"Jangan pernah merasa sendiri, abang selalu ada untukmu. Abang tahu kamu kuat, kamu pasti bisa melewati semua ini!"
Mataku langsung terbuka ketika perkataan itu masuk dengan lembut ke telingaku. Suara bang Fahri, benar-benar masih terasa hangat ketika di dengar dan nada yang rendah. Suaranya begitu jelas, sampai aku masih terus mendengarnya bahkan setelah membuka mata dan terbangun dari tidurku.
Oh, ternyata aku masih tidur di sofa. Terakhir kali aku ke sini karena ingin menemani Azka dan Rizky bermain di ruang tengah. Tapi kata Azka, baby Rizky sudah di bawa ke kamar oleh Mira.
"Ini sudah sore, sebaiknya Azka mandi. Ammah akan menyiapkan makan malam untuk kita semua," pesanku pada Azka.
Dia langsung berlari ke atas, yang ternyata Habib juga ada di tangga yang sedang berjalan turun ke bawah. Dia menghampiriku, katanya aku tidak perlu masak terlalu banyak malam ini, karena dia akan mengajakku makan keluar.
"Kalau Mas mengajakku keluar hanya untuk membuatku melupakan kesedihan di rumah ini, sebaiknya tidak usah, Mas. Aku juga tidak mau menghabiskan uangmu hanya untuk makan malam di sebuah restoran," tolakku.
"El, ini bukan makan malam. Mas ada jadwal pertemuan dengan beberapa kolega. Ini pesta kecil-kecilan, jadi Mas harap kamu mau ikut karena mereka semua juga membawa istrinya."
"Kalau begitu Farida juga ikut?"
Jika semua istri di ajak, itu artinya Farida juga ikut. Tidak adil rasanya kalau Habib hanya mengajakku sementara dia memiliki dua istri. Meski harapanku adalah jawaban 'tidak' dari Habib, tapi dia tetap tidak memberikan apa yang kuminta.
"Iya. Farida ikut," jawabnya memabuatku tersenyum tipis.
"Baiklah, kalua begitu aku akan memasak untuk Mira dan Azka."
Di acara yang berbeda, namun momen yang sama. Dulu Habib juga mengajakku dan Aisyah ke pernikahan Ayu—sahabat kuliahku. Dan semua mata tertuju pada Aisyah yang selalu di cap tidak baik oleh kebanyakan orang.
Lalu sekarang apa? Apa aku harus mengulang posisi yang sama setelah Farida yang kini menggantikan posisi Aisyah menjadi istri kedua Habib? Ah, mentalku di uji habis-habisan disini.
Singkat cerita, akhirnya malam pun tiba. Aku dan Habib tengah bersiap di kamar, sementara Azka dan Mira sudah makan duluan di meja makan. Kebetulan baby Rizky masih tertidur, jadi Mira bisa menemani Azka makan malam.
"Mas? Aku sudah siap," kata Farida menyembulkan kepalanya di pintu.
"Oh, iya. Kami juga sudah siap. Ayo, El!" Habib menarik tanganku menuju pintu.
Pintu terbuka, menampilkan sosok Farida yang tampak cantik dengan baju gamis warna pink dengan lapisan bahan burkat di luarnya. Dia memang selalu menyukai warna pink itu, sesuai dengan warna bibirnya yang selalu pink.
Entah kenapa, Habib malah bengong begitu melihat Farida tersenyum tipis padanya. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, terus di pantai sampai berhenti di bibir. Habib terlihat seperti terpesona melihat Farida yang tampil penuh riasan malam ini.
"Kenapa, Mas?" tanya Farida.
"Hah? Eum ... tidak, tidak apa-apa. Ayo pergi!"
Pesta itu di adakan di sebuah hotel. Ternyata tidak sedikit orang yang datang, kebanyakan dari mereka adalah pengusaha sekaligus CEO perusahaan dan perhotelan di Jakarta. Beberapa meja di sediakan untuk menyambut para tamu dengan jamuan minuman berwarna merah dan kuning.
Habib berjalan di sampingku, sementara Farida berjalan di tengah. Semua mata langsung tertuju pada kami ketika berjalan melewati mereka, sepertinya kehadiran Farida dengan perut buncitnya sangatlah menarik bagi mereka.
"Pak, Habib. Akhirnya datang juga, saya kita anda tidak datang," sapa seorang lelaki dengan tubuh tinggi besar yang hampir sama dengan Habib sambil berjabat tangan.
