertanyaan Farida. Bahkan sikap dan perilaku Habib yang sedikit simpati itu saja sudah membuat perbedaan besar antara sikapnya yang dulu dan yang sekarang.

Belum sempat Mira kembali bicara, Habib sudah mengetuk pintu kamar dan masuk ke dalam. Aku kembali bangkit dan melanjutkan aktivitas merapikan tempat tidur yang tidak terlalu berantakan ini, sementara Mira pamit ke kamar Azka untuk menyiapkannya sebelum berangkat sekolah.

"Tumben baru di bereskan? Bangun jam berapa kamu?" tanya Habib melihatku masih melipat selimut.

"Jam lima, tapi aku tidur lagi karena merasa tidak enak badan," jawabku lemah.

"Benarkah?" Dengan cemas Habib langsung menarik lenganku, menempelkan punggung tangannya di dahiku untuk mengecek suhu.

"Suhu tubuhmu sedikit tinggi, kamu demam?"

"Entahlah, mungkin aku kedinginan karena tadi malam tidur sendirian," ketusku kembali melanjutkan lipatan selimut yang belum selesai.

Entah sadar atau tidak, tapi sebenarnya aku sedang menyindir Habib. Aku kurang tidur tadi malam karena terlalu sibuk memikirkan aktivitas di kamar sebelah, tepatnya di kamar Farida. Apa mungkin mereka menghabiskan waktu mesra mereka tanpa sepengathuanku?

Sesaknya dada karena kejadian tadi malam juga masih belum hilang. Meski sudah berusaha melupakan, tetap saja tidak bisa, semuanya seakan berputar seperti film di dalam memoriku.

"Tadi malam Mas tidur di kamar Farida. Maaf tidak memberitahumu dulu, Mas pikir kamu sudah tidur. Karena lampu kamar sudah mati dan suasananya sepi," sesal Habib yang berdiri di belakangku.

"Iya, tidak apa-apa. Farida istrimu juga, dia berhak mendapat kasih sayang dari suaminya."

"Bukan begitu, El. Tolong kamu jangan salah paham, Farida—"

"Aku paham, Mas. Tidak usah di jelaskan, lebih baik sekarang Mas Habib mandi. Aku akan siapkan sarapan," kataku menyela lalu keluar kamar tanpa menunggu jawaban Habib.

Entah aku yang cemburu terlalu berlebihan, atau memang Habib yang tidak sadar diri. Kenapa sekarang dia sudah tak sepeka dulu?! Dia bahkan tidak sadar kalau aku sebenarnya sedang kesal, tapi dia tidak berusaha bertanya apa lagi membujuk.

Jangan suruh aku untuk mengatakan langsung padanya bahwa aku cemburu, karena sifat gengsiku jauh lebih tinggi dari pada apapun. Dengan kesal aku turun ke dapur untuk menyiapkan sarapan, tapi ternyata aku sudah keduluan Farida.

"Eh, Mbak El sudah bangun? Lihat apa yang kumasak pagi ini? Coba cicipi dulu, siapa tahu ada rasa yang tidak pas di lidahmu," kata Farida setelah menaruh udang goreng tepung di meja.

"Bukannya mas Habib melarangku bermain pisau? Kenapa kamu masak?" tanyaku pula.

"Iya, tapi dia berubah pikiran. Lagi pula aku rasa sekarang kandunganku sudah jauh lebih kuat, jadi aku ingin berusaha menjadi istri yang baik untuknya. Mbak ... tidak cemburu 'kan?" Muak sekali rasanya aku melihat ekspresi Farida yang tersenyum miring itu.

Ingin kucolok kedua lubang hidungnya, tapi lupakan saja. Aku tidak mau cari ribut dan segera mencicipi secuil udang goreng tepung yang dia masak. Baru beberapa detik di kunyah, aku langsung mual.

"Kamu tidak pandai masak, ya? Kenapa rasanya tidak enak?" tanyaku kesal.

"Hah? Tidak enak bagaimana?"

"Ini asin, apa kamu tidak menakar garamnya dengan benar?"

Farida mengambil satu udang untuk di makan. Dia tampak menikmatinya, katanya itu enak dan layak untuk di sajikan. Tapi bagiku itu terlalu asin, bahkan lidahku saja sampai tak kuat menerimanya.

Tak percaya dengan pendapatku, Farida pun memberikan udang itu pada Habib ketika dia turun. Dimintanya lelaki itu untuk mencicipi rasa udang yang bagiku tidak layak di makan. Aku menunggu respon dari Habib, pasti rasanya asin juga.

"Enak, kamu pandai memasak udang juga rupanya?" komentar Habib sangat jauh dari ekspektasi.

"Mas? Kamu serius? Rasanya asin begini, kamu bilang enak?" tanyaku tak percaya.

"Ini enak, El. Mungkin lidahmu saja pahit karena tidak enak badan."

"Aku tidak enak badan, bukan berarti lidahku juga bermasalah," pungkasku membantah pendapat Habib.

Satu orang lagi datang, dia adalah Azka. Farida memberikan udang itu pada Azka dan sekali lagi dia menjawab bahwa udang itu enak. Kenapa semua orang jadi tampak menyebalkan hari ini? Bahkan Habib tersenyum manis sambil memuji masakan Farida saking enaknya.

Itu membuatku kesal dan tidak mau sarapan bersama mereka. Sepertinya memang Farida berusaha keras mewujudkan ucapannya tadi malam, makanya dia memasak pagi ini untuk menarik simpati Habib.

"Baiklah, kamu mau makan apa? Biar Mas yang buatkan," kata Habib akhirnya membujukku yang duduk sendirian di tangga.

"Aku tidak mau makan, Mas makan saja bersama istri kesayangan Mas itu. Aku ingin tidur saja!" dengusku lalu melangkah ke atas dan masuk ke kamar.