Dua hari setelah kejadian siang itu, aku sudah merasa lebih baik. Semuanya berjalan seperti hari biasanya, bahkan aku sudah tidak lagi mempermasalahkan kejadian dimana Farida mencium bibir Habib beberapa hari lalu.
Bukannya aku melupakan begitu saja, tapi aku hanya tidak ingin masalah ini terus-terusan merembet dan membuat kehidupanku tak tenang. Bukan hanya berpengaruh pada ketenangan, tapi juga pada kesehatan.
Menurut dokter, aku tidak boleh terlalu stres. Mengandung dengan satu ginjal sangatlah beresiko ketika stres. Ibu hamil dengan dua ginjal saja masih beresiko tinggi, apa lagi aku yang hanya memiliki satu ginjal.
Selesai sarapan, Habib pergi bekerja, sementara Azka ke sekolah. Kudengar Farida ingin bermain bersama Rizky dan Mira di halaman rumah, untuk itu bagian mencuci piring kulakukan sendiri. Tak apa, ini hanya sedikit dan aku sama sekali tidak keberatan melakukannya.
Kring...! kring...!
Beberapa kali telepon rumah berbunyi ketika aku masih sibuk mencuci piring di dapur. Terpaksalah aku menghentikan kegiatan mencuci piring untuk beberapa waktu demi menjawab panggilan.
"Assalamu'alaikum. Dengan kediaman bapak Habib Al-Zikri, saya istrinya. Saya bicara dengan siapa, ya?" tanyaku begitu mengangkat gagang telepon.
Beberapa detik tidak ada jawaban, sampai aku bertanya dua kali dan memastikan bahwa orang yang meneleponku masih tersambung. Kulihat lampu di dapur masih menyala, itu artinya listrik disini tidak mati. Lalu kenapa orang ini diam.
"Halo? Ini siapa?" tanyaku lagi.
"Ini Bara."
Aku terkejut mendengarnya. Bara, dia adalah kakak tiri Aisyah yang kini di penjara karena pasal berlapis atas kasus pencurian dan pencopetan di jalanan. Bagaimana bisa dia menelon ke rumahku seperti ini?
"Bara? Ada apa?" tanyaku masih berusaha bersikap tenang.
"Aku mau ketemu kamu."
***
Demi memenuhi permintaan Bara, aku pun pergi ke kantor polisi sendirian. Eum ... bukan kantor polisi, lebih tepatnya rutan di salah satu sudut kota Jakarta. Ya, aku pergi sendirian dengan alasan ingin mengontrol pekerjaan di caffe Habib.
Mira dan Farida juga tidak ada yang curiga, aku hanya pamit sambil sekalian menjemput Azka sepulang sekolah nanti. Begitu sampai di rutan, aku langsung menghampiri polisi dan meminta waktu bezuk untuk tahanan atas nama Bara.
Lelaki dengan baju tahanan berwarna oren itu datang dengan di dampingi polisi. Tangannya juga di borgol, kami duduk berhadapan dengan sebuah meja yang memisahkan kami berdua. Memperhatikan Bara, aku jadi tahu seperti apa kerasnya penjara yang membuat penampilannya sekarang sulit di kenali.
"Apa kabar, Bara?" tanyaku basa-basi.
"Seperti yang kamu lihat."
"Eum ... ada apa kamu memanggilku kemari? Apa ada hal penting yang ingin kamu sampaikan?"
Bara menaikkan tangannya ke atas meja, duduk tegap layaknya anak sekolah yang hendak memulai pelajaran. Rambutnya yang sudah mulai gondrong dengan tekstur lurus itu menutupi sedikit pandangannya, membuat dia tampak berbeda dan lebih menyeramkan.
"Aku dengar ayah meninggal di rutan. Bagaimana bisa?" tanya Bara dengan suara rendah dan serak.
Bara dan pak Yanto memang tidak satu rutan, mereka di tempatkan di penjara yang berbeda dengan baju tahanan yang berbeda pula. Aku tidak tahu alasannya apa, tapi memang sudah begitu peraturannya.
Melihat bagaimana mata Bara menatapku, membuatku serasa di intimidasi. Tatapannya yang penuh rasa ingin tahu dengan beberapa gurat merah di sekitar pupil, menunjukkan bahwa ada kesedihan yang dia pendam.
"Iya, pak Yanto meninggal di penjara karena di keroyok tahanan lain. Aku sendiri tidak tahu masalahnya apa, tapi ... pak Yanto sudah di kubur dua minggu yang lalu. Aku dan Habib yang mengurusnya," jelasku.