"Tentu saja saya datang, bahkan saya membawa istri saya kemari," jawab Habib yang langsung membuatku di lirik dengan senyuman.
"Kalau ini istri anda, lalu ini siapa?" tanya bapak yang lain sambil melihat Farida dengan tatapan bingung.
Farida tampak bingung dan ragu. Dia justru kelihatan malu mengakui dirinya sebagai istri, tapi Habib justru mengusir rasa malu itu dengan menarik pinggul Farida sambil memperkenalkannya pada semua orang.
"Dia juga istri saya, namanya Farida," kata Habib dengan bangganya.
Semua orang terkejut mendengarnya. Seorang Habib Al-Zikri memiliki dua istri? Keduanya sedang hamil pula, siapa yang mengira jika Habib yang merupakan seorang hafidz Qur'an bisa berpoligami?
"Wah, bukan hanya bisnis saja yang jadi dua, tapi istrinya juga. Istrinya cantik-cantik, pula! Hebat sekali pak Habib ini," seloroh pria yang pertama kali berjabat tangan dengan Habib.
"Ngomong-ngomong Bu Farida sedang mengandung, ya? Pasti jadi kesayangan, karena sebentar lagi akan melahirkan pewaris kekayaan Habib Al-Zikri," timpal yang lainnya.
Farida yang tadinya malu, kini tersenyum lebar. Dia bahkan sudah berani bersuara sambil membanggakan diri dengan statusnya yang menjadi istri kedua Habib. Inilah yang kutakutkan, melihat Habib dan Farida lebih dekat di depan banyak orang.
"Bagaimana rasanya punya dua istri? Pasti seru!"
"Seru apanya? Kebanyakan dari kehidupan poligami itu, membuat istri pertama tersakiti."
"Tapi kalau suaminya bisa berlaku adil, tidak akan ada yang tersakiti."
Pembicaraan bapak-bapak ini sangatlah sensitif, membuatku merasa benar-benar menjadi bahan perbincangan mereka. Sampai seseorang menyentuh pundakku yang ternyata adalah Ayu. Dia ada disini juga, berarti suaminya adalah seorang pengusaha yang masih dalam satu circle dengan Habib.
"Ayu!"
"El, apa kabar?"
"Aku baik, bagaimana denganmu?"
"Alhamdullillah, aku juga baik. Tapi ... kenapa Habib bersama Farida?" Ayu pasti bingung dan bertanya-tanya kenapa Farida ikut bersama kami.
Aku hanya tersenyum. Tidak akan cukup waktu satu jam untuk menceritakan semuanya pada Ayu. Selama ini dia sudah banyak ketinggalan info tentang kehidupanku, melihat Habib yang menggandeng Farida tentunya membuat dia bingung.
"Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang. Yang pasti Habib sudah menikahi Farida dan kami berdua sekarang jadi istri Habib."
"El, kamu gila? Jangan mengarang cerita!"
"Untuk apa aku mengarang cerita?"
"Ih, aku semakin tidak paham dengan kehidupanmu. Kenapa terus menerus ada masalah, bahkan sekarang Habib juga menikahi Farida. Lalu itu apa? Farida mengandung anak Habib?"
"Sekarang bukan saatnya membicarakan masalah itu. Tapi aku janji akan menceritakannya."
Habib mengajakku dan Farida pergi ke sudut pesta yang lain. Ayu dan suaminya masih tetap disini, jadi kami berpisah. Tatapan sinis Ayu terus di tujukan pada Farida. Pastinya Ayu geram karena Farida yang terus-terusan gelandotan pada Habib sampai tidak mau lepas.
"Mas, perutku keram," keluh Farida.
"Baiklah, kamu duduk saja. Jangan terlalu banyak berdiri, karena itu tidak baik untuk kehamilanmu," kata Habib yang dengan sigap menarik kursi.
Aku melirik Farida, dan dia tersenyum puas. "Mas, aku haus. Bisa tolong ambilkan minum?"
"Mau minum apa?"
"Apa saja."
Lagi-lagi Habib dengan siap siaga mengambilkan minum untuk Farida. Aku yang melihatnya pergi, malah jengkel sendiri. Bisa-bisanya Habib bersikap begitu manis pada Farida sementara aku tidak di suruh duduk.
"Mbak El tidak mau duduk?" tanya Farida pula mendongak padaku.
"Aku tidak manja. Aku bisa duduk sendiri."
Di kembali tersenyum. "Seharusnya Mbak sadar diri, mas Habib lebih sayang padaku. Maka dari itu dia lebih perhatian."