Chapter 25 - PESAN BARA

Cinta adalah kebutuhan, cinta adalah keperluan dan cinta juga merupakan keinginan semua orang. Siapapun mereka, dari kalangan apapun mereka, tua atau muda, kaya atau miskin, mereka semua butuh akan cinta. Bukan hanya mencintai, tapi juga ingin dicintai.

Begitu juga dengan Farida. Setelah ditinggal Umar, dia pasti kesepian. Benar kata Bara, perempuan itu pasti merindukan akan kebutuhan yang namanya Cinta. Aku pun pernah merasakan hal yang sama, tapi apa harus menghalalkan segala cara demi mendapatkan cinta?

Kurasa bukan begitu cara mainnya.

Selesai mengunjungi Bara, aku langsung pergi ke sekolah Azka untuk menjemputnya. Tepat jam dua belas siang, aku sudah menunggunya di depan gerbang. Bocah itu berlari keluar lalau memelukku layaknya seorang ibu.

"Maaf, ya lama. Tadi ibu guru memberikan beberapa nasihat dulu sebelum pulang," kata Azka mendongak padaku.

"Tidak apa. Nasihat dari guru jauh lebih penting untuk di dengarkan. Bukan begitu?" Azka mengangguk yakin.

Bukan hanya aku yang datang menjemput Azka di sekolah ini, beberapa orang tua dan pengasuh lain juga datang untuk menjemput anak mereka. Salah satunya seorang lelaki yang kuingat sebagai ayahnya Umar.

Iya, Umar temannya Azka. Dia datang menghampiriku ketika sedang menunggu angkot. Uangku pas-pasan, jadi akan sangat tidak mungkin kalau aku pulang dengan taksi. Kuharap uang ini sudah cukup untuk mengantarkan kami pulang dengan angkot.

"Bu El?" sapanya.

"Eh, Mas? Sedang menunggu Umar, ya?"

"Iya, tapi dia belum keluar. Azka tahu tidak Umar kemana?" tanya lelaki ini pula pada Azka sambil menurunkan sedikit badannya.

"Umar di ruang kesehatan, Om. Tadi dia sesak napas setelah makan kacang," info Azka langsung membuat lelaki itu panik.

Dia langsung lari ke dalam untuk mencari Umar di ruang kesehatan yang Azka maksud. Aku hanya diam, tak mungkin juga aku menyusulnya hanya demi melihat keadaan Umar. Lagi pula aku siapa? Aku tidak mau terlalu peduli, karena takutnya itu malah menimbulkan fitnah yang membuat Habib salah paham nanti.

"Ammah, kita lihat Umar, yuk!"

"Tidak, Azka. Kita harus segera pulang. Umar 'kan sudah ada ayahnya, jadi tidak perlu khawatir."

"Oh, baiklah!"

Tak lama kemudian, angkot pun datang dan kami pulang. Sampai di rumah, aku di sambut oleh Mira dan Rizky yang sedang asik bermain di ruang tengah. Mira tampak tertawa setiap kali bayi imut itu tersenyum.

Diusia memasuki empat bulan, Rizky sudah sering berceloteh. Kata yang paling sering dia sebut adalah 'mama'. Teringat dengan Aisyah, dia pasti senang jika anaknya sudah bisa memanggil namanya. Sayang sekali, anak selucu ini harus di tinggal begitu cepat oleh sang mama, bahkan sebelum dia bisa membuka mata.

"Sudah masak makan siang? Habib sebentar lagi pulang," tanyaku pada Mira.

"Sudah, Bu. Bu Farida yang masak, tadi dia langsung naik ke kamarnya setelah masak."

Aku mendongak, melihat ke arah meja makan yang masih terlihat dari ruang tengah. Meja tampak penuh dengan makanan dan lauk lainnya. Syukurlah, makan siang sudah siap. Aku tidak perlu repot-repot lagi memasak.

Tak berapa lama kemudian, Habib pulang. Aku langsung menyalaminya, begitu juga dia yang menciup keningku sebagai kebiasaan sebelum atau sepulang kerja. Sejak menjadi pemegang saham apartemen, Habib jadi tidak terlalu banyak menghabiskan waktu di luar rumah.

Dia lebih banyak di rumah atau kadang tidak kerja sama sekali. Pekerjaannya selalu di bawa pulang, maka dari itu kadang dia suka begadang.