Perlahan, ekspresi Bara berubah sedih. Matanya yang tadi merah juga perlahan mengeluarkan air mata dengan lengkung bibir yang mengarah ke bawah. Di tertunduk, dan untuk pertama kalinya aku melihat seorang tahanan sekelas Bara menangis di hadapanku sendiri.
Dari wajah sangar dan mata menyeramkan, ternyata tersimpan sosok lain yang tak pernah kuduga sebelumnya. Iya, aku tahu dia juga manusia. Apapun dan siapapun dia, pasti tetap punya rasa manusiawi dan bisa bersedih karena kehilangan seseorang.
"Aku turut berduka cita, Bara. Bahkan Habib juga menyesal atas kematian pak Yanto," ucapku.
"Seharusnya kalian tidak perlu memenjarakan ayahku. Biar aku saja yang menanggung dosanya!"
"Aku tahu kamu sedih, tapi dosa seorang manusia tidak bisa di limpahkan pada manusia lain, sekalipun anaknya sendiri."
Punggungnya gemetar hebat sambil menahan tangis tanpa suara. Menangis tanpa suara adalah keahlian yang tidak bisa dimiliki sembarang orang. Aku tahu sesaknya menahan tangis di tangah malam, mungkin itu juga yang Bara rasakan sekarang.
"Ini semua karena kamu! Ini semua karena suamimu! Kalian berdua sama-sama pembunuh!" katanya dengan penuh tekanan sambil masih terus menundukkan kepala.
"Terserah kamu mau menyebutku apa. Semuanya sudah terjadi dan hinaanmu, tidak akan membuat pak Yanto hidup kembali."
Menyeka air mata, lalu mendongak dan menatapku. "Lalu, dimana Farida sekarang?"
"Wanita yang sudah kamu hamili? Tenang saja, dia ada di rumahku."
"Di rumahmu? Untuk apa? Dia sudah banyak melakukan dosa dan kesalahan, kenapa kamu masih membiarkan dia tinggal di rumahmu?" Bara sepertinya sudah banyak tahu tentang Farida, sampai ekspresinya juga mengatakan hal yang sama.
"Farida sudah menikah dengan suamiku. Demi menutupi aib kehamilannya, aku meminta Habib untuk menikahinya setelah beberapa hari kamu di penjara."
Bara melongo dengan mulut yang sedikit terbuka. Aku melihat ekspresinya yang seolah tak habis pikir dengan apa yang kulakukan. Memangnya menurut dia semua itu salah?
Bukan hanya bengong, Bara sampai tidak bisa berkata apa-apa lagi untuk beberapa saat. Kelihatan begitu bingung dan kaget.
"Ada apa?" tanyaku penasaran.
"Ada apa? Setelah semua yang Farida lakukan padamu, kamu bertanya 'ada apa'? Seharusnya aku yang bertanya, ada apa denganmu? Kenapa kamu membiarkan Habib menikahi adikmu yang sudah jelas-jelas punya dosa besar."
"Kamu tidak kenal Farida, dia—"
"Mungkin aku belum lama mengenal Farida, tapi aku tahu dia. Sesama orang jahat, punya firasat, El. Kamu boleh membenciku sebagai lelaki yang tidak bertanggung jawab, tapi aku tidak rela kalau perempuan sebaik kamu, sampai menderita karena kehadiran Farida. Kamu tahu? Dengan membiarkan Habib menikahi Farida, itu artinya kamu siap menderita!"
Aku tertegun mendengar perkataannya yang terlihat begitu meyakinkan. Seyakin itu Bara pada ucapannya sampai-sampai aku tertegun seperti ini. Apakah dia memang sudah mengenal Farida sedalam itu?
Apa yang Bara katakan memang benar, karena belum genap dua bulan mereka menikah saja sudah menunjukkan tanda-tanda kepahitan dalam rumah tanggaku kedepannya. Meski Habib memang belum mengakui cintanya, tapi aku sudah merasakannya.
"Aku yang meminta Habib menikahi Farida, jika usia pernikahan mereka sudah satu tahun, Habib akan menceraikan Farida, kok!" kataku berusaha menenangkan diri sendiri sekaligus mematahkan teori Bara.
"Jangankan satu tahun, satu bulan lagi, akan kupastikan rumah tanggamu hancur berantakan!"
"Kenapa kamu bicara seperti itu? Tidak baik, Bara."
"Terserah kamu mau percaya atau tidak. Farida itu kesepian, begitu dia merasa dicintai, dia tidak akan berhenti mengejar lelaki itu sampai dia mendapatkannya!"