"Aku masih punya wudhu," kata Farida menolak mencium tangan Habib.

"Tapi Mas suamimu, lagi pula sholatmu sudah selesai."

Dengan terpaksa, Farida akhirnya mau mencium punggung tangan Habib. Pandangan matanya tampak sedikit takut saat melihatku yang berdiri di belakang Habib. Memang, sejak Mira menegur Farida, dia jadi berubah lebih cuek dari pada biasanya.

"Ya sudah, ayo makan siang! Mas pasti belum makan, 'kan?" ajakku pula menarik tangan Habib menuju meja makan.

Hari ini Farida masak sayur bening, ada potongan jagung dan juga kol. Tak lupa juga ada potongan wortel dan kentang, untung lauk pendamping biasanya ada sambal dan ikan asin. Aku melayani Habib seperti biasa, sampai aku mendengar Farida memanggil nama Habib dengan pelan.

"Ada apa?" tanya Habib penasaran.

"Aku—"

"Ammun, tadi Umar sesak napas di sekolah karena makan kacang. Memangnya kacang bisa membuat sesak napas, ya?" tanya Azka menyela ucapan Farida.

"Umar? Siapa dia?"

"Dia teman sekelas Azka, Mas. Kebetulan dia anak tetangga baru kita yang tinggal di ujung komplek," kataku pula menjawab pertanyaannya.

"Oh, yang kemarin mengantarmu pulang, ya?"

"I—iya. Tapi tadi aku pulang naik angkot."

"Angkot? Kenapa tidak naik taksi?"

"Uangku tinggal dua puluh ribu, Mas. Tidak akan cukup untuk naik taksi."

"Lain kali, telepon Mas saja. Biar Mas yang jemput ke sekolah."

Aku hanya mengangguk. Habib teringat dengan Farida yang tadi ingin mengatakan sesuatu, tapi begitu di tanya dia malah menggeleng dan menyebut bahwa apa yang ingin dia bicarakan itu tidak terlalu penting.

Kami kembali melanjutkan makan siang. Melihat Farida yang menyantap makanan di depanku, membuatku teringat dengan pesan dari Bara. Aku takut, sangat takut. Kehilangan Umar mungkin masih bisa kuikhlaskan, tapi tidak dengan Habib.

Hal itu terus membuatku kepikiran sampai makan siang selesai. Habib bertanya apakah ada hal yang kupikirkan?

"Tadi Bara meneleponku, Mas. Dia memintaku untuk menemuinya," jawabku yang sama sekali tak ingin berbohong.

"Lalu?"

"Aku datang ke rutan. Ternyata dia baru tahu kalau pak Yanto meninggal. Dia marah, tapi dia juga tampak sedih."

"Apa dia mengatakan sesuatu selain itu? Kelihatannya ada hal yang kamu takutkan."

Kenapa Habib bisa tahu? Tapi memangnya dia bisa mengatasi rasa takutku jika tahu ketakutanku adalah Farida? Lalu jika memang bisa, apa yang akan dia lakukan?

"Aku memberitahunya bahwa Farida sudah menjadi istri keduamu. Dan dia memperingatiku agar lebih menjaga pernikahan kita, karena dia takut Farida akan merebutmu dariku, Mas."

Habib tidak menjawab, dia malah hanya berjalan menuju lemari sambil menanggalkan pakaiannya satu per satu dan hanya menyisakan satu kaos singlet untuk menutupi roti sobeknya. Aku tidak tahu kenapa dia malah bersikap seperti itu, tapi yang jelas itu sama sekali tidak menghilangkan rasa takutku.

"Jika Farida mencintaimu, kamu tidak akan jatuh cinta padanya juga 'kan?" tanyaku berdiri di belakangnya.

"Tidak usah membahas itu. Omongan Bara hanya akan membuatmu overthinking saja."

"Ini bukan karena Bara, bahkan sebelum Bara mengatakan hal itu pun aku sudah kepikiran."

"El, jangan berpikiran yang aneh-aneh. Mas tidak akan begitu."

"Tidak ada yang menjamin kalau Mas tidak akan begitu. Tapi baiklah, aku percaya."

Habib mengangguk dan berbalik badan. "Besok mau ikut Mas?"

"Kemana?